Rabu, 17 Januari 2018

PERAN PEREMPUAN MINAHASA. Refleksi Kepemimpinan Sinode GMIM


PERAN PEREMPUAN MINAHASA
Refleksi Kepemimpinan Sinode GMIM
 Karolina Augustien Kaunang
Pengantar
Terlalu sering kita mendengar pernyataan “perempuan itu hanya menggunakan perasaan, perempuan itu tidak menggunakan logika”. Pernyataan ini kemudian dilanjutkan dengan ‘karena itu perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, tokh akan masuk dapur juga’, ‘perempuan mengurus saja urusan domestik, nanti laki-laki yang mengurus urusan publik’, dan banyak sekali stereotipe yang dikenakan kepada perempuan. Stereotipe yang meremehkan keberadaan kaum perempuan ini dicarikan dasar Alkitab dalam Perjanjian Lama a.l. dengan menunjuk pada cerita penciptaan manusia  bahwa Hawa diciptakan dari tulang rusuk Adam. Laki-laki berkuasa atas tubuh perempuan. Lalu dalam Perjanjian Baru a.l. perempuan berdiam diri dan menerima ajaran dengan patuh, perempuan tidak boleh mengajar, dan tidak boleh memerintah laki-laki (I Tim 2: 11, 12), isteri harus tunduk kepada suami (Efesus 5: 22). Tanpa mengkaji lebih dalam hakikat ayat-ayat  tersebut dalam keseluruhan naskah dan latar situasi waktu itu, maka secara semena-mena ayat-ayat ini dipakai untuk melegitimasi  diskriminasi terhadap perempuan sampai sekarang. Kitab suci dipakai untuk melegalkan diskriminasi terhadap perempuan. Haruskah diskriminasi terhadap perempuan terus berlanjut dengan alasan ajaran Alkitab? Mari kita lihat apa sesungguhnya yang diperankan oleh kaum perempuan Minahasa, dan maknanya bagi kepemimpinan pendeta perempuan  GMIM masa kini dan nanti.

Perempuan Minahasa[1] Sekolah dan Berkarya
Sejak tahun 1908, sudah ada 6.056 murid perempuan Minahasa/Manado di antara 12.276 murid perempuan yang terdapat di luar pulau Jawa dan Madura, sementara itu di Jawa baru terdapat 280 murid perempuan.  Dalam kebanyakan sekolah/perguruan tinggi terdata lebih banyak perempuan daripada laki-laki, padahal berdasarkan Data Kependudukan Kabupaten/Kota se SULUT yang dirinci menurut jenis kelamin tahun 2003 menunjukkan penduduk laki-laki lebih banyak  daripada penduduk perempuan.[2]  Data-data ini menunjukkan bahwa sejak dulu anak perempuan Minahasa diberi kesempatan yang sama dengan anak laki-laki Minahasa untuk bersekolah. Tidaklah heran bila  sejarah mencatat bahwa beberapa perempuan Minahasa menjadi pelopor dan pemimpin di bidangnya masing-masing. Sebut saja kepeloporan Marie Thomas yang tercatat sebagai dokter pertama Indonesia yang tamat dari STOVIA, sebuah sekolah yang mendidik dokter-dokter pribumi di Jakarta. Annie Manoppo adalah Sarjana Hukum pertama lulusan Jakarta yang kemudian menjadi Dekan perempuan pertama di Fakultas Hukum Universitas Medan. Nona Politon sebagai pendiri dan rektor pertama Universitas Pinaesaan di Tondano/Manado. Di bidang politik, dirintis oleh Netty Waroh, seorang guru pada HIS berhasil menjadi anggota Dewan Rakyat Manado, Tinneke Waworuntu Kandow sebagai perempuan pertama yang diangkat menjadi Walikota Manado (1950-1952).[3]

Perempuan dalam Kependetaan
Dalam bidang pelayanan keagamaan, khususnya gereja Protestan, pendeta perempuan pertama di Indonesia berasal dari Kema-Minahasa yaitu Pdt. Dharma Angkuw. Berikut ini beberapa nama dicatat, baik yang pernah menjabat maupun yang sedang menjabat. Pdt. Agustina Lumentut menjadi Ketua Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST), kemudian menjadi Wakil Sekretaris Umum PGI, Ketua Sinode Am Gereja-Gereja di Sulawesi Utara dan Tengah.  Pdt. Detty Kani menjadi Ketua Sinode Gereja Kristen Luwuk Banggai (GKLB). Di lingkungan lembaga ekumenis yaitu Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), tercatat Pdt. Deetje Rotinsulu, Pdt. Lilly Danes, Pdt. Krise Gosal, masing-masing pernah menjabat sebagai Kepala Biro Wanita/Sekretaris Eksekutif Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Anak. Pdt. Liesje Makisanti terpilih sebagai Sekretaris Umum Gereja Protestan Indonesia (GPI) dua periode, dan sebagai Anggota MPH PGI dan kemudian Wakil Sekretaris Umum MPH PGI. Pelayanan Pdt. Liesje Makisanti di GPI sebagai Sekretaris, dilanjutkan oleh Pdt. Liesje Sumampouw. Kini Pdt. Liesje Sumampow adalah Ketua GPI.  Demikian juga di level internasional, Pdt. Deetje Rotinsulu pernah menjadi Koordinator Asian Basel Mission Fellowship. Pdt. Joyce Manarisip sekarang melayani sebagai Koordinator Program Mission 21[4] untuk Indonesia-Malaysia.

Perempuan dalam Bidang Pendidikan Tinggi
Dalam bidang pendidikan tinggi teologi Indonesia melalui Perhimpunan Sekolah-Sekolah Teologi di Indonesia (PERSETIA), Pdt. Maria Assa terpilih menjadi Anggota Pengurus (1998-2002), Pdt. Augustien Kaunang terpilih menjadi Wakil Ketua 2 Pengurus (2006-2010, 2014-2018). Di level internasional yaitu The Association for Theological Education in South East Asia (ATESEA), Pdt. Augustien Kaunang terpilih menjadi Anggota Pengurus Yayasan (Board of Trustees, Maret 2013- Maret 2017). Pdt. Sientje Abram pernah bertugas sebagai Direktur Eksekutif ATESEA (hampir 2 periode).

Perempuan di Area Publik
Di  area publik, pendeta atau tamatan teologi, terpilih dan melayani sebagai Ketua DPRD Sulawesi Utara, yaitu Pdt. Meiva Lintang; terpilih menjadi Ketua KPU Minahasa dan kini KPU Sulut, yaitu Yessy Momongan. Di  di level nasional, Pdt. Lilly Danes sekarang  melayani di Komnas Perempuan sebagai Sekretaris Jenderal.

Bagaimana Pendeta Perempuan di GMIM?
Sejak tahun 1995-2017, pendeta perempuan, lebih dari 60% melayani di aras basis yaitu jemaat territorial, dan sebagian daripadanya sekaligus sebagai Ketua Majelis Jemaat. Namun, di aras wilayah sebagai Ketua dan di aras sinode sebagai Badan Pekerja Sinode/Badan Pekerja Majelis Sinode, tidak berbanding lurus dengan perannya di aras basis, alias sangat kurang. Bahkan di aras sinode pada periode 2010-2014 hanya satu orang pendeta perempuan, periode sekarang ini (2014-2018) tidak ada satupun pendeta perempuan. Pada periode sebelumnya ada beberapa pendeta perempuan. Mari kita catat nama-nama mereka Pdt. Wilhelmientje Dumais, Pdt. Mite Lumi, Pdt. Liesje Makisanti (1995-2000), Pdt. Augustien Kaunang (1995-2000, 2000-2005), Pdt. Maria Assa (2000-2005), Pdt. Sientje Abram (2000-2002), Pdt. Ketty Ticoalu (2003-2005, 2005-2010)[5], Pdt. Liesje Sumampow (2005-2010), Pdt. Altje Lumi (2005-2010, 2010-2014). Dua kali, pendeta perempuan menjadi salah seorang Wakil Ketua Sinode yaitu Pdt.Maria Assa (2000-2005 untuk bidang Personalia), dan Pdt. Altje Lumi (2007-2010 melanjutkan tugas Pdt.J.M.Saruan untuk bidang Ajaran Ibadat dan Tata Gereja). Dua kali untuk jabatan Wakil Sekretaris yaitu Pdt. Liesje Sumampow (2005-2010) dan Pdt. Altje Lumi (2010-2014). Sebagai Anggota BPS : Pdt. Wilhelmientje Dumais, Pdt. Mite Lumi, Pdt. Liesje Makisanti, Pdt. Augustien Kaunang, Pdt. Sientje Abram, Pdt. Ketty Ticoalu. Sampai pada tahap ini, saya berupaya mencatat nama-nama para perempuan sebagai pendeta dalam  sejarahnya (herstory).[6]

Mengapa GMIM belum memilih Perempuan?
Jabatan pelayanan pendeta sebagai Ketua Jemaat dan Ketua Wilayah bukan dipilih langsung oleh jemaat/wilayah, melainkan ditentukan/ditetapkan langsung oleh BPS/BPMS.  Sedangkan BPS/BPMS dipilih langsung oleh para utusan jemaat (primus) dalam Sidang Sinode/Sidang Majelis Sinode setiap periode.
Mengapa GMIM belum memilih perempuan sebagai Ketua Sinode? Apakah belum ada yang berkualifikasi untuk aras sinode? Apakah perempuan hanya dapat menduduki posisi ketua bila ditunjuk/diangkat/ditetapkan, seperti Ketua Jemaat dan Wilayah, dan tidak dapat  bila melalui pemilihan? Lalu, siapa yang memilih? Bukankah para pemilih utusan jemaat sebagain besar perempuan? Apakah perempuan sendiri tidak siap? Apakah perempuan tidak bersedia dipimpin oleh perempuan? Apakah di antara perempuan tidak saling mendukung? Apakah laki-laki tidak bersedia dipimpin oleh perempuan? Apakah laki-laki terlalu kuat, dan perempuan kalah bersaing? Mengapa nominator calon BPMS untuk periode 2014-2018 hanya ada 4 perempuan?  Mengapa pendeta perempuan asal Minahasa (GMIM), dapat ditetapkan atau melalui proses pemilihan, artinya dipercaya, di luar daerahnya sendiri, lalu, mengapa di daerahnya sendiri, di GMIM, tidak?  Pertanyaan-pertanyaan ini masih dapat ditambah lagi oleh para pembaca tulisan ini untuk menggugah dan ‘menggugat’ kita warga GMIM setiap kali menghadapi pemilihan BPS/BPMS GMIM dari satu periode ke periode berikutnya.
Sebagai seorang yang pernah meneliti dan menulis tentang Perempuan Minahasa (tahun 1987-1989/1991)[7] dan yang mengajar mata kuliah Teologi Feminis sejak tahun 1991[8]  saya tergugah untuk meneliti lagi dengan bantuan pertanyaan ini :  mengapa sampai sekarang GMIM belum memilih pendeta perempuan dalam posisi sebagai Ketua Sinode? Bukankah sebagian besar pendeta muda GMIM, baik perempuan dan laki-laki, adalah alumni Fakultas Teologi tahun 1990-an? Pertanyaan ini menjadi penting, mengingat para pendeta perempuan yang pernah dan sedang melayani di aras sinode, baik di GMIM maupun di gereja-gereja sahabat adalah alumni sebelum tahun 1991. Lalu, bagaimana dengan yang tamat tahun 1990-an. Demikian pula di GMIM dan juga di gereja-gereja sahabat yang disebutkan di atas sedang dilayani oleh para pendeta laki-laki yang tamat tahun 1990-an. Mengapa  para pendeta laki-laki di gereja-gereja sahabat dapat memilih  pendeta perempuan, lalu, bagaimana di GMIM?

Belajar dari Gereja-gereja di Sulawesi Utara dan Tengah dan PGI
Mari kita belajar dari gereja-gereja sahabat  yang lebih muda seperti Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) yang pernah dilayani sebagai Ketua Sinode adalah pendeta perempuan asal Minahasa, yaitu Pdt. Agustina Lumentut, dan kemudian dilayani oleh  yaitu Pdt. Juberlian Padele. Sinode Am Gereja-Gereja di Suluteng setelah sebelumnya dilayani oleh Pdt. Agustina Lumentut sebagai Ketua, kemudian oleh Pdt. Sientje Abram sebagai Ketua. Juga Gereja Kristen Luwuk Banggai (GKLB), yang pernah dilayani dua periode sebagai Ketua Sinode oleh seorang pendeta perempuan asal Minahasa, yaitu Pdt. Detty Kani. Kita lirik pula Gereja Masehi Injili Bolaang Mongondow (GMIBM) yang kini dilayani sebagai Ketua Sinode oleh seorang pendeta perempuan, dan sekarang ia menjabat dalam periode kedua, yaitu Pdt. Christina Pangulimang. Gereja Protestan Indonesia Gorontalo (GPIG) kini dilayani oleh Ketua Pdt. Yuanita Takasenseran. Kerapatan Gereja Protestan Minahasa (KGPM) kini dilayani oleh Ketua Pucuk Pimpinan Pdt. Fetrisia Aling. Pendeta Detty, Pdt. Juberlian, Pdt. Christina, Pdt. Yuanita, Pdt. Fetrisia adalah alumni Fakultas Teologi UKIT. Untuk pertama kali Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) memilih Ketuanya seorang perempuan untuk periode yang sedang berjalan ini yaitu Pdt. Dr. Henriette Lebang (Pendeta dari Gereja Toraja). 

Kajian dan Refleksi Teologis
1.     Dalam Alkitab, hakikat perempuan sama dengan hakikat laki-laki yakni sebagai ciptaan yang setara. Kejadian 2: 18 “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.” Kata penolong selalu salah diartikan sebagai ‘pembantu rumah tangga’. Sesungguhnya kata ‘penolong’ di sini tidak berdiri sendiri, melainkan berlanjut dengan ‘yang sepadan dengan dia’. Dalam bahasa Ibrani digunakan kata ‘ezer yang berarti dua : hanya orang yang sepadan dapat saling menolong, hanya orang lebih ‘tinggi’ dapat menolong orang yang ‘rendah’.[9] Tentu kita ingat sapaan kita kepada Tuhan “Tuhan, Penolongku.”
2.     Dalam Alkitab terdapat banyak cerita yang  menceritakan peran perempuan, yang kurang diangkat dalam unsur Bercerita di Sekolah Minggu, Pengajaran dalam Katekhisasi Sidi, seperti : 1. Nabi-nabi. Bukan hanya laki-laki yang berperan sebagai nabi, tetapi juga perempuan : Miryam (Ke. 15:20), Debora yang lebih dikenal sebagai seorang Hakim, padahal dia juga seorang nabi (Hakim-Hakim 4:4), Hulda (2 Raja-Raja 22:14), Hana (Lukas 2: 36-38).  2. Murid Yesus. Bukan hanya laki-laki, tetapi juga perempuan: Maria ( Lukas 10:39). Dalam pengajaran di Sekolah Minggu, nama-nama kaum perempuan ini tidak diperkenalkan sebagai nabi-nabi dan murid Yesus. Mulai dari sini, gereja tidak membelajarkan jemaat untuk melihat peran perempuan seperti membelajarkan tentang peran laki-laki. 
3.     Hati dan otak adalah karunia Pencipta kepada setiap orang. Perasaan dan pikiran/akal adalah dua hal yang sama diperlukan dalam menjalani kehidupan seseorang. Mengabaikan salah satu dan mengagungkan yang lain adalah meremehkan karunia Tuhan. Tentu kenyataan bahwa salah satu lebih dominan dalam diri setiap orang adalah alamiah, dan bukan karena perbedaan jenis kelamin. Hal ini terbukti dalam hal pendidikan dan pekerjaan/karya di dalam masyarakat. Tidak ada pekerjaan/jabatan yang berjenis kelamin. Tidak ada sifat manusia yang berjenis kelamin.
4.     Untuk menjawab berbagai pertanyaan dan penyataan bahwa dalam Alkitab tidak membolehkan perempuan menjadi pemimpin (seperti antara lain yang dikemukakan dalam bagian Pengatar di atas), maka semestinya “setiap penafsir hendak mengenal Alkitab dan menghubungkan naskah yang sedang ditafsirkannya dengan bagian lain yang telah ia kenal sebelumnya (sebagaimana terungkap dalam dalil reformasi “Alkitab adalah penafsir Alkitab”).”[10] Dalam kata lain, bandingkan dan evaluasi setiap ayat/bagian/perikop dalam hubungannya dengan ayat/bagian/perikop lainnya. Dengan cara kerja demikian, sedapat mungkin kita memperoleh pemahaman yang kurang lebih lengkap, atau sekurang-kurangnya kita memperoleh berbagai pandangan sesuai dengan konteks dan keperluan waktu itu ditulis. Kita berupaya agar jujur dalam memahami suatu naskah dan signifikasinya bagi kita masa kini. Metode tafsir apapun yang kita pakai, kita selalu ingat bahwa pengalaman hidup kita akan sangat berpengaruh dalam memahami suatu tulisan. Sebab itu, tidak ada suatu hasil tafsir yang bebas nilai. Saya setuju dengan pernyataan ini: “Pengalaman manusia” merupakan titik tolak dan titik akhir dari lingkaran penafsiran. Tradisi yang telah tersusun rapi berakar di dalam pengalaman dan terus menerus diperbarui oleh pengalaman. Dengan itu setiap penafsir (dan aliran tafsiran) telah mengalami kehadiran dan tindakan Allah.”[11]
5.     GMIM sejak awal berdirinya sebagaimana itu tercatat dalam Tata Gereja tidak melarang, menghalangi, membatasi peran perempuan dalam jabatan pelayanan baik Pendeta, Penatua, Syamas, Guru Agama. GMIM tercatat sebagai salah satu gereja di Indonesia yang dilayani oleh lebih banyak pendeta perempuan daripada pendeta laki-laki[12], serta GMIM yang berakar di tanah Minahasa dengan latar budaya egaliternya, maka  semestinya tidak ada alasan teologis dan budaya untuk memilih perempuan sebagai Ketua Badan Pekerja Majelis Sinode. Tetapi, bila masih ada di antara kita yang ‘melarang’ memilih perempuan karena alasan teologi dan budaya, maka perlu ada ‘pencerahan teologis dan budaya’ baginya. Jangan-jangan alasan ‘politis’ dan ‘belanga’ bagi para pemilih (yang sebagian besar adalah pendeta) yang menjadi kendala selama 4 periode terakhir ini (2000-2005, 2005-2010, 2010-2014, 2014-2018) sehingga tidak berhasil memilih perempuan.[13] Kalau benar ini alasannya, maka para pemilih harus ‘bertobat’. Bila alasan ini salah, maka pertama-tama perlu dicari dalam diri perempuan pemilih  sebagai Anggota Majelis Sinode, dan ini penanda bahwa pemberdayaan perempuan selama kurang lebih 30 tahun ini, belum 'berhasil' mengantar perempuan menjadi Ketua Sinode GMIM. 

Penutup
Semoga tulisan ini dapat membantu atau lebih tepat mempengaruhi :
1.     setiap pembaca tulisan ini agar membaca dan memahami hakikat perempuan dalam Alkitab secara holistik, dan melahirkan pandangan yang setara, sederajat, semartabat perempuan dan laki-laki dalam kehidupan sehari-hari, dalam karya dan kepemimpinan.
2.     jemaat-jemaat (baik perempuan maupun laki-laki) menjaring/menominasikan banyak perempuan untuk dapat dipilih dalam pemilihan Badan Pekerja Majelis Sinode periode 2018-2022.
3.     para ‘primus’ untuk memilih perempuan sebagai Ketua BPMS periode 2018-2022.

*Awalnya tulisan ini dimuat  dalam buku : Alfian R. Komimbin (editor), Teologi Lintas Batas. Buku Penghormatan HUT ke – 70 Pdt. Dr. Johan Nicolaas Gara. Tomohon: UKIT Press, 2017 (ada sedikit revisi).



[1] Yang dimaksud dengan perempuan Minahasa dalam tulisan ini ada 4 kategori. Pertama,  perempuan yang lahir dari ibu dan bapa orang Minahasa. Kedua, perempuan yang lahir dari entah ibu atau bapa orang Minahasa. Ketiga, perempuan yang lahir di tanah adat Minahasa. Keempat, perempuan yang menikah dengan laki-laki Minahasa.
[2] Augustien Kapahang-Kaunang, “Perempuan dalam Budaya Minahasa”, dalam Deetje Tiwa-Rotinsulu dan Augustien Kapahang-Kaunang (editor), Perempuan Minahasa dalam Arus Globalisasi. Jakarta:Meridian, 2005,11. Sengaja saya hanya menampilkan nama-nama ini, sebab mereka pada masanya dapat meraih gelar akademis dan menjadi pemimpin yang original. Menurut analisis saya, pada waktu itu belum ada praktek jual beli ijazah, belum ada praktek jual beli jabatan alias belum ada ‘money politics’, belum ada ‘kampanye-kampanyean’ seperti dalam kurun waktu kurang lebih 10 tahun terakhir ini. Saya menduga mereka adalah sosok selain bergelar akademis, mereka  mandiri dan berinregritas terandalkan dalam bidangnya masing-masing.
[3] Ibid, 12
[4] Mission 21 adalah suatu badan misi internasional, yang biasanya disingkat M21 berkantor pusat di Basel-Switzerland.
[5] Pdt. Ketty Ticoalu terpilih menggantikan dan melanjutkan tugas Anggota a.n. Pdt. Sientje Abram.
[6] Semoga tidak ada yang terlewatkan. Selama berabad-abad, sejarah hanya menampilkan nama-nama laki-laki sebagai pelaku sejarah. Dalam sejarah gereja hanya dicatat “Bapa-bapa Rasuli dan Bapa-bapa Gereja.” Tidak heran dalam bahasa Inggris ‘history’. Beberapa nama perempuan a.l. Perpetua (abad ke-3), pemimpin kelompok kecil orang Kristen, yang menjadi martir karena tidak mau mempersembahkan kurban kepada dewa-dewa negara. Profil Perpetua ini menegaskan bahwa perempuan berani mengambil keputusan atas imannya meski berakibat fatal bagi dirinya. Eudokia (abad ke-5) menulis Sejarah Gereja. Profil Eudokia ini menyatakan bahwa perempuan sejak dahulu telah berperan penting dalam bidang ilmu pengetahuan teologi. Bila history dan herstory digabung menjadi lengkap ‘ourstory’, sejarah kita, sejarah bersama.
[7] K.A.Kapahang-Kaunang, Perempuan. Pemahaman Teologis tentang Perempuan dalam Konteks Budaya Minahasa. Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1993.
[8] Mata kuliah ini tercatat yang pertama diajarkan di antara sekolah-sekolah teologi anggota Perhimpunan Sekolah-Sekolah Teologi di Indonesia (PERSETIA). Lihat tulisanku berjudul “Teologi Feminis di Fakultas Teologi UKIT Tahun 1991/1992 – 2013”, dalam Danang Kurniawan, H.Ongirwalu, Ratnawati Lesawengan, Yusak Soleiman (editor), Mengevaluasi Arah dan Karakter Teologi Feminis Kristen di Indonesia. Prosiding Seminar dan Lokakarya Teologi Feminis, 17-20 Juli 2013. Jakarta : PERSETIA, 2015,51-66.
[9] Lihat Marie Claire Barth-Frommel, Hati Allah bagaikan Hati Seorang Ibu. Pengantar Teologi Feminis. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003, 45,  catatan kaki nomor 13 “Dari 118 kali pemakaian akar “azar”(menolong), 55 kali Allah menolong (entah aku 23 kali, 3 entah kita 20 kali, entah umat 8 kali, entah orang 9 kali), 68 kali manusia menolong (45 kali raja atau panglima, 13 kali orang lain menolong), 9 kali dikatakan “tiada penolong” dan sekali tidak ada subyek.
[10] Ibid, 25.
[11] Ibid, 24-25.
[12] Data Desember 2016: Pendeta laki-laki 656, Pendeta Perempuan 1548.
[13] Empat periode terakhir saya tekankan, sebab sejak periode 2000-2005 sudah muncul nama perempuan untuk calon Ketua Badan Pekerja Sinode (BPS). Tetapi, tidak terpilih. Pada periode ini perempuan terpilih sebagai salah satu Wakil Ketua. Kemudian periode 2005-2010 perempuan terpilih sebagai Wakil Sekretaris. Periode 2010-2014 muncul dengan kuat nama perempuan, tetapi tidak terpilih. Periode 2014-2018 muncul dengan kuat nama perempuan, tetapi tidak terpilih. Bagi saya, periode ini adalah periode patriarkat dan androsentris, tidak ada satupun pendeta perempuan dalam kepemimpinan BPMS, bahkan dalam jabatan Sekretaris Bidang hanya satu perempuan yang dipilih oleh BPMS, padahal ada banyak perempuan yang ikut terjaring. Sungguh periode yang ‘mengabaikan’ kualitas pendeta perempuan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar