BERGEREJA DALAM KONTEKS BERMASYARAKAT *
Oleh
: Pdt. Dr. Karolina Augustien Kapahang Kaunang**
Pendahuluan
Dalam kesadaran bahwa para peserta
pembinaan adalah para pelayan Tuhan yang sudah berpengalaman melayani bahkan
ada pula para pendeta, maka materi pembinaan kali ini saya beri judul di atas. Judul
di atas hendak mengajak kita untuk
melihat bahwa gereja itu dinamis dan ditempatkan Tuhan dalam konteks masyarakat
yang dinamis pula. Kedinamisan gereja dan masyarakat makin penting dilihat karena
di dalamnya terkandung tema yang sangat mengemuka sekarang ini yaitu kemajemukan
atau istilah kerennya pluralisasi (pluralitas, pluralisme). Gereja dan bergereja harus beranjak dari
tempatnya yang selama ini ia ‘jaga dan pelihara serta kembangkan’ ke tempat yang
lebih luas bahkan berbeda dengan tempatnya sendiri. Artinya, gereja berada
dalam posisi dari sikap yang hanya melihat diri sendiri (introvert/eksklusif) menuju sikap yang terbuka terhadap apa yang
di luar dirinya sendiri (ekstrovert/inklusif).
Dalam posisi beranjak ini diperlukan kejelasan jati dirinya yang otentik. Hanya
orang yang tahu persis jati dirinya dan komit
dengannya dan berintegritas (satunya kata dan tindakan), ia yang dapat dan
mampu beranjak tanpa merubah dirinya apalagi sampai kehilangan dirinya sendiri.
Berikut ini kita akan melihat bersama hakikat
diri (ber)gereja dalam konteks (ber)masyarakat dan akan berefleksi bersama dalam konteks lokal
kita.
Mengapa Konteks ?
Konteks berarti situasi di dalam mana sesuatu terjadi. Dalam hal
ini, kita dapat berbicara tentang konteks pribadi, konteks gereja dan konteks
masyarakat. Konteks pribadi berarti segala sesuatu yang terjadi dalam hidup
seseorang. Apa yang terjadi dalam hidupnya tentu senantiasa bersentuhan dengan
orang atau hal di sekitar dirinya. Konteks gereja berarti segala sesuatu yang
membuatnya disebut gereja. Siapa dia, dari mana dia, untuk apa dan untuk siapa
dia, bagaimana dia, hendak kemana dia penting untuk memahami dirinya (gereja).
Konteks masyarakat berarti segala sesuatu yang terjadi dalam satu atau beberapa
komunitas/perkumpulan/paguyuban tertentu. Setiap komunitas mempunyai ciri
khasnya sendiri. Dia memiliki budaya sendiri yang terus bergerak (dinamis).
Bergereja dalam konteks
bermasyarakat (berbangsa dan bernegara)
menjadi keharusan. Mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, siap atau tidak
siap, bergereja sudah sedang berada dalam konteks itu. Kalau bergereja kita
tidak menyikapinya dengan positif, maka sikap kritis dan kreatif tidak akan
mungkin. Dalam keadaan demikian, maka kita tidak mungkin berbicara tentang visi
dan misi gereja sesuai kehendak sang Kepala Gereja apalagi melaksanakannya. Bergereja
yang demikian makin lama makin tidak fungsional bagi dirinya sendiri apalagi
bagi orang lain, makin lama makin ditinggalkan.
Jadi mengetahui konteks penting untuk
mengenal dan memahami diri sendiri, orang lain dan lingkungan hidup yang lebih
luas.
Hakikat Gereja
Secara ‘tradisional’ kita mengenal hakikat
gereja yang dinyatakan dalam Tri Tugas Gereja yaitu Bersekutu (Koinonia),
Bersaksi (Marturia) dan Melayani (Diakonia). Tentang tiga tugas gereja ini
telah kita ketahui dan laksanakan.
Berikut ini adalah hakikat Gereja sebagai pendasaran dalam bergereja
pada masa kini yang meliputi tiga tugas
dimaksud.
1. Gereja
adalah milik Tuhan Allah
Dalam ensiklopedi ilmu teologi,
pemahaman tentang gereja (ekklesiologi)
dibicarakan dalam pokok iman yang lebih luas yaitu pemahaman tentang Roh Kudus (pneumatologi) bahkan tentang Tuhan
Allah (teologi). Gereja lahir dan
bertumbuh kembang serta berbuah oleh karena karya Roh Kudus. Roh Kudus- lah
yang memberadakan dan menyertainya.
Sepanjang gereja-gereja melaksanakan
kehendak-Nya, maka ia adalah milik Allah, dan ialah gereja yang sesungguhnya.
Sebagai milik Allah, maka Gereja adalah Tubuh Kristus. Roma 12:3-8, I Korintus
12:4-30 menjelaskan bahwa sebagai Tubuh Kristus, Gereja terdiri dari berbagai
orang yang masing-masing mempunyai peran/fungsinya. Ada yang berfungsi sebagai
tangan, yang lain sebagai kaki atau telinga atau mulut dan hati Kristus. Roma
6:19-20 menyatakan bahwa tubuh dari orang-orang ini adalah tempat kediaman Roh
Kudus. Hal ini menunjukkan bahwa Gereja adalah kudus : ia berbeda dengan rukun
keluarga, klub sepak bola, PT atau Koperasi atau Lembaga Swadaya Masyarakat,
bahkan ia berbeda dengan organisasi pemerintahan. Gereja ada karena ada misi
atau tugas yaitu mengantar dirinya dan orang lain kepada kepenuhan kedatangan
Kerajaan Allah di bumi yaitu Keselamatan.
Gereja yang adalah persekutuan dari
orang-orang yang percaya dan mempercayakan diri kepada Allah sumber
kehidupannya, tidak dapat lain selain mengikuti kehendak-Nya sekalipun penuh
tantangan dan cobaan (Kristokrasi -
Kristus memerintah). Untuk keselamatan dunia Yesus disalibkan. Demikian pula
dengan Gereja dalam bersaksi dan melayani dalam dunia dan untuk dunia tanpa
harus menjadi serupa dnegan dunia (Roma 12:1-2). Di tengah situasi masyarakat
bangsa Indonesia yang ‘gemar’ menyelesaikan persoalan dengan cara kekerasan,
maka etika Kristen yaitu Kasih hendaknya menjadi jalan yang harus ditempuh.
2. Gereja untuk
Dunia
Gereja bukan dari dunia, tetapi Gereja ada di dalam dunia dan untuk
dunia (The Church for others. The Church
for the world). Ia melayani melewati batas golongan gereja/agama Kristen.
Itulah sebabnya ia harus mengenal dunianya dengan segala permasalahannya dan
menanganinya dengan sungguh. Pendasaran teologisnya adalah Lukas 10:25-37
tentang orang Samaria yang murah hati, Markus 8:1-10 tentang Yesus memberi
makan 5000 orang. Kedua bagian Alkitab ini menyatakan bahwa orang yang tidak
kita kenal, orang yang berbeda agama (apalagi hanya berbeda denominasi gereja),
mereka yang miskin dan kelaparan menjadi tanggungjawab pelayanan gereja. Keberpihakan
gereja kepada orang-orang ini adalah panggilan pokok beriakonia yang
sesungguhnya. Gereja dalam misinya bukan sekedar mengumpulkan banyak orang
dalam ibadah di gedung gereja atau dalam ibadah-ibadah kelompok kategorial,
fungsional dan teritorial (seperti a.l.
Anak/Sekolah Minggu, Remaja, Pemuda, Ibu dan Bapak, Kolom), lalu selepas ibadah
itu, gereja sebagai orang-orang dalam kesehariannya tidak hidup sebagai ‘kawan
sekerja Allah’. Melainkan bagaimana orang-orang ini berlaku adil, jujur dan
hidup damai, tanpa kolusi, tanpa korupsi, tanpa nepotisme.
3. Gereja
sebagai Persekutuan yang Egaliter
Pada hari Pentakosta, Roh Kudus dicurahkan kepada semua orang yang
berkumpul (Kisah Para Rasul 2:1-12, 17-18; bandingkan Ulangan 16:10-12; Yoel
2:28-29). Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) menetapkan tema
pelayanannya sekarang ialah Tuhan itu Baik kepada Semua Orang (Mazmur 145:9a).
Kata “semua orang” menunjuk pada semua bangsa dan kaum yang terdiri dari
perempuan dan laki-laki, anak-anak dan orang dewasa serta para lanjut usia.
Gereja adalah persekutuan, sebuah koinonia
Di dalam mana
semua unsur kategori umur dan jenis kelamni, ras dan bangsa bersatu mendengar
suara Allah yang mengasihinya. Kasih Allah menjadi dasar persekutuan hidup itu.
Setiap orang sama bertanggungjawab atas persekutuan itu. Mereka sama dalam hal
hak dan kewajiban. Mereka sahabat yang setara dalam memberitakan perbuatan
besar-Nya (I Petrus 2:9). Persahabatan yang setara itu hanya akan teralami bila
semua unsur terlibat aktif dalam mengambil keputusan dan melaksanakannya
bersama. Di sini berlaku azas demokrasi dan transparansi dalam esensi Kristokrasi.
Pemahaman dan praktek yang masih
membedakan status dan peran perempuan dalam keluarga dan gereja, tidaklah
teologis Alkitabiah. Perempuan dan laki-laki diciptakan-Nya berbeda secara biologis dan
fungsi reproduksinya, tetapi mereka diciptakan dengan hakikat diri/status dan
peran yang setara, semartabat, sama nilainya di hadapan-Nya (Kejadian 1:26-28;
Galatia 3: 26-29). Marilah kita jadikan gereja sebagai tempat kesetaraan dari
orang-orang yang berbeda. Gereja sebagai institusi perlu secara intens (sengaja/terprogram)
mempromosikan kesetaraan ini dalam kata dan tindakan.
4. Gereja yang
Mentransformasi Tradisi dan yang Ekumenis
Menurut sejarahnya, sebagian besar
gereja-gereja yang berada di Sulawesi Utara, Tengah dan Gorontalo (termasuk
GPIG) berlatar belakang tradisi Calvinis. Tradisi ini mempunyai kekhasannya
dalam hal dogma/ajaran, tata gereja dan tata ibadahnya. Dalam banyak tata
gereja, dicantumkan dengan jelas tentang sitem pelayanannya yaitu Presbiterial
Sinodal. Namun dalam prakteknya di beberapa jemaat bahkan sering
dipraktekkan oleh para pejabat di level sinode, tidak sepenuhnya melaksanakannya.
Kenyataan ini dialami a.l. oleh GMIM dan GMIT.
Ketidak-konsistenan antara teori dan
praktek ini mengindikasikan bahwa sudah saatnya gereja-gereja mentransformasi
tradisi (gereja) dalam konteks lokalnya. Bukankah salah satu ciri dari
gereja-gereja Protestan yaitu ecclesia
reformata semper reformanda (gereja reformasi senantiasa mereformasi
dirinya) berarti a.l. bersikap kritis terhadap dirinya sendiri termasuk terhadap
latar belakang tradisinya berdasarkan kesaksian Alkitab? Bukankah tradisi
apapun termasuk yang dilahirkan oleh gereja, berakar dalam budaya dan sesuai
kebutuhan konteks pada waktu tertentu.
Ekumenitas gereja makin signifikan dalam
era globalisasi dan transparansi ini. Keharusan berinteraksi dan bersinergi di
tengah kepelbagaian akan turut menentukan profil gereja-gereja. Dalam hal ini
gereja harus senantiasa terbuka terhadap kenyataan perbedaan dan melihatnya
sebagai kekayaan bersama untuk bermisi yang lebih dapat menjangkau sasaran
pelayanannya sehingga menjadi pelayanan yang holistik. Hanya dengan kebersamaan di tengah perbedaan, visi dan
misi Gereja Tuhan dapat diwujudkan. Mungkin gereja (institusi) di mana kita
menjadi anggotanya hanya dapat melaksanakan satu dua misi Gereja yang luas dan
dalam itu. Dalam kebersamaan dengan gereja-gereja lainnya, misi yang holistik itu dapat dilaksanakan. Itulah
yang a.l. dilakukan dalam gerakan ekumene seperti melalui PGI.
5. Gereja yang
Membebaskan dan Mempersatukan
Galatia 5:1-2 “supaya kita sungguh-sungguh merdeka, Kristus telah
memerdekakan kita. Karena itu, berdirilah teguh dan jangan mau lagi dikenakan
kuk perhambaan”. Atas dasar Alkitab ini, maka seorang teolog perempuan
mengatakan gereja sebagai household of
freedom (rumah tangga kemerdekaan). Sebagaimana umat Isreal dibebaskan oleh
Tuhan Allah dari tanah Mesir, dari tanah pembuangan di Babel, demikianlah juga
Yesus membebaskan orang dari berbagai penyakit dan kelemahan dan dari
tradisi/peraturan/hukum sabat (a.l. Lukas 7:1-10, 9:37-42, Markus 2 : 23-28,
Matius 12:9-14,Yohanes 5:1-18).
Gereja dalam ajarannya, etikanya,
peraturannya (tata gereja dan tata ibadah) harus berpatokan pada karya-Nya yang
membebaskan dari berbagai dosa. Gereja dbebaskan dan membebaskan diri dari
pengaruh kekuasaan di dalam dan di luar dirinya seperti kuasa uang, status dan jabatan.
Hanya dengan demikian gereja menjadi pemersatu dalam segala perbedaan bahkan
pertentangan sekalipun agar terhindar dari malapetaka memecah-belah kebersamaan.
6. Gereja
menurut Dokumen Keesaan Gereja PGI
Pada tanggal 25 Mei 1950, gereja-gereja di Indonesia menyatukan
tekad bermisi bersama melalui wadah Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI) yang
kemudian dalam Sidang Raya (SR) X di Ambon (1984) merubah namanya menjadi
Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI). Tujuannya ialah “mewujudkan
Gereja Kristen Yang Esa di
Indonesia.” Dalam SR X lahirlah satu dokumen penting yang diberi nama
Lima Dokumen Keesaan Gereja (LDKG) yaitu :
- Pokok-pokok Tugas Panggilan
Bersama (PTPB)
- Pemahaman Bersama Iman Kristen
(PBIK)
- Piagam Saling Mengakui dan Saling
Menerima (PSMSM)
- Tata Dasar Persekutuan
Gereja-gereja di Indonesia
- Menuju Kemandirian Teologi, Daya
dan Dana
Dalam SR XIII di
Palangkaraya (2000), LDKG diubah menjadi Dokumen Keesaan Gereja (DKG), yaitu :
- Pokok-pokok Tugas Panggilan
Bersama (PTPB)
- Pemahaman Bersama Iman Kristen
(PBIK)
- Oikoumene Gerejawi :
- Konsep Dasar Keesaan
- Piagam Saling Mengakui dan Saling
Menerima (PSMSM)
- Saling Menopang di Bidang Daya
dan Dana
- Tata Dasar Persekutuan
Gereja-gereja di Indonesia.
Bila memperhatikan isi LDKG dan DKG,
pada umumnya dan pada dasarnya tidak ada perbedaan dalam rumusan teologinya.
Dokumen PTPB isinya selalu berubah sesuai dengan tema dan sub tema periodikal
PGI per lima tahun. Dokumen PSMSM digabung dengan dokumen Menuju Kemandirian
Telogi, Daya dan Dana menjadi dokumen Oikoumene Gerejawi. Kerangka dan isi DGK
ini menyatakan bahwa ekklesiologi (pemahaman tentang Gereja) PGI dimulai dengan
pemahaman bersama tentang tugas dan tanggungjawabnya di tengah masyarakat
bangsa Indonesia. Dengan kata lain, pemahaman tentang apa, mengapa dan
bagaimana gereja dimulai dengan menyadari konteks nyata di mana gereja-gereja
ditempatkan oleh Tuhan Allah. Ia mulai dengan fungsinya dalam konteks
kesehariannya. Dokumen pertama dan kedua merupakan dokumen sentral. Dokumen ketiga
menjelaskan tentang profil PGI yang beranggotakan gereja-gereja dengan latar
belakang yang berbeda dan beragam baik bentuk dan tradisi rohani di mana mereka
wajib saling mengakui, saling menerima dan saling menopang. Dengan ini ia
mengungkapkan bahwa Gereja itu esa, kudus dan am. Dokumen keempat menyatakan
konsekuensi logis dari suatu persekutuan ialah perlunya Tata Dasar bersama. Atas
dasar DKG ini, setiap gereja anggota mengejawantahkannya secara dinamis kreatif
dalam konteks pergumulan dan kebutuhan lokalnya.
Rumusan tentang Gereja menurut PGI
secara khusus terdapat dalam dokumen PBIK bab IV yang terdiri dari 10 butir,
yaitu :
- Roh Kudus berperan dan memberi
kuasa kepada gereja-gereja
- Gereja terbuka kepada dunia dan
senantiasa menguji setiap roh
- Gereja berperan dalam konteks
sosial, politik, ekonomi dan budaya
- Hubungan Gereja dan Negara
- Gereja yang selalu bertobat dan
membarui diri
- Keesaan gereja sebagai persekutuan
kasih
- Gereja itu kudus
- Gereja itu am (katolik)
- Gereja itu rasuli
- Gereja sebagai orang per orang
maupun bersama-sama mewujudkan keesaan, kekudusan, keaman/kekatolikan dan
kerasulannya dalam hidup sehari-hari.
Refleksi dan Penutup
Jelaslah bahwa gereja dapat berfungsi
gereja bila bergereja dalam konteks bermasyarakat. Bergereja selalu berada
dalam proses aksi-refleksi dalam dirinya sendiri dan dalam serta bersama dengan orang/lembaga yang
berbeda bahkan mungkin bertentangan. Dinamika bergereja hendaknya dilihat
sebagai kesempatan untuk terus berbenah, bertumbuh dan berbuah. Visi Gereja
ialah Keselamatan bagi semua makhluk (bukan hanya manusia) harus
terimplementasi dalam misi atau program/kegiatan gereja baik secara
institusional maupun secara pribadi.
Bila dalam bergereja terdapat permasalahan-permasalahan
teologis, hendaknya duduk bersama di sekitar Firman Tuhan. Pasti akan menemukan
kejelasan bersama bila menempatkan Tuhan sebagai Kepala Gereja. Bila dalam bergereja mengalami hambatan dari
pihak luar, maka hadapilah dengan kuat kuasa kasih dari Tuhan Yesus Juruselamat
kita. Bila kita berhasil melaksanakan misi kasih, maka nyatakanlah syukur
kepada-Nya dalam kerendahan hati. Semoga !
Tomohon, 23 Juni 2011
*
Disampaikan dalam Program Pembinaan Majelis Jemaat beserta seluruh
komponen kelengkapan pelayanan di Gereja
Protestan Indonesia Gorontalo Jemaat Imanuel Kota Gorontalo pada hari Sabtu, 25
Juni 2011.
**
Dekan Fakultas Teologi UKIT. Alamat email tienkaunang@yahoo.com , blog tienkaunang@blogspot.com , hp
08152345929
Tidak ada komentar:
Posting Komentar