Rabu, 17 Januari 2018

PERAN PEREMPUAN MINAHASA. Refleksi Kepemimpinan Sinode GMIM


PERAN PEREMPUAN MINAHASA
Refleksi Kepemimpinan Sinode GMIM
 Karolina Augustien Kaunang
Pengantar
Terlalu sering kita mendengar pernyataan “perempuan itu hanya menggunakan perasaan, perempuan itu tidak menggunakan logika”. Pernyataan ini kemudian dilanjutkan dengan ‘karena itu perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, tokh akan masuk dapur juga’, ‘perempuan mengurus saja urusan domestik, nanti laki-laki yang mengurus urusan publik’, dan banyak sekali stereotipe yang dikenakan kepada perempuan. Stereotipe yang meremehkan keberadaan kaum perempuan ini dicarikan dasar Alkitab dalam Perjanjian Lama a.l. dengan menunjuk pada cerita penciptaan manusia  bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Laki-laki berkuasa atas tubuh perempuan. Lalu dalam Perjanjian Baru a.l. perempuan berdiam diri dan menerima ajaran dengan patuh, perempuan tidak boleh mengajar, dan tidak boleh memerintah laki-laki (I Tim 2: 11, 12), isteri harus tunduk kepada suami (Efesus 5: 22). Tanpa mengkaji lebih dalam hakikat ayat-ayat  tersebut dalam keseluruhan naskah dan latar situasi waktu itu, maka secara semena-mena ayat-ayat ini dipakai untuk melegitimasi  diskriminasi terhadap perempuan sampai sekarang. Kitab suci dipakai untuk melegalkan diskriminasi terhadap perempuan. Haruskah diskriminasi terhadap perempuan terus berlanjut dengan alasan ajaran Alkitab? Mari kita lihat apa sesungguhnya yang diperankan oleh kaum perempuan Minahasa, dan maknanya bagi kepemimpinan pendeta perempuan  GMIM masa kini dan nanti.

Perempuan Minahasa[1] Sekolah dan Berkarya
Sejak tahun 1908, sudah ada 6.056 murid perempuan Minahasa/Manado di antara 12.276 murid perempuan yang terdapat di luar pulau Jawa dan Madura, sementara itu di Jawa baru terdapat 280 murid perempuan.  Dalam kebanyakan sekolah/perguruan tinggi terdata lebih banyak perempuan daripada laki-laki, padahal berdasarkan Data Kependudukan Kabupaten/Kota se SULUT yang dirinci menurut jenis kelamin tahun 2003 menunjukkan penduduk laki-laki lebih banyak  daripada penduduk perempuan.[2]  Data-data ini menunjukkan bahwa sejak dulu anak perempuan Minahasa diberi kesempatan yang sama dengan anak laki-laki Minahasa untuk bersekolah. Tidaklah heran bila  sejarah mencatat bahwa beberapa perempuan Minahasa menjadi pelopor dan pemimpin di bidangnya masing-masing. Sebut saja kepeloporan Marie Thomas yang tercatat sebagai dokter pertama Indonesia yang tamat dari STOVIA, sebuah sekolah yang mendidik dokter-dokter pribumi di Jakarta. Annie Manoppo adalah Sarjana Hukum pertama lulusan Jakarta yang kemudian menjadi Dekan perempuan pertama di Fakultas Hukum Universitas Medan. Nona Politon sebagai pendiri dan rektor pertama Universitas Pinaesaan di Tondano/Manado. Di bidang politik, dirintis oleh Netty Waroh, seorang guru pada HIS berhasil menjadi anggota Dewan Rakyat Manado, Tinneke Waworuntu Kandow sebagai perempuan pertama yang diangkat menjadi Walikota Manado (1950-1952).[3]

Perempuan dalam Kependetaan
Dalam bidang pelayanan keagamaan, khususnya gereja Protestan, pendeta perempuan pertama di Indonesia berasal dari Kema-Minahasa yaitu Pdt. Dharma Angkuw. Berikut ini beberapa nama dicatat, baik yang pernah menjabat maupun yang sedang menjabat. Pdt. Agustina Lumentut menjadi Ketua Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST), kemudian menjadi Wakil Sekretaris Umum PGI, Ketua Sinode Am Gereja-Gereja di Sulawesi Utara dan Tengah.  Pdt. Detty Kani menjadi Ketua Sinode Gereja Kristen Luwuk Banggai (GKLB). Di lingkungan lembaga ekumenis yaitu Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), tercatat Pdt. Deetje Rotinsulu, Pdt. Lilly Danes, Pdt. Krise Gosal, masing-masing pernah menjabat sebagai Kepala Biro Wanita/Sekretaris Eksekutif Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Anak. Pdt. Liesje Makisanti terpilih sebagai Sekretaris Umum Gereja Protestan Indonesia (GPI) dua periode, dan sebagai Anggota MPH PGI dan kemudian Wakil Sekretaris Umum MPH PGI. Pelayanan Pdt. Liesje Makisanti di GPI sebagai Sekretaris, dilanjutkan oleh Pdt. Liesje Sumampouw. Kini Pdt. Liesje Sumampow adalah Ketua GPI.  Demikian juga di level internasional, Pdt. Deetje Rotinsulu pernah menjadi Koordinator Asian Basel Mission Fellowship. Pdt. Joyce Manarisip sekarang melayani sebagai Koordinator Program Mission 21[4] untuk Indonesia-Malaysia.

Perempuan dalam Bidang Pendidikan Tinggi
Dalam bidang pendidikan tinggi teologi Indonesia melalui Perhimpunan Sekolah-Sekolah Teologi di Indonesia (PERSETIA), Pdt. Maria Assa terpilih menjadi Anggota Pengurus (1998-2002), Pdt. Augustien Kaunang terpilih menjadi Wakil Ketua 2 Pengurus (2006-2010, 2014-2018). Di level internasional yaitu The Association for Theological Education in South East Asia (ATESEA), Pdt. Augustien Kaunang terpilih menjadi Anggota Pengurus Yayasan (Board of Trustees, Maret 2013- Maret 2017). Pdt. Sientje Abram pernah bertugas sebagai Direktur Eksekutif ATESEA (hampir 2 periode).

Perempuan di Area Publik
Di  area publik, pendeta atau tamatan teologi, terpilih dan melayani sebagai Ketua DPRD Sulawesi Utara, yaitu Pdt. Meiva Lintang; terpilih menjadi Ketua KPU Minahasa dan kini KPU Sulut, yaitu Yessy Momongan. Di  di level nasional, Pdt. Lilly Danes sekarang  melayani di Komnas Perempuan sebagai Sekretaris Jenderal.

Bagaimana Pendeta Perempuan di GMIM?
Sejak tahun 1995-2017, pendeta perempuan, lebih dari 60% melayani di aras basis yaitu jemaat territorial, dan sebagian daripadanya sekaligus sebagai Ketua Majelis Jemaat. Namun, di aras wilayah sebagai Ketua dan di aras sinode sebagai Badan Pekerja Sinode/Badan Pekerja Majelis Sinode, tidak berbanding lurus dengan perannya di aras basis, alias sangat kurang. Bahkan di aras sinode pada periode 2010-2014 hanya satu orang pendeta perempuan, periode sekarang ini (2014-2018) tidak ada satupun pendeta perempuan. Pada periode sebelumnya ada beberapa pendeta perempuan. Mari kita catat nama-nama mereka Pdt. Wilhelmientje Dumais, Pdt. Mite Lumi, Pdt. Liesje Makisanti (1995-2000), Pdt. Augustien Kaunang (1995-2000, 2000-2005), Pdt. Maria Assa (2000-2005), Pdt. Sientje Abram (2000-2002), Pdt. Ketty Ticoalu (2003-2005, 2005-2010)[5], Pdt. Liesje Sumampow (2005-2010), Pdt. Altje Lumi (2005-2010, 2010-2014). Dua kali, pendeta perempuan menjadi salah seorang Wakil Ketua Sinode yaitu Pdt.Maria Assa (2000-2005 untuk bidang Personalia), dan Pdt. Altje Lumi (2007-2010 melanjutkan tugas Pdt.J.M.Saruan untuk bidang Ajaran Ibadat dan Tata Gereja). Dua kali untuk jabatan Wakil Sekretaris yaitu Pdt. Liesje Sumampow (2005-2010) dan Pdt. Altje Lumi (2010-2014). Sebagai Anggota BPS : Pdt. Wilhelmientje Dumais, Pdt. Mite Lumi, Pdt. Liesje Makisanti, Pdt. Augustien Kaunang, Pdt. Sientje Abram, Pdt. Ketty Ticoalu. Sampai pada tahap ini, saya berupaya mencatat nama-nama para perempuan sebagai pendeta dalam  sejarahnya (herstory).[6]

Mengapa GMIM belum memilih Perempuan?
Jabatan pelayanan pendeta sebagai Ketua Jemaat dan Ketua Wilayah bukan dipilih langsung oleh jemaat/wilayah, melainkan ditentukan/ditetapkan langsung oleh BPS/BPMS.  Sedangkan BPS/BPMS dipilih langsung oleh para utusan jemaat (primus) dalam Sidang Sinode/Sidang Majelis Sinode setiap periode.
Mengapa GMIM belum memilih perempuan sebagai Ketua Sinode? Apakah belum ada yang berkualifikasi untuk aras sinode? Apakah perempuan hanya dapat menduduki posisi ketua bila ditunjuk/diangkat/ditetapkan, seperti Ketua Jemaat dan Wilayah, dan tidak dapat  bila melalui pemilihan? Lalu, siapa yang memilih? Bukankah para pemilih utusan jemaat sebagain besar perempuan? Apakah perempuan sendiri tidak siap? Apakah perempuan tidak bersedia dipimpin oleh perempuan? Apakah di antara perempuan tidak saling mendukung? Apakah laki-laki tidak bersedia dipimpin oleh perempuan? Apakah laki-laki terlalu kuat, dan perempuan kalah bersaing? Mengapa nominator calon BPMS untuk periode 2014-2018 hanya ada 4 perempuan?  Mengapa pendeta perempuan asal Minahasa (GMIM), dapat ditetapkan atau melalui proses pemilihan, artinya dipercaya, di luar daerahnya sendiri, lalu, mengapa di daerahnya sendiri, di GMIM, tidak?  Pertanyaan-pertanyaan ini masih dapat ditambah lagi oleh para pembaca tulisan ini untuk menggugah dan ‘menggugat’ kita warga GMIM setiap kali menghadapi pemilihan BPS/BPMS GMIM dari satu periode ke periode berikutnya.
Sebagai seorang yang pernah meneliti dan menulis tentang Perempuan Minahasa (tahun 1987-1989/1991)[7] dan yang mengajar mata kuliah Teologi Feminis sejak tahun 1991[8]  saya tergugah untuk meneliti lagi dengan bantuan pertanyaan ini :  mengapa sampai sekarang GMIM belum memilih pendeta perempuan dalam posisi sebagai Ketua Sinode? Bukankah sebagian besar pendeta muda GMIM, baik perempuan dan laki-laki, adalah alumni Fakultas Teologi tahun 1990-an? Pertanyaan ini menjadi penting, mengingat para pendeta perempuan yang pernah dan sedang melayani di aras sinode, baik di GMIM maupun di gereja-gereja sahabat adalah alumni sebelum tahun 1991. Lalu, bagaimana dengan yang tamat tahun 1990-an. Demikian pula di GMIM dan juga di gereja-gereja sahabat yang disebutkan di atas sedang dilayani oleh para pendeta laki-laki yang tamat tahun 1990-an. Mengapa  para pendeta laki-laki di gereja-gereja sahabat dapat memilih  pendeta perempuan, lalu, bagaimana di GMIM?

Belajar dari Gereja-gereja di Sulawesi Utara dan Tengah dan PGI
Mari kita belajar dari gereja-gereja sahabat  yang lebih muda seperti Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) yang pernah dilayani sebagai Ketua Sinode adalah pendeta perempuan asal Minahasa, yaitu Pdt. Agustina Lumentut, dan kemudian dilayani oleh  yaitu Pdt. Juberlian Padele. Sinode Am Gereja-Gereja di Suluteng setelah sebelumnya dilayani oleh Pdt. Agustina Lumentut sebagai Ketua, kemudian oleh Pdt. Sientje Abram sebagai Ketua. Juga Gereja Kristen Luwuk Banggai (GKLB), yang pernah dilayani dua periode sebagai Ketua Sinode oleh seorang pendeta perempuan asal Minahasa, yaitu Pdt. Detty Kani. Kita lirik pula Gereja Masehi Injili Bolaang Mongondow (GMIBM) yang kini dilayani sebagai Ketua Sinode oleh seorang pendeta perempuan, dan sekarang ia menjabat dalam periode kedua, yaitu Pdt. Christina Pangulimang. Gereja Protestan Indonesia Gorontalo (GPIG) kini dilayani oleh Ketua Pdt. Yuanita Takasenseran. Kerapatan Gereja Protestan Minahasa (KGPM) kini dilayani oleh Ketua Pucuk Pimpinan Pdt. Fetrisia Aling. Pendeta Detty, Pdt. Juberlian, Pdt. Christina, Pdt. Yuanita, Pdt. Fetrisia adalah alumni Fakultas Teologi UKIT. Untuk pertama kali Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) memilih Ketuanya seorang perempuan untuk periode yang sedang berjalan ini yaitu Pdt. Dr. Henriette Lebang (Pendeta dari Gereja Toraja). 

Kajian dan Refleksi Teologis
1.     Dalam Alkitab, hakikat perempuan sama dengan hakikat laki-laki yakni sebagai ciptaan yang setara. Kejadian 2: 18 “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.” Kata penolong selalu salah diartikan sebagai ‘pembantu rumah tangga’. Sesungguhnya kata ‘penolong’ di sini tidak berdiri sendiri, melainkan berlanjut dengan ‘yang sepadan dengan dia’. Dalam bahasa Ibrani digunakan kata ‘ezer yang berarti dua : hanya orang yang sepadan dapat saling menolong, hanya orang lebih ‘tinggi’ dapat menolong orang yang ‘rendah’.[9] Tentu kita ingat sapaan kita kepada Tuhan “Tuhan, Penolongku.”
2.     Dalam Alkitab terdapat banyak cerita yang  menceritakan peran perempuan, yang kurang diangkat dalam unsur Bercerita di Sekolah Minggu, Pengajaran dalam Katekhisasi Sidi, seperti : 1. Nabi-nabi. Bukan hanya laki-laki yang berperan sebagai nabi, tetapi juga perempuan : Miryam (Ke. 15:20), Debora yang lebih dikenal sebagai seorang Hakim, padahal dia juga seorang nabi (Hakim-Hakim 4:4), Hulda (2 Raja-Raja 22:14), Hana (Lukas 2: 36-38).  2. Murid Yesus. Bukan hanya laki-laki, tetapi juga perempuan: Maria ( Lukas 10:39). Dalam pengajaran di Sekolah Minggu, nama-nama kaum perempuan ini tidak diperkenalkan sebagai nabi-nabi dan murid Yesus. Mulai dari sini, gereja tidak membelajarkan jemaat untuk melihat peran perempuan seperti membelajarkan tentang peran laki-laki. 
3.     Hati dan otak adalah karunia Pencipta kepada setiap orang. Perasaan dan pikiran/akal adalah dua hal yang sama diperlukan dalam menjalani kehidupan seseorang. Mengabaikan salah satu dan mengagungkan yang lain adalah meremehkan karunia Tuhan. Tentu kenyataan bahwa salah satu lebih dominan dalam diri setiap orang adalah alamiah, dan bukan karena perbedaan jenis kelamin. Hal ini terbukti dalam hal pendidikan dan pekerjaan/karya di dalam masyarakat. Tidak ada pekerjaan/jabatan yang berjenis kelamin. Tidak ada sifat manusia yang berjenis kelamin.
4.     Untuk menjawab berbagai pertanyaan dan penyataan bahwa dalam Alkitab tidak membolehkan perempuan menjadi pemimpin (seperti antara lain yang dikemukakan dalam bagian Pengatar di atas), maka semestinya “setiap penafsir hendak mengenal Alkitab dan menghubungkan naskah yang sedang ditafsirkannya dengan bagian lain yang telah ia kenal sebelumnya (sebagaimana terungkap dalam dalil reformasi “Alkitab adalah penafsir Alkitab”).”[10] Dalam kata lain, bandingkan dan evaluasi setiap ayat/bagian/perikop dalam hubungannya dengan ayat/bagian/perikop lainnya. Dengan cara kerja demikian, sedapat mungkin kita memperoleh pemahaman yang kurang lebih lengkap, atau sekurang-kurangnya kita memperoleh berbagai pandangan sesuai dengan konteks dan keperluan waktu itu ditulis. Kita berupaya agar jujur dalam memahami suatu naskah dan signifikasinya bagi kita masa kini. Metode tafsir apapun yang kita pakai, kita selalu ingat bahwa pengalaman hidup kita akan sangat berpengaruh dalam memahami suatu tulisan. Sebab itu, tidak ada suatu hasil tafsir yang bebas nilai. Saya setuju dengan pernyataan ini: “Pengalaman manusia” merupakan titik tolak dan titik akhir dari lingkaran penafsiran. Tradisi yang telah tersusun rapi berakar di dalam pengalaman dan terus menerus diperbarui oleh pengalaman. Dengan itu setiap penafsir (dan aliran tafsiran) telah mengalami kehadiran dan tindakan Allah.”[11]
5.     GMIM sejak awal berdirinya sebagaimana itu tercatat dalam Tata Gereja tidak melarang, menghalangi, membatasi peran perempuan dalam jabatan pelayanan baik Pendeta, Penatua, Syamas, Guru Agama. GMIM tercatat sebagai salah satu gereja di Indonesia yang dilayani oleh lebih banyak pendeta perempuan daripada pendeta laki-laki[12], serta GMIM yang berakar di tanah Minahasa dengan latar budaya egaliternya, maka  semestinya tidak ada alasan teologis dan budaya untuk memilih perempuan sebagai Ketua Badan Pekerja Majelis Sinode. Tetapi, bila masih ada di antara kita yang ‘melarang’ memilih perempuan karena alasan teologi dan budaya, maka perlu ada ‘pencerahan teologis dan budaya’ baginya. Jangan-jangan alasan ‘politis’ dan ‘belanga’ bagi para pemilih (yang sebagian besar adalah pendeta) yang menjadi kendala selama 4 periode terakhir ini (2000-2005, 2005-2010, 2010-2014, 2014-2018) sehingga tidak berhasil memilih perempuan.[13] Kalau benar ini alasannya, maka para pemilih harus ‘bertobat’. Bila alasan ini salah, maka pertama-tama perlu dicari dalam diri perempuan pemilih  sebagai Anggota Majelis Sinode, dan ini penanda bahwa pemberdayaan perempuan selama kurang lebih 30 tahun ini, belum 'berhasil' mengantar perempuan menjadi Ketua Sinode GMIM. 

Penutup
Semoga tulisan ini dapat membantu atau lebih tepat mempengaruhi :
1.     setiap pembaca tulisan ini agar membaca dan memahami hakikat perempuan dalam Alkitab secara holistik, dan melahirkan pandangan yang setara, sederajat, semartabat perempuan dan laki-laki dalam kehidupan sehari-hari, dalam karya dan kepemimpinan.
2.     jemaat-jemaat (baik perempuan maupun laki-laki) menjaring/menominasikan banyak perempuan untuk dapat dipilih dalam pemilihan Badan Pekerja Majelis Sinode periode 2018-2022.
3.     para ‘primus’ untuk memilih perempuan sebagai Ketua BPMS periode 2018-2022.

*Awalnya tulisan ini dimuat  dalam buku : Alfian R. Komimbin (editor), Teologi Lintas Batas. Buku Penghormatan HUT ke – 70 Pdt. Dr. Johan Nicolaas Gara. Tomohon: UKIT Press, 2017 (ada sedikit revisi).



[1] Yang dimaksud dengan perempuan Minahasa dalam tulisan ini ada 4 kategori. Pertama,  perempuan yang lahir dari ibu dan bapa orang Minahasa. Kedua, perempuan yang lahir dari entah ibu atau bapa orang Minahasa. Ketiga, perempuan yang lahir di tanah adat Minahasa. Keempat, perempuan yang menikah dengan laki-laki Minahasa.
[2] Augustien Kapahang-Kaunang, “Perempuan dalam Budaya Minahasa”, dalam Deetje Tiwa-Rotinsulu dan Augustien Kapahang-Kaunang (editor), Perempuan Minahasa dalam Arus Globalisasi. Jakarta:Meridian, 2005,11. Sengaja saya hanya menampilkan nama-nama ini, sebab mereka pada masanya dapat meraih gelar akademis dan menjadi pemimpin yang original. Menurut analisis saya, pada waktu itu belum ada praktek jual beli ijazah, belum ada praktek jual beli jabatan alias belum ada ‘money politics’, belum ada ‘kampanye-kampanyean’ seperti dalam kurun waktu kurang lebih 10 tahun terakhir ini. Saya menduga mereka adalah sosok selain bergelar akademis, mereka  mandiri dan berinregritas terandalkan dalam bidangnya masing-masing.
[3] Ibid, 12
[4] Mission 21 adalah suatu badan misi internasional, yang biasanya disingkat M21 berkantor pusat di Basel-Switzerland.
[5] Pdt. Ketty Ticoalu terpilih menggantikan dan melanjutkan tugas Anggota a.n. Pdt. Sientje Abram.
[6] Semoga tidak ada yang terlewatkan. Selama berabad-abad, sejarah hanya menampilkan nama-nama laki-laki sebagai pelaku sejarah. Dalam sejarah gereja hanya dicatat “Bapa-bapa Rasuli dan Bapa-bapa Gereja.” Tidak heran dalam bahasa Inggris ‘history’. Beberapa nama perempuan a.l. Perpetua (abad ke-3), pemimpin kelompok kecil orang Kristen, yang menjadi martir karena tidak mau mempersembahkan kurban kepada dewa-dewa negara. Profil Perpetua ini menegaskan bahwa perempuan berani mengambil keputusan atas imannya meski berakibat fatal bagi dirinya. Eudokia (abad ke-5) menulis Sejarah Gereja. Profil Eudokia ini menyatakan bahwa perempuan sejak dahulu telah berperan penting dalam bidang ilmu pengetahuan teologi. Bila history dan herstory digabung menjadi lengkap ‘ourstory’, sejarah kita, sejarah bersama.
[7] K.A.Kapahang-Kaunang, Perempuan. Pemahaman Teologis tentang Perempuan dalam Konteks Budaya Minahasa. Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1993.
[8] Mata kuliah ini tercatat yang pertama diajarkan di antara sekolah-sekolah teologi anggota Perhimpunan Sekolah-Sekolah Teologi di Indonesia (PERSETIA). Lihat tulisanku berjudul “Teologi Feminis di Fakultas Teologi UKIT Tahun 1991/1992 – 2013”, dalam Danang Kurniawan, H.Ongirwalu, Ratnawati Lesawengan, Yusak Soleiman (editor), Mengevaluasi Arah dan Karakter Teologi Feminis Kristen di Indonesia. Prosiding Seminar dan Lokakarya Teologi Feminis, 17-20 Juli 2013. Jakarta : PERSETIA, 2015,51-66.
[9] Lihat Marie Claire Barth-Frommel, Hati Allah bagaikan Hati Seorang Ibu. Pengantar Teologi Feminis. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003, 45,  catatan kaki nomor 13 “Dari 118 kali pemakaian akar “azar”(menolong), 55 kali Allah menolong (entah aku 23 kali, 3 entah kita 20 kali, entah umat 8 kali, entah orang 9 kali), 68 kali manusia menolong (45 kali raja atau panglima, 13 kali orang lain menolong), 9 kali dikatakan “tiada penolong” dan sekali tidak ada subyek.
[10] Ibid, 25.
[11] Ibid, 24-25.
[12] Data Desember 2016: Pendeta laki-laki 656, Pendeta Perempuan 1548.
[13] Empat periode terakhir saya tekankan, sebab sejak periode 2000-2005 sudah muncul nama perempuan untuk calon Ketua Badan Pekerja Sinode (BPS). Tetapi, tidak terpilih. Pada periode ini perempuan terpilih sebagai salah satu Wakil Ketua. Kemudian periode 2005-2010 perempuan terpilih sebagai Wakil Sekretaris. Periode 2010-2014 muncul dengan kuat nama perempuan, tetapi tidak terpilih. Periode 2014-2018 muncul dengan kuat nama perempuan, tetapi tidak terpilih. Bagi saya, periode ini adalah periode patriarkat dan androsentris, tidak ada satupun pendeta perempuan dalam kepemimpinan BPMS, bahkan dalam jabatan Sekretaris Bidang hanya satu perempuan yang dipilih oleh BPMS, padahal ada banyak perempuan yang ikut terjaring. Sungguh periode yang ‘mengabaikan’ kualitas pendeta perempuan. 

Selasa, 27 Juni 2017

Peran Perempuan Berpendidikan Teologi di Indonesia

PERAN PEREMPUAN  BERPENDIDIKAN TEOLOGI DI INDONESIA
Oleh :  Karolina Augustien Kaunang

Pengantar
Saya bersyukur kepada Tuhan beroleh kesempatan untuk menulis dalam sebuah buku yang  dipersembahkan kepada ibu Pdt. Dr.h.c.Marie Claire Barth-Frommel. Saya mengenal ibu sejak saya mahasiswa S1 melalui bukunya Mazmur. Ibu pernah datang memberi kuliah umum. Perkenalan lebih dekat saat saya menjadi utusan GMIM mengikuti beberapa kegiatan Basel Mission sejak tahun 1989 baik yang dilakukan di Basel, di Sabah, di Amerika Latin (Peru dan Chile)  dan Indonesia.  Saya belajar banyak dari cara ibu yang terus memelihara dan membangun komunikasi melalui surat menyurat, email dan kartu Natal selama ini. Tidak ada suratku yang tidak dibalasnya. Ibu selalu tidak lupa mengirimkan bukunya yang diterbitkan oleh BPK Gunung Mulia langsung dari Penerbit. Tahun 2012 saya beroleh kesempatan berkomunikasi melalui email saat memohon kesediaan ibu untuk menyumbangkan pemikirannya melalui sebuah tulisan dalam rangka perayaan 50 tahun Fakultas Teologi UKIT. Demikian tahun 2013, saya mengundang agar ibu dapat menulis sesuatu untuk merayakan 80 tahun Pdt. Prof.Dr.W.A.Roeroe. Meski pada awalnya ibu sedikit mempersoalkan waktu yang diberikan sangat singkat, akhirnya ibu mengirimkan tulisannya. Sungguh luar biasa. Ibu masih terus menulis sampai sekarang. Saya juga pernah mendapatkan tambahan bantuan studi dari ibu sewaktu mengambil kursus bahasa Inggris di Australia atas biaya dari Basel Mission (tahun 2000). Terima kasih banyak Ibu. Semoga Ibu tetap sehat, terus menulis dan jadi berkat.

Pendahuluan
         Selama berbabad-abad, suara perempuan  dibungkamkan dan atau terbungkam. Kita hanya mengenal istilah Bapa-Bapa Gereja.  Tissa Balasuriya kemudian mencatat bahwa salah satu ciri utama teologi tradisional yang berasal dari kondisi Atlantik Utara ialah teologi yang didominasi oleh laki-laki.[1] TIdak ada Ibu-Ibu Gereja. Perempuan dimarginalisasi, berada di pinggiran saja. Padahal pada abad ke-3  ada  seorang  perempuan yang berperan dalam sejarah gereja yaitu Perpetua. Ia menjadi martir, dibunuh karena tidak mau mempersembahkan kurban kepada dewa-dewa negara. Profil Perpetua ini sekaligus menegaskan bahwa perempuan berani mengambil keputusan atas imannya  meski berakibat fatal. Ada pula seorang penulis yang bernama Eudokia (abad ke-5)  yang  menulis dalam bidang sejarah gereja. Profil Eudokia ini menyatakan bahwa perempuan sejak dahulu kala telah berperan dalam bidang ilmu pengetahuan teologi[2]. Kemudian pada abad XVII muncullah teolog-teolog perempuan yang terkenal dengan teologi feminismenya.[3]
        Teologi feminis mulanya berkembang di Amerika Serikat, walaupun konferensi-konferensi, publikasi-publikasi dan pengajaran-pengajaran bertempat juga di Inggris, Eropah Barat dan Amerika Latin. Tahun 1667, Margaret Fell, menulis sebuah risalah yang berjudul “Women’s  Speaking Justified, Approved and Allowed by the Scriptures’. Dalam risalah ini ia melihat persamaan perempuan dalam Kristus dari segi hermeneutik Alkitab dan anthropologi teologis dan konsekuensinya dalam berkhotbah, mengajar dan mengatur di dalam Gereja Kristus. Pada abad XIX , Sarah Grimke (1837) menulis “Letters on the Equality of the Sexes and the Condition of Women”. Ia mendebatkan hak perempuan dalam masyarakat secara teologis dan alkitabiah. Berdasarkan Kejadian 1:27, Grimke mendefinisikan persamaan perempuan dan laki-laki pada waktu penciptaan pertama dengan menunjuk pada persekutuan milik dari Imago Dei. Perempuan dan laki-laki diberi kuasa atas alam, tetapi ternyata laki-laki tidak memberi kuasa itu kepada perempuan. Patriarkhalisme dikritiknya sebagai kejatuhan dosa atas kedudukan perempuan semula dalam rencana Allah. Ia menghimbau pemimpin-pemimpin gereja untuk membaharui kembali struktur institusi mereka dari ketidakadilan. Elisabeth Cady Stanton antara tahun 1895-1998 menulis “The Women’s Bible”,dan Matilda Joslyn Gage menulis “Women, Church and State”. Keduanya secara khusus membuktikan keadaan perempuan yang sebenarnya dalam istilah-istilah Alkitab dan teologis, serta mengkritik pemakaian Alkitab sebagai alat dominasi laki-laki.[4] Seiring dipromosikannya upaya berteologi kontekstual  pada tahun 1970-an [5], teologi feminispun mendapatkan tempat yang lebih luas dan terbuka terutama dalam lingkungan pendidikan teologi formal.  Berikut ini adalah uraian tentang  topik tulisan ini.  Data di sini lebih terfokus pada konteks lokal Minahasa, Fakultas Teologi UKIT dan Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM).[6]

Perempuan dalam Pendidikan Formal Teologi
        Fakultas Teologi Universitas Kristen Indonesia Tomohon (FTeol UKIT) yang berdiri terhitung sejak ia bernama Pendidikan Tinggi Theologia (PTTh) yakni pada tanggal 7 Oktober 1962,[7] sebagai salah satu  sekolah anggota Perhimpunan Sekolah-Sekolah Teologi di Indonesia (PERSETIA), memiliki mahasiswa perempuan lebih banyak daripada mahasiswa laki-laki. Para mahasiswa ini datang dari berbagai gereja yang umumnya berasal dari wilayah Sulawesi Utara dan Tengah, dan tentu saja yang paling banyak berasal dari Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM). Hal ini menyatakan bahwa tidak ada penghalang bagi kaum perempuan untuk masuk sekolah teologi, dan karenanya tidak ada halangan bagi kaum perempuan untuk ditahbiskan menjadi pendeta.
        Saat para calon mahasiswa diminta untuk menuliskan alasan mengapa mereka memilih studi di sini kemudian dilanjutkan dengan wawancara, hampir semua menyatakan karena mereka ingin menjadi pendeta. Begitupun dengan orang tua mahasiswa terus merindukan agar setelah anaknya tamat, segera dapat melamar di gereja untuk menjalani masa persiapan menjadi pendeta atau yang lebih dikenal dengan masa vikariat. Padahal sejak tahun 1999  jelas menyatakan bahwa  tujuan penyelenggaraan pendidikan lembaga ini ialah “….supaya memperoleh kemampuan dan ketrampilan berteologi di tengah konteksnya masa kini.”  Tahun 2002, visi lembaga ini berubah yaitu  “…. bertujuan untuk menghasilkan teolog berkualitas, …”, kemudian pada tahun 2006 visinya “Menjadi lembaga pendidikan tinggi … untuk tersedianya teolog berkualitas yakni …[8]. Jadi jelaslah bahwa lulusannya adalah seorang teolog S1 (Sarjana Teologi), bukan Pendeta.
        Sejak Fakultas Teologi UKIT didirikan pada tahun 1962 sampai kini, terutama sejak tahun 1970-an mahasiswa perempuan  lebih banyak dari mahasiswa laki-laki. Mereka berasal dari gereja-gereja yang ada di Sulawesi Utara dan Tengah, dari Ambon, dari Papua, dari Kalimantan. Tentu saja yang paling banyak berasal dari GMIM. Sempat tercatat gereja pengutus mahasiswa berjumlah 24 gereja, bahkan pada tahun 1990 ada seorang mahasiswa perempuan berasal dari luar negeri, dari gereja mitra GMIM dalam persekutuan dengan Basel Misison di Malaysia yaitu PCS (Protestan Church of Sabah).[9] 
        Peran perempuan yang dari segi kuantitas lebih banyak daripada laki-laki, juga dibarengi dengan perannya sebagai mahasiswa yang berkualitas. Hampir selalu, yang mendapat juara setiap semester dalam semua angkatan diraup oleh perempuan. Karena itu, tidaklah heran bila para dosen sekarang ini, sejak tahun 1989, lebih banyak perempuan daripada laki-laki. [10] 
       Dalam hal kepemimpinan lembaga, menjadi Dekan melalui proses pemilihan oleh para dosen, sudah 5 periode dipercayakan kepada seorang perempuan, yakni pada tahun 1970-1971 : Pdt. Adriana Lala, STh[11]; 1980-1983 : Pdt. Sientje Ervin Abram, S.Th[12]; tahun 1999-2002 : Pdt. Adriana Lala, D.Theol[13];  tahun 2006-2010 : Pdt. Karolina Augustien Kaunang. MTh[14]; tahun 2011-2015 : Pdt.Dr. Karolina Augustien Kaunang[15].  Bahkan dalam periode 2006-2010 dan 2011-2015, peran perempuan dalam kepemimpinan sangat kuat.  Pembantu Dekan Bidang Akademik[16] dan Pembantu Dekan Bidang Administrasi  Umum dan Keuangan,[17] serta Ketua Program Studi TKP[18] dijabat oleh perempuan, hanya Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan yang dijabat oleh seorang laki-laki.[19] Kepemimpinan dalam kurun hampir 7 tahun ini (sejak 2007) adalah tahun-tahun yang tersulit, sebab lembaga ini terlilit dengan  masalah internalnya berkaitan dengan gereja pendirinya (GMIM) .[20]
Data terbaru dari sekolah-sekolah teologi anggota Perhimpunan Sekolah-Sekolah Teologi di Indonesia (PERSETIA) menunjukkan bahwa ada perkembangan signifikan dalam hal tenaga pengajar. Semakin banyak perempuan menjadi dosen dan dipercayakan memimpin penyelengaraan pendidikan teologi. Sekarang ini mereka yang menjabat sebagai Pemimpin adalah Pdt.Dr, Karolina Augustien Kaunang (Dekan Fakultas Teologi Universitas Kristen Indonesia Tomohon tahun 2006-2010, 2010-2015), Pdt.Dr. Retnowati,MSi (Dekan Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga), Pdt. Drs. Evie Maria Pada, STh (Dekan Fakultas Teologi Universitas Arta Wacana Kupang sejak Februari 2012 sampai 2016), Pdt.Lies Sigilipu, S.Th,MSi (Ketua Sekolah Tinggi Teologi  Gereja Kristen Sulawesi Tengah sejak tahun 2011),Pdt.Dr. Gernaida Krisna Pakpahan (Ketua Institut Teologi  Kristen Indonesia), Pdt. Irene Umbu Lolo, MTh (Ketua Sekolah Tinggi Teologi Gereja Kristen Sumba),  Pdt. Septemmy E. Lakawa, Th.D (Direktur Pascasarjana Teologi Sekolah Tinggi Teologi Jakarta sejak Oktober 2011-30 September 2015), Pdt. Mery Kolimon, PhD (Direktur Pascasarjana Fakultas Teologi Universitas Kristen Arta Wacana Kupang sejak 2012 sampai sekarang). Data ini menunjukkan bahwa peran perempuan dalam pendidikan teologi sebagai  ‘dapur gereja’ yaitu lembaga yang menghasilkan para teolog yang akan bekerja di lembaga gerejawi ataupun dalam masyarakat luas, sedang berkontribusi kuat dalam memberi perspektif baru dalam karya dan kepemimpinan. Ada juga yang berperan di sekolah tinggi teologi yang didirikan oleh pemerintah yaitu STAKN (Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri) di Manado, yaitu Pdt. Roos Bastian, S.Th.MSi kini menjabat selaku Ketua.
Peran perempuan dalam PERSETIA sebagai wadah persekutuan sekolah-sekolah teologi di Indonesia, sangat nyata dalam posisi Wakil Ketua, Sekretaris, Bendahara , Anggota dan Direktur Pelaksana. Dapat dicatat di sini Pdt. Dr. Margaretha Hendrik Ririmase (Wakil Ketua tahun 1997 -2006 /Fakultas Teologi UKIM, Ambon), Pdt. Karolina Augustien Kaunang, M.Th (Wakil Ketua tahun 2006-2010/Fakultas Teologi UKIT,Tomohon), Pdt. Drs. Silvana Maria Apituley (Sekretaris tahun 2006-2010/STT Jakarta), Pdt. Gernaida Krisna Pakpahan, MTh (Bendahara tahun 2002-2006/Sekolah Tinggi Teologi Bethel Indonesia,Jakarta), Pdt. Dr.Retnowati, M.Si (Sekretaris tahun 2010-2014/Fakultas Teologi UKSW, Salatiga), Pdt. Resty Arnawa, MTh (Wakil Bendahara tahun 2010-2014/STT Intim Makassar), Pdt. Maria Assa, STh,M.Min (Anggota tahun 1998-2002/Fakultas Teologi UKIT, Tomohon), Pdt. Lies Sigilipu, STh.MSi (Anggota tahun 2002-2006 /STT GKST), Pdt. Tabita Kartika Christiani, PhD (Anggota tahun 2006-2010/Fakultas Teologi UKDW/Yogyakarta). Pdt. Bendalina Souk, STh (Direktur Pelaksana tahun 1993 -2000 ), Pdt.Nancy Souisa, STh, MSi (Direktur Pelaksana tahun 2000 - 2008). Nyata  kontribusi perempuan dalam lembaga level nasional ini, cukup signifikan.
ATESEA (The Association for Theological Education in South East Asia) yang sejak tahun 2000-an berkantor pusat di Manila-Filipina, juga mendapat sentuhan dari perempuan Indonesia. Mereka itu ialah Pdt. Dr.  Sientje Ervin Abram sebagai Direktur Eksekutif (2001-2008), Pdt.Dr.Karolina Augustien Kaunang sebagai Anggota  Board of Trustees ( Maret 2013-2017).

PEREMPUAN BERPENDIDIKAN TEOLOGI DALAM GEREJA DAN MASYARAKAT
1.Peran dalam Gereja
Pelayanan dalam gereja-gereja, lembaga-lembaga gerejawi menjadi ladang pelayanan bagi lulusan teologi baik laki-laki maupun perempuan. Artinya, dalam kehidupan bergereja,  peraturan gereja atau organisasi kegerejaan/pendidikan teologi memberi peluang yang sama bagi laki-laki dan perempuan berpendidikan teologi untuk bekerja (melayani).
Dalam GMIM (Gereja Masehi Injili di MInahasa), sejak tahun 1980-an, yang melayani di jemaat-jemaat (teritorial) sebagai Pendeta/Ketua Jemaat, di atas 60%  adalah perempuan. Namun, di aras wilayah (kumpulan beberapa jemaat dalam satu wilayah yang berdekatan), peran perempuan sebagai Ketua Wilayah hanya sekitar 25%. Bahkan sampai di tingkat sinodal, sampai pada periode pelayanan Badan Pekerja Sinode/Badan Pekerja Majelis Sinode (1995-2000,2000-2005,2005-2010, 2010-2014) hanya terpilih 2 perempuan berpendidikan teologi (pendeta) dari 11 orang yang dipilih dalam Sidang Sinode. [21]
Yang menarik adalah, para pendeta  dengan latar belakang budaya Minahasa[22] baik yang belajar teologi di Tomohon maupun Makassar, terpilih menjadi Ketua Sinode di GKST (Gereja Kristen Sulawesi Tengah) kemudian a.l. menjadi Wakil Sekretaris Umum PGI, Ketua Sinode Am Gereja-Gereja di Sulawesi Uatara dan Tengah yaitu Pdt. Agustina Lumentut, Pdt. Detty Kani  sebagai Ketua Sinode GKLB (Gereja Kristen Luwuk Banggai), Pdt. Deetje Rotinsulu  menjadi Kepala Biro Wanita PGI (1991-1996), Pdt. Liesje Makisanti  menjadi Sekretaris GPI (Gereja Protestan Indonesia), juga sebagai Anggota kemudian Wakil Sekretaris MPH PGI, Pdt. Lilly Danes menjadi Kepala Biro Wanita PGI, Pdt. Krise Gosal menjadi Sekretaris Eksekutif  Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Anak PGI. Pdt. Liesje Sumampow  menjadi Sekretaris GPI menggantikan Pdt. Liesje Makisanti.
Di tingkat dunia, dapat disebut seperti Pdt. Yunita Lasut sebagai misionaris di Jerman, sekarang di EKHN Frankfurt, Pdt. Deetje  Rotinsulu - misionaris di San Fransisco dan Los Angeles AS, Pdt. Olga Mercy Rumengan- misionaris di Jew Jersey, Pdt. Henny Poluan- misionaris di New Jersey, Pdt. Cynthia Kekung- misionaris di New Hampshire dan di California, Pdt. Olivia S.M.Rondonuwu sebagai misisonaris di Sydney Australia.  Dalam hal kelembagaan ekumenis tingkat dunia, Pdt. Deetje Rotinsulu menjabat Koordinator Asia untuk Basel Mission (1997-2001), Pdt.Joyce Ellen Manarisip sebagai Koordinator  Regional Program M21 untuk Indonesia-Malaysia ( 2011 - sampai sekarang).

Peran Perempuan dalam Masyarakat
Lulusan sekolah teologi tidak saja melayani di gereja/jemaat, tetapi juga dalam masyarakat.  Hal ini dibuktikan dengan banyaknya alumni Fakultas Teologi UKIT yang menjadi Pegawai Negeri Sipil. Ada yang bekerja di kantor-kantor pemerintah, ada pula yang menjadi guru sekolah (SD, SMP, SMA), dosen perguruan tinggi negeri dan swasta, ada pula yang menjadi polisi.  Dalam 6 tahun terakhir ini ada banyak alumni yang diangkat menjadi guru sekolah dan dosen, di Sulawesi Utara dan Tengah,  di Maluku, di Papua. [23] Kehadiran dan peran para guru dan dosen ini,  tentu saja dalam pendidikan agama Kristen, sangat signifikan dalam memberi isi moral etik yang lebih kuat bagi para nara didiknya. Sehingga  kalau selama ini nara didik lebih dibelajarkan dari segi inteleltual (IQ), maka dengan kehadiran para guru/dosen agama pembelajaran diimbangi dengan segi spiritual (SQ). [24]
Ladang pelayanan dalam hal penataan kehidupan bermasyarakat seperti menjadi anggota legislatif juga dimasuki oleh perempuan berpendididkan teologi. Mereka itu yang sekarang sedang aktif  adalah Pdt. Meiva Lintang,STh sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sulawesi Utara, Diana Rogi,STh sebagai anggota DPRD Provinsi Sulawesi Utara. Sebelumnya, Pdt. Johanna Paulina Setlight, MTh menjadi anggota DPRD Kabupaten Minahasa tahun 1997-1999. Ketiganya menjadi anggota DPRD dari Partai Golkar.  Masih berkaitan dengan bidang politik ialah Komisi Pemilihan Umum. Mereka itu adalah Yessy Momongan,STh.MSi sebagai Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Minahasa tahun 2003-2008, kemudian sekarang menjadi Ketua KPU Provinsi Sulawesi Utara (2013-2018). Juga Pdt. Fanny Wurangian, MTh  sebagai Anggota KPU Kabupaten Minahasa Tenggara tahun 2008-2013, Oktober 2013 – 2018.
Ladang pelayanan di lembaga swadaya masyarakatpun telah ada yang memasukinya. Sebut saja Pdt. Elga Agustien Sarapung bekerja di Interfidei di Yogyakarta sejak 1993, dan sejak tahun 2003 menjabat sebagai Direktur. Pdt. Ejodia Kakoensi bekerja di Kindernothilfe Germany[25] Indonesia (2006-2010). Vanda Lengkong yang bekerja di Plan International[26] sejak medio 2008 sampai sekarang.

Peran PERWATI/PERUATI
PERWATI atau Persekutuan Wanita Berpendidikan Teologi berdiri 26 Mei 1995 dalam suatu konsultasi para perempuan berpendidikan teologi dari seluruh Indonesia yang berlangsung di Bukit Inspirasi Tomohon (kompleks kampus Universitas Kristen Indonesia Tomohon). Konsultasi ini digagas oleh Biro Wanita PGI dan Perhimpunan Sekolah-Sekolah Teologi di Indonesia (PERSETIA). Nama PERWATI kemudian berubah  menjadi PERUATI (Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi) yang ditetapkan pada Konsultasi di Sibolangit, Sumatera Utara pada tahun 2007[27]
Selama hampir 2 dekade ini, lembaga ini terus mengembangkan fungsi kelembagaannya melalui tangan-tangan para pengurusnya. Mereka yang dipercayakan sebagai Ketua berturut-turut Pdt.Sientje Abram, D.Th, Pdt. Septemy E.Lakawa, ThM, Pdt. Ester Mariani Ga, STh, MSi, dan kini Pdt. Ruth Ketsia Wangkai, MTh (2011-2015).
Pastilah peran lembaga ini telah turut menyumbang secara signifikan akan hakikat diri dan peran kuat para perempuan berpendidikan teologi dalam keluarga, gereja dan masyarakat. Untuk itu pelibatan semua anggota dalam program yang membasis dalam jemaat atau ladang pelayanannya harus mendapat perhatian. Program utamanya harus menyentuh pergumulan anggota yang bekerja di aras basis, agar lembaga ini dirindukan selalu sebagai kebutuhan bersama dan menjawab kebutuhan bersama, sambil terus mengembangkan program yang memperjuangkan kemanusiaan dan keutuhan ciptaan  pada umumnya.[28] Dapat dikatakan PERUATI adalah organisasi profesi yang utamanya berorientasi pada fungsi, bukan jabatan. “Melalui PERWATI, perempuan berpendidikan teologi diharapkan dapat memberi warna tersendiri dalam proses berteologi dan pengembangan pendidikan teologi di Indonesia. Pendidikan teologi bagi Gereja demikian penting, karena melaluinya dapat dipersiapkan Gereja yang lebih merakyat dan bergumul dengan berbagai persoalan sosial yang dialami oleh rakyat kebanyakan. Salah satu di antaranya adalah soal perempuan.”[29]

Kesimpulan Reflektif
  1. Perempuan berpendidikan teologi di Indonesia sedang berperan dalam segala bidang kehidupan masyarakat. Ini suatu kemajuan yang signifikan. Nyatalah bahwa jebolan sekolah teologi tidak hanya dapat melayani di dalam gereja, melainkan juga di dalam masyarakat luas, baik di dalam negeri maupun di luar negeri.
  2. Dari segi kwantitas perempuan berpendidikan teologi makin banyak. Sebagian besar dari mereka adalah pelayan dalam jemaat-jemaat lokal seperti a.l di GMIM (Gereja Masehi Injili di Minahasa), GPM (Gereja Protestan Maluku), GMIT (Gereja Masehi Injili Timor). Ibu Marie Claire Barth-Frommel dalam satu artikelnya yang berjudul “Mengajar Teologi Feminis dalam Pendidikan Akademis” menulis “Masih banyak perempuan yang belum menikmati sejahtera, itu sebabnya keadilan gender dan keadilan sosial menjadi tanggung jawab pertama orang yang hendak mengembangkan masyarakat di mana setiap warga hidup wajar dan dapat menyumbang sesuatu dengan pengetahuan, ketrampilan dan hikmat pada kebaikan bersama.”[30] Tulisannya ini menantang para pelayan ini untuk lebih profesional dalam pekerjaannya.
  3. Peran perempuan berpendidikan teologi yang mengedepankan keutuhan manusia perempuan dan laki-laki dan keramahan terhadap alam harus menjadi tolok ukur karya pelayanan dan perjuangannya. Dengan demikian menjadi jelas bahwa peran perempuan berpendidikan teologi  bukan hanya untuk dirinya sendiri, apalagi untuk bersaing dengan laki-laki,  melainkan dari dirinya untuk dan bersama-sama dengan semua orang dan meliputi semua hal yang berkaitan dengan kemanusiaan dan keutuhan ciptaan.
  4. Sasaran pertama dari semua karya dan perjuangan para perempuan berpendidikan teologi ialah agar kaum perempuan di dalam keluarga, gereja dan masyarakat menikmati hidup layak dan terhormat, sederajat dan setara dengan kaum laki-laki. Melihat dan mendengar serta meneliti ternyata  masih banyak kaum perempuan yang miskin, tidak berpendidikan (formal) cukup, tidak berani bersuara membela hak-hak hidupnya, dilecehkan, dikerasi, ditindas, maka program PERUATI harus membasis.  Perempuan yang dilecehkan, dikerasi dan ditindas dapat dialami oleh perempuan dalam segala strata sosial. [31]
  5. Lembaga Pendidikan Teologi bersama dengan PERUATI dan gereja-gereja harus bersinergi dalam pelayanan dan perjuangannya yang inklusif dengan lembaga-lembaga kemasyarakatan dan keumatan lainnya. Hal ini tidak sulit, sebab di lembaga-lembaga kemasyarakatan/keumatan telah dimasuki oleh para perempuan berpendidikan teologi. Hanya diperlukan kesediaan untuk sharing resources dan sharing finacial. Hal ini sangat berkaitan dengan sharing leadership.
  6. Baik dalam lembaga pendidikan teologi  maupun dalam pelayanan gereja-gereja [32], Ibu Pdt.Dr.h.c. Marie Clare Barth-Frommel telah sangat berperan signifikan  memajukan kaum perempuan dalam karya dan perjuangannya untuk kemaslahatan keluarga, gereja dan masyarakat. Kita bersyukur atas karya ibu bagi dan di antara kami kaum perempuan berpendidikan teologi pada khususnya. Sapaan orang Minahasa untuk Ibu : “Pakatuan wo Pakalawiren” (Usia lanjut dan Sejahtera) sedang menjadi kenyataan.





[1] Tissa Balasuriya, Teologi Siarah. Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1994, 4-5.
[2] Lihat  B.F.Drewes, Julianus Mojau, Apa itu Teologi. Jakarta ; BPK Gunung Mulia, 2003: 35, 40.
[3] Kata feminisme digunakan pertama kali oleh Hubertine Auclert, seorang yang berasal dari Perancis. Feminisme waktu itu sebagai sebutan untuk memperjuangan hak-hak politik kaum perempuan. Istilah ini memiliki waktu persiapan yang lama berkaitan dengan kaum perempuan pencipta sejarah. Di Amerika Serikat, kaum perempuan mulai mengangkat suara mereka untuk menentang kedudukan rendah kaumnya pada penghujung tahun 1830-an. Lihat Anne M. Clifford, Memperkenalkan Teologi Feminis. Maumere : Ledalero, 2002, 17-18. Band. K.A.Kapahang-Kaunang, Perempuan. Pemahaman Teologis tentang Perempuan dalam Konteks Budaya Minahasa. Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1993,xiv
[4] Lihat Kapahang-Kaunang, ibid, xii-xiii
[5] Di kalangan Theological Education Fund (TEF) World Council of Churches (WCC) yang waktu itu direktur tim TEF adalah Shoki Coe memperkenalkan, mendefinisikan dan mempromosikan istilah kontekstualisasi. Shoki Coe “Kotekstualisasi sebagai Jalan Menuju Pembaharuan”, dalam Douglas J. Elwood (peny.), Teologi Kristen Asia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1992, 13. David J. Hesselgrave, Edward Rommen, Kontekstualisasi Makna, Metode dan Model. Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1995,48-50
[6] Saya belum melakukan pendataan secara nasional. Beberapa data yang saya catat di sini berdasarkan pengetahuan saya yang diperoleh  saat mengikuti beberapa kegiatan nasional, dan melalui sms, email, facebook.
[7] PTTh kemudian menjadi salah satu Fakultas Teologi dalam lingkungan Universitas Kristen Indonesia Tomohon (UKIT) pada tanggal 20 Februari 1965. Lembaga pendidikan teologi ini memeliki sejarah yang panjang, yakni dimulai pada tahun 1868 dengan berdirnya Sekolah Pembantu Penginjil. Kemudian didirikan pula STOVIL (School tot Opleiding van Inlandsche Leeraren) pada tahun 1886-1942.  Selanjutnya menjadi Sekolah Pendeta, Sekolah Theologia, Akademi Theologia. Sejarah lengkapnya dapat dibaca dalam buku Petunjuk Studi Fakultas Teologi UKIT 1988/1989, 1999, 2002,2004,2006.
[8] Lihat Buku Pandauan Studi Fakultas Teologi UKIT tahun 1999, 2002 dan 2006, Perubahan ini didasarkan pada kenyataan dan kebutuhan di lapangan bahwa para tamatan tidak saja menjadi pendeta di gereja-gereja tetapi juga bekerja di dalam masyarakat. Sejak tahun 1990-an makin banyak tamatan yang berkiprah di bidang pelayanan public baik sebagai pegawai negeri seperti guru agama dan pegawai kantor, mauoun sebagai pekerja sosial.  Apalagi dengan keluarnya SK Dikti tahun 1996 yang memasukkan Teologi sebagai salah satu bidang keilmuan di Indonesia.
[9] Namanya Juraya Masandu. Kedatangannya ke Minahasa bersamaan dengan kepulangan Pdt. Augustien Kaunang yang selesai mengikuti konsultasi gereja-gereja mitra Basel Mission Asia yang berlangsung di Kota Kinabalu, tahun 1990.
[10] Sebagian besar dosen perempuan ini adalah tamatan FTeol UKIT tahun 1980-an. Setelah menjalani masa vikariat di jemaat dan diteguhkan menjadi pendeta, serta melayani di jemaat sekitar 2-3 tahun, mereka direkrut menjadi dosen melalui GMIM. Sehingga status mereka tetap sebagai pendeta GMIM yang dipekerjakan di Fakultas Teologi UKIT. Biaya hidupnya dibayar dari kas sinode GMIM.
[11] S1 tamat dari  STT Jakarta
[12]  S1 tamat dariFakultas Teologi UKIT
[13]  S2 dan S3 tamat dari The South East Asia Graduate School of Theology (SEAGST-ATESEA).
[14]  S1 tamat dari Fakultas Teologi UKIT, S2 tamat dari The South East Asia Graduate School of Theology (SEAGST-ATESEA)
[15] S3 tamat dari Program Pascasarjana Teologi UKIT (PPST UKIT). Gelar-gelar akademis yang tercantum di sini sesuai dengan gelar waktu menjabat.
[16] Pdt. Dr. Lientje Kaunang,
[17] Pdt. Johanna Paulina Setlight,MTh
[18] Pdt. Helena Johana Tandiapa, MTeol, sebelumnya Pdt. Vera Loupatty, MTeol
[19] Namun sebelumnya dijabat oleh Pdt.Marhaeni Luciana Mawuntu, STh,MSi
[20] Masalah internal ini   sebagai dampak dari pemilihan dan penetapan Rektor UKIT pada Desember 2005, yang di kemudian hari, tepatnya pada periode Badan Pekerja Sinode GMIM mulai tahun 2006, tidak diakui oleh Badan Pekerja Sinode GMIM. Tetapi secara eksternal, hubungan dengan dengan pemerintah, menurut ketentuan perundang-undangan di bidang pendidikan tinggi nasional, tidak ada masalah. UKIT sah secara hukum negara.
[21] Tentu tidak termasuk Ketua/Penatua Wanita/Kaum Ibu tingkat Sinode, yang tidak berlatar belakang pendidikan teologi, ia secara otomatis menjadi Angggota BPS GMIM. Jadi bersama dengannnya hanya ada 3 perempuan dari antara 11 orang BPS GMIM.
[22] Minahasa menunjuk pada tanah adat, yang sekarang ini telah menjadi 7 kabupaten/kota yakni Kabupaten Minahasa, Kota Manado, Kota Bitung, Kota Tomohon, Kabupaten Minahasa Selatan, Kabupaten Minahasa Utara, Kabupaten Minahasa Tenggara. Minahasa disebut secara khusus karena memiliki sejarah yang khas berkaitan dengan keberadaan  perempuan yang melayani atau bekerja di area publik. Lihat K.A.Kapahang-Kaunang, passim. Juga,  Deetje Tiwa-Rotinsulu, Augustien Kapahang-Kaunang (editor), Perempuan Minahasa dalam Arus Globalisasi. Jakarta: Meridian, 2005.
[23]  Data ini diperoleh pada saat para alumni datang ke kantor Fakultas Teologi UKIT untuk melegaliser ijazah dan transkrip nilai untuk keperluan mengurus sertifikasi guru PNS, untuk kenaikan pangkat/jabatan. Juga yang ditemui langsung di wilayah pelayanan mereka pada saat kunjungan ‘bakudapa’ atau temu alumni  (tahun 2011, 2012, 2013) di Tahuna, Siau, Melonguane Talaud, Kotamobagu, Luwuk, Tobelo, Toli Toli.
[24] Pembelajaran di sekolah  bertujuan untuk terjadinya perubahan tingkah laku menjadi lebih baik bagi semua orang, siapa saja, bahkan terhadap lingkungan hidup. Jaman sudah berubah sekali. Pendidikan harus mencakup logika dan spiritual bersama-sama. Tidak cukup orang menjadi pandai lalu bertingkah laku yang tidak baik terhadap sesama dan lingkungannya. Hal ini diperkuat dengan terbitnya SK Mendiknas RI No.045/U/2002 tentang Krikulum Inti Nasional yang menyebutkan 4 pilar penting yaitu Learning How to Know, Learning How to Do, Learning How to Be, Leraning How to Live Together. Apalagi dengan adanya dan berfungsinya Pendidikan Agama di sekolah-sekolah.
[25] Lembaga ini bergerak di bidang Pemenuhan Kebutuhan Anak , dan Kesejahteraan Anak dan Perempuan.
[26] Lembaga yang bergerak di bidang kemanusiaan dan community development.
[27] Lihat Karolina A.Kaunang “Teologi Feminis di Fakultas Teologi UKIT”, dalam Karolina Augustien Kaunang dan Denni H.R.Pinontoan (editor), Jerih Payahmu tidak Sia-sia. 50 Tahun (1962-2012) Fakultas Teologi UKIT dalam Jerih dan Karya. (Tomohon : Fakultas Teologi UKIT bekerja sama dengan Penerbit Lintang Rasi Aksara Books, 2012), hlm. 111-113.
[28]  Lihat PERUATI, Anggaran Dasar (AD) & Anggaran Rumah Tangga (ART). Hasil Keputusan Kongres Nasional PERUATI III di Baileo Oikoumene Ambon 09-14 Agustus 2011, hlm. 1-3.
[29] John A Titaley, “Kata Pengantar”, dalam Stephen Suleeman, Bendalina Souk (penyunting), Berikanlah Aku Air Hidup Itu. (Jakarta : PERSETIA, 1997), hlm.vii.
[30] Dalam Kaunang dan Pinontoan (ed.), op.cit., hlm. 210
[31] Hasil penelitian lapangan mahasiswa peserta mata kuliah Teologi Feminis di Fakultas Teologi UKIT dalam tiga tahun terakhir ini. Juga saya peroleh dari mengikuti Diskusi Tematik yang diselengarakan oleh Swara Parangpuan Sulut bertempat di Kabupaten Minahasa dan di Kota Tomohon dalam 2 tahun terakhir ini. Lihat juga Liputan a.l. dalam Jurnal Sabuah Parangpuan Kesetaraan & Keadilan untuk MDGs 2015, edisi no. 4, Januari – Maret 2012,  no. 5 April – Juni 2012.
[32] Terutama gereja-gereja di Papua, Kalimantan dan Sulawesi Tengah.