PERAN PEREMPUAN MINAHASA
Refleksi Kepemimpinan Sinode GMIM
Karolina Augustien Kaunang
Pengantar
Terlalu
sering kita mendengar pernyataan “perempuan itu hanya menggunakan perasaan,
perempuan itu tidak menggunakan logika”. Pernyataan ini kemudian dilanjutkan
dengan ‘karena itu perempuan tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, tokh akan masuk
dapur juga’, ‘perempuan mengurus saja urusan domestik, nanti laki-laki yang
mengurus urusan publik’, dan banyak sekali stereotipe yang dikenakan kepada
perempuan. Stereotipe yang meremehkan keberadaan kaum perempuan ini dicarikan
dasar Alkitab dalam Perjanjian Lama a.l. dengan menunjuk pada cerita penciptaan
manusia bahwa Hawa diciptakan dari
tulang rusuk Adam. Laki-laki berkuasa atas tubuh perempuan. Lalu dalam Perjanjian
Baru a.l. perempuan berdiam diri dan menerima ajaran dengan patuh, perempuan
tidak boleh mengajar, dan tidak boleh memerintah laki-laki (I Tim 2: 11, 12),
isteri harus tunduk kepada suami (Efesus 5: 22). Tanpa mengkaji lebih dalam hakikat
ayat-ayat tersebut dalam keseluruhan
naskah dan latar situasi waktu itu, maka secara semena-mena ayat-ayat ini
dipakai untuk melegitimasi diskriminasi
terhadap perempuan sampai sekarang. Kitab suci dipakai untuk melegalkan
diskriminasi terhadap perempuan. Haruskah diskriminasi terhadap perempuan terus
berlanjut dengan alasan ajaran Alkitab? Mari kita lihat apa sesungguhnya yang diperankan
oleh kaum perempuan Minahasa, dan maknanya bagi kepemimpinan pendeta perempuan GMIM masa kini dan nanti.
Perempuan Minahasa[1]
Sekolah dan Berkarya
Sejak
tahun 1908, sudah ada 6.056 murid perempuan Minahasa/Manado di antara 12.276
murid perempuan yang terdapat di luar pulau Jawa dan Madura, sementara itu di
Jawa baru terdapat 280 murid perempuan.
Dalam kebanyakan sekolah/perguruan tinggi terdata lebih banyak perempuan
daripada laki-laki, padahal berdasarkan Data Kependudukan Kabupaten/Kota se
SULUT yang dirinci menurut jenis kelamin tahun 2003 menunjukkan penduduk
laki-laki lebih banyak daripada penduduk
perempuan.[2] Data-data ini menunjukkan bahwa sejak dulu
anak perempuan Minahasa diberi kesempatan yang sama dengan anak laki-laki
Minahasa untuk bersekolah. Tidaklah heran bila
sejarah mencatat bahwa beberapa perempuan Minahasa menjadi pelopor dan
pemimpin di bidangnya masing-masing. Sebut saja kepeloporan Marie Thomas yang
tercatat sebagai dokter pertama Indonesia yang tamat dari STOVIA, sebuah
sekolah yang mendidik dokter-dokter pribumi di Jakarta. Annie Manoppo adalah
Sarjana Hukum pertama lulusan Jakarta yang kemudian menjadi Dekan perempuan
pertama di Fakultas Hukum Universitas Medan. Nona Politon sebagai pendiri dan
rektor pertama Universitas Pinaesaan di Tondano/Manado. Di bidang politik,
dirintis oleh Netty Waroh, seorang guru pada HIS berhasil menjadi anggota Dewan
Rakyat Manado, Tinneke Waworuntu Kandow sebagai perempuan pertama yang diangkat
menjadi Walikota Manado (1950-1952).[3]
Perempuan dalam Kependetaan
Dalam
bidang pelayanan keagamaan, khususnya gereja Protestan, pendeta perempuan
pertama di Indonesia berasal dari Kema-Minahasa yaitu Pdt. Dharma Angkuw.
Berikut ini beberapa nama dicatat, baik yang pernah menjabat maupun yang sedang
menjabat. Pdt. Agustina Lumentut menjadi Ketua Sinode Gereja Kristen Sulawesi
Tengah (GKST), kemudian menjadi Wakil Sekretaris Umum PGI, Ketua Sinode Am
Gereja-Gereja di Sulawesi Utara dan Tengah.
Pdt. Detty Kani menjadi Ketua Sinode Gereja Kristen Luwuk Banggai
(GKLB). Di lingkungan lembaga ekumenis yaitu Persekutuan Gereja-Gereja di
Indonesia (PGI), tercatat Pdt. Deetje Rotinsulu, Pdt. Lilly Danes, Pdt. Krise
Gosal, masing-masing pernah menjabat sebagai Kepala Biro Wanita/Sekretaris
Eksekutif Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Anak. Pdt. Liesje Makisanti
terpilih sebagai Sekretaris Umum Gereja Protestan Indonesia (GPI) dua periode,
dan sebagai Anggota MPH PGI dan kemudian Wakil Sekretaris Umum MPH PGI.
Pelayanan Pdt. Liesje Makisanti di GPI sebagai Sekretaris, dilanjutkan oleh
Pdt. Liesje Sumampouw. Kini Pdt. Liesje Sumampow adalah Ketua GPI. Demikian juga di level internasional, Pdt.
Deetje Rotinsulu pernah menjadi Koordinator Asian Basel Mission Fellowship. Pdt.
Joyce Manarisip sekarang melayani sebagai Koordinator Program Mission 21[4]
untuk Indonesia-Malaysia.
Perempuan dalam Bidang Pendidikan Tinggi
Dalam
bidang pendidikan tinggi teologi Indonesia melalui Perhimpunan Sekolah-Sekolah
Teologi di Indonesia (PERSETIA), Pdt. Maria Assa terpilih menjadi Anggota
Pengurus (1998-2002), Pdt. Augustien Kaunang terpilih menjadi Wakil Ketua 2
Pengurus (2006-2010, 2014-2018). Di level internasional yaitu The Association
for Theological Education in South East Asia (ATESEA), Pdt. Augustien Kaunang
terpilih menjadi Anggota Pengurus Yayasan (Board of Trustees, Maret 2013- Maret
2017). Pdt. Sientje Abram pernah bertugas sebagai Direktur Eksekutif ATESEA
(hampir 2 periode).
Perempuan di Area Publik
Di area publik, pendeta atau tamatan teologi, terpilih
dan melayani sebagai Ketua DPRD Sulawesi Utara, yaitu Pdt. Meiva Lintang;
terpilih menjadi Ketua KPU Minahasa dan kini KPU Sulut, yaitu Yessy Momongan. Di di level nasional, Pdt. Lilly Danes
sekarang melayani di Komnas Perempuan
sebagai Sekretaris Jenderal.
Bagaimana Pendeta Perempuan di GMIM?
Sejak
tahun 1995-2017, pendeta perempuan, lebih dari 60% melayani di aras basis yaitu
jemaat territorial, dan sebagian daripadanya sekaligus sebagai Ketua Majelis
Jemaat. Namun, di aras wilayah sebagai Ketua dan di aras sinode sebagai Badan
Pekerja Sinode/Badan Pekerja Majelis Sinode, tidak berbanding lurus dengan
perannya di aras basis, alias sangat kurang. Bahkan di aras sinode pada periode
2010-2014 hanya satu orang pendeta perempuan, periode sekarang ini (2014-2018)
tidak ada satupun pendeta perempuan. Pada periode sebelumnya ada beberapa
pendeta perempuan. Mari kita catat nama-nama mereka Pdt. Wilhelmientje Dumais,
Pdt. Mite Lumi, Pdt. Liesje Makisanti (1995-2000), Pdt. Augustien Kaunang
(1995-2000, 2000-2005), Pdt. Maria Assa (2000-2005), Pdt. Sientje Abram
(2000-2002), Pdt. Ketty Ticoalu (2003-2005, 2005-2010)[5],
Pdt. Liesje Sumampow (2005-2010), Pdt. Altje Lumi (2005-2010, 2010-2014). Dua
kali, pendeta perempuan menjadi salah seorang Wakil Ketua Sinode yaitu
Pdt.Maria Assa (2000-2005 untuk bidang Personalia), dan Pdt. Altje Lumi
(2007-2010 melanjutkan tugas Pdt.J.M.Saruan untuk bidang Ajaran Ibadat dan Tata
Gereja). Dua kali untuk jabatan Wakil Sekretaris yaitu Pdt. Liesje Sumampow
(2005-2010) dan Pdt. Altje Lumi (2010-2014). Sebagai Anggota BPS : Pdt.
Wilhelmientje Dumais, Pdt. Mite Lumi, Pdt. Liesje Makisanti, Pdt. Augustien
Kaunang, Pdt. Sientje Abram, Pdt. Ketty Ticoalu. Sampai pada tahap ini, saya
berupaya mencatat nama-nama para perempuan sebagai pendeta dalam sejarahnya (herstory).[6]
Mengapa GMIM belum memilih Perempuan?
Jabatan
pelayanan pendeta sebagai Ketua Jemaat dan Ketua Wilayah bukan dipilih langsung
oleh jemaat/wilayah, melainkan ditentukan/ditetapkan langsung oleh
BPS/BPMS. Sedangkan BPS/BPMS dipilih
langsung oleh para utusan jemaat (primus) dalam Sidang Sinode/Sidang Majelis
Sinode setiap periode.
Mengapa
GMIM belum memilih perempuan sebagai Ketua Sinode? Apakah belum ada yang
berkualifikasi untuk aras sinode? Apakah perempuan hanya dapat menduduki posisi
ketua bila ditunjuk/diangkat/ditetapkan, seperti Ketua Jemaat dan Wilayah, dan
tidak dapat bila melalui pemilihan?
Lalu, siapa yang memilih? Bukankah para pemilih utusan jemaat sebagain besar
perempuan? Apakah perempuan sendiri tidak siap? Apakah perempuan tidak bersedia
dipimpin oleh perempuan? Apakah di antara perempuan tidak saling mendukung?
Apakah laki-laki tidak bersedia dipimpin oleh perempuan? Apakah laki-laki
terlalu kuat, dan perempuan kalah bersaing? Mengapa nominator calon BPMS untuk
periode 2014-2018 hanya ada 4 perempuan?
Mengapa pendeta perempuan asal Minahasa (GMIM), dapat ditetapkan atau
melalui proses pemilihan, artinya dipercaya, di luar daerahnya sendiri, lalu,
mengapa di daerahnya sendiri, di GMIM, tidak?
Pertanyaan-pertanyaan ini masih dapat ditambah lagi oleh para pembaca
tulisan ini untuk menggugah dan ‘menggugat’ kita warga GMIM setiap kali
menghadapi pemilihan BPS/BPMS GMIM dari satu periode ke periode berikutnya.
Sebagai
seorang yang pernah meneliti dan menulis tentang Perempuan Minahasa (tahun
1987-1989/1991)[7]
dan yang mengajar mata kuliah Teologi Feminis sejak tahun 1991[8]
saya tergugah untuk meneliti lagi dengan
bantuan pertanyaan ini : mengapa sampai
sekarang GMIM belum memilih pendeta perempuan dalam posisi sebagai Ketua
Sinode? Bukankah sebagian besar pendeta muda GMIM, baik perempuan dan
laki-laki, adalah alumni Fakultas Teologi tahun 1990-an? Pertanyaan ini menjadi
penting, mengingat para pendeta perempuan yang pernah dan sedang melayani di
aras sinode, baik di GMIM maupun di gereja-gereja sahabat adalah alumni sebelum
tahun 1991. Lalu, bagaimana dengan yang tamat tahun 1990-an. Demikian pula di
GMIM dan juga di gereja-gereja sahabat yang disebutkan di atas sedang dilayani
oleh para pendeta laki-laki yang tamat tahun 1990-an. Mengapa para pendeta laki-laki di gereja-gereja
sahabat dapat memilih pendeta perempuan,
lalu, bagaimana di GMIM?
Belajar dari Gereja-gereja di Sulawesi Utara dan Tengah dan
PGI
Mari
kita belajar dari gereja-gereja sahabat
yang lebih muda seperti Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) yang
pernah dilayani sebagai Ketua Sinode adalah pendeta perempuan asal Minahasa,
yaitu Pdt. Agustina Lumentut, dan kemudian dilayani oleh yaitu Pdt. Juberlian Padele. Sinode Am
Gereja-Gereja di Suluteng setelah sebelumnya dilayani oleh Pdt. Agustina
Lumentut sebagai Ketua, kemudian oleh Pdt. Sientje Abram sebagai Ketua. Juga
Gereja Kristen Luwuk Banggai (GKLB), yang pernah dilayani dua periode sebagai
Ketua Sinode oleh seorang pendeta perempuan asal Minahasa, yaitu Pdt. Detty
Kani. Kita lirik pula Gereja Masehi Injili Bolaang Mongondow (GMIBM) yang kini
dilayani sebagai Ketua Sinode oleh seorang pendeta perempuan, dan sekarang ia
menjabat dalam periode kedua, yaitu Pdt. Christina Pangulimang. Gereja
Protestan Indonesia Gorontalo (GPIG) kini dilayani oleh Ketua Pdt. Yuanita
Takasenseran. Kerapatan Gereja Protestan Minahasa (KGPM) kini dilayani oleh
Ketua Pucuk Pimpinan Pdt. Fetrisia Aling. Pendeta Detty, Pdt. Juberlian, Pdt.
Christina, Pdt. Yuanita, Pdt. Fetrisia adalah alumni Fakultas Teologi UKIT.
Untuk pertama kali Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) memilih
Ketuanya seorang perempuan untuk periode yang sedang berjalan ini yaitu Pdt.
Dr. Henriette Lebang (Pendeta dari Gereja Toraja).
Kajian dan Refleksi Teologis
1. Dalam
Alkitab, hakikat perempuan sama dengan hakikat laki-laki yakni sebagai ciptaan
yang setara. Kejadian 2: 18 “Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja.
Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia.” Kata penolong
selalu salah diartikan sebagai ‘pembantu rumah tangga’. Sesungguhnya kata
‘penolong’ di sini tidak berdiri sendiri, melainkan berlanjut dengan ‘yang
sepadan dengan dia’. Dalam bahasa Ibrani digunakan kata ‘ezer yang berarti dua : hanya orang yang sepadan dapat saling
menolong, hanya orang lebih ‘tinggi’ dapat menolong orang yang ‘rendah’.[9]
Tentu kita ingat sapaan kita kepada Tuhan “Tuhan, Penolongku.”
2. Dalam
Alkitab terdapat banyak cerita yang
menceritakan peran perempuan, yang kurang diangkat dalam unsur Bercerita
di Sekolah Minggu, Pengajaran dalam Katekhisasi Sidi, seperti : 1. Nabi-nabi.
Bukan hanya laki-laki yang berperan sebagai nabi, tetapi juga perempuan :
Miryam (Ke. 15:20), Debora yang lebih dikenal sebagai seorang Hakim, padahal
dia juga seorang nabi (Hakim-Hakim 4:4), Hulda (2 Raja-Raja 22:14), Hana (Lukas
2: 36-38). 2. Murid Yesus. Bukan hanya
laki-laki, tetapi juga perempuan: Maria ( Lukas 10:39). Dalam pengajaran di
Sekolah Minggu, nama-nama kaum perempuan ini tidak diperkenalkan sebagai
nabi-nabi dan murid Yesus. Mulai dari sini, gereja tidak membelajarkan jemaat
untuk melihat peran perempuan seperti membelajarkan tentang peran
laki-laki.
3. Hati
dan otak adalah karunia Pencipta kepada setiap orang. Perasaan dan pikiran/akal
adalah dua hal yang sama diperlukan dalam menjalani kehidupan seseorang.
Mengabaikan salah satu dan mengagungkan yang lain adalah meremehkan karunia
Tuhan. Tentu kenyataan bahwa salah satu lebih dominan dalam diri setiap orang adalah
alamiah, dan bukan karena perbedaan jenis kelamin. Hal ini terbukti dalam hal
pendidikan dan pekerjaan/karya di dalam masyarakat. Tidak ada pekerjaan/jabatan
yang berjenis kelamin. Tidak ada sifat manusia yang berjenis kelamin.
4. Untuk
menjawab berbagai pertanyaan dan penyataan bahwa dalam Alkitab tidak
membolehkan perempuan menjadi pemimpin (seperti antara lain yang dikemukakan
dalam bagian Pengatar di atas), maka semestinya “setiap penafsir hendak
mengenal Alkitab dan menghubungkan naskah yang sedang ditafsirkannya dengan
bagian lain yang telah ia kenal sebelumnya (sebagaimana terungkap dalam dalil
reformasi “Alkitab adalah penafsir Alkitab”).”[10]
Dalam kata lain, bandingkan dan evaluasi setiap ayat/bagian/perikop dalam
hubungannya dengan ayat/bagian/perikop lainnya. Dengan cara kerja demikian,
sedapat mungkin kita memperoleh pemahaman yang kurang lebih lengkap, atau
sekurang-kurangnya kita memperoleh berbagai pandangan sesuai dengan konteks dan
keperluan waktu itu ditulis. Kita berupaya agar jujur dalam memahami suatu
naskah dan signifikasinya bagi kita masa kini. Metode tafsir apapun yang kita
pakai, kita selalu ingat bahwa pengalaman hidup kita akan sangat berpengaruh
dalam memahami suatu tulisan. Sebab itu, tidak ada suatu hasil tafsir yang
bebas nilai. Saya setuju dengan pernyataan ini: “Pengalaman manusia” merupakan
titik tolak dan titik akhir dari lingkaran penafsiran. Tradisi yang telah
tersusun rapi berakar di dalam pengalaman dan terus menerus diperbarui oleh
pengalaman. Dengan itu setiap penafsir (dan aliran tafsiran) telah mengalami
kehadiran dan tindakan Allah.”[11]
5. GMIM
sejak awal berdirinya sebagaimana itu tercatat dalam Tata Gereja tidak
melarang, menghalangi, membatasi peran perempuan dalam jabatan pelayanan baik
Pendeta, Penatua, Syamas, Guru Agama. GMIM tercatat sebagai salah satu gereja
di Indonesia yang dilayani oleh lebih banyak pendeta perempuan daripada pendeta
laki-laki[12],
serta GMIM yang berakar di tanah Minahasa dengan latar budaya egaliternya,
maka semestinya tidak ada alasan
teologis dan budaya untuk memilih perempuan sebagai Ketua Badan Pekerja Majelis
Sinode. Tetapi, bila masih ada di antara kita yang ‘melarang’ memilih perempuan
karena alasan teologi dan budaya, maka perlu ada ‘pencerahan teologis dan
budaya’ baginya. Jangan-jangan alasan ‘politis’ dan ‘belanga’ bagi para pemilih
(yang sebagian besar adalah pendeta) yang menjadi kendala selama 4 periode
terakhir ini (2000-2005, 2005-2010, 2010-2014, 2014-2018) sehingga tidak
berhasil memilih perempuan.[13]
Kalau benar ini alasannya, maka para pemilih harus ‘bertobat’. Bila alasan ini
salah, maka pertama-tama perlu dicari dalam diri perempuan pemilih sebagai Anggota Majelis Sinode, dan ini
penanda bahwa pemberdayaan perempuan selama kurang lebih 30 tahun ini, belum 'berhasil' mengantar perempuan menjadi Ketua Sinode GMIM.
Penutup
Semoga
tulisan ini dapat membantu atau lebih tepat mempengaruhi :
1. setiap
pembaca tulisan ini agar membaca dan memahami hakikat perempuan dalam Alkitab
secara holistik, dan melahirkan pandangan yang setara, sederajat, semartabat
perempuan dan laki-laki dalam kehidupan sehari-hari, dalam karya dan
kepemimpinan.
2. jemaat-jemaat
(baik perempuan maupun laki-laki) menjaring/menominasikan banyak perempuan
untuk dapat dipilih dalam pemilihan Badan Pekerja Majelis Sinode periode
2018-2022.
3. para
‘primus’ untuk memilih perempuan sebagai Ketua BPMS periode 2018-2022.
*Awalnya
tulisan ini dimuat dalam buku : Alfian R. Komimbin (editor), Teologi Lintas Batas. Buku Penghormatan
HUT ke – 70 Pdt. Dr. Johan Nicolaas Gara. Tomohon: UKIT Press, 2017 (ada
sedikit revisi).
[1] Yang
dimaksud dengan perempuan Minahasa dalam tulisan ini ada 4 kategori.
Pertama, perempuan yang lahir dari ibu
dan bapa orang Minahasa. Kedua, perempuan yang lahir dari entah ibu atau bapa
orang Minahasa. Ketiga, perempuan yang lahir di tanah adat Minahasa. Keempat,
perempuan yang menikah dengan laki-laki Minahasa.
[2] Augustien
Kapahang-Kaunang, “Perempuan dalam Budaya Minahasa”, dalam Deetje
Tiwa-Rotinsulu dan Augustien Kapahang-Kaunang (editor), Perempuan Minahasa dalam Arus Globalisasi. Jakarta:Meridian, 2005,11.
Sengaja saya hanya menampilkan nama-nama ini, sebab mereka pada masanya dapat
meraih gelar akademis dan menjadi pemimpin yang original. Menurut analisis
saya, pada waktu itu belum ada praktek jual beli ijazah, belum ada praktek jual
beli jabatan alias belum ada ‘money politics’, belum ada ‘kampanye-kampanyean’
seperti dalam kurun waktu kurang lebih 10 tahun terakhir ini. Saya menduga
mereka adalah sosok selain bergelar akademis, mereka mandiri dan berinregritas terandalkan dalam
bidangnya masing-masing.
[4] Mission
21 adalah suatu badan misi internasional, yang biasanya disingkat M21 berkantor
pusat di Basel-Switzerland.
[6] Semoga
tidak ada yang terlewatkan. Selama berabad-abad, sejarah hanya menampilkan
nama-nama laki-laki sebagai pelaku sejarah. Dalam sejarah gereja hanya dicatat
“Bapa-bapa Rasuli dan Bapa-bapa Gereja.” Tidak heran dalam bahasa Inggris
‘history’. Beberapa nama perempuan a.l. Perpetua (abad ke-3), pemimpin kelompok
kecil orang Kristen, yang menjadi martir karena tidak mau mempersembahkan
kurban kepada dewa-dewa negara. Profil Perpetua ini menegaskan bahwa perempuan
berani mengambil keputusan atas imannya meski berakibat fatal bagi dirinya.
Eudokia (abad ke-5) menulis Sejarah Gereja. Profil Eudokia ini menyatakan bahwa
perempuan sejak dahulu telah berperan penting dalam bidang ilmu pengetahuan
teologi. Bila history dan herstory digabung menjadi lengkap ‘ourstory’, sejarah
kita, sejarah bersama.
[7] K.A.Kapahang-Kaunang,
Perempuan. Pemahaman Teologis tentang
Perempuan dalam Konteks Budaya Minahasa. Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1993.
[8] Mata
kuliah ini tercatat yang pertama diajarkan di antara sekolah-sekolah teologi anggota
Perhimpunan Sekolah-Sekolah Teologi di Indonesia (PERSETIA). Lihat tulisanku
berjudul “Teologi Feminis di Fakultas Teologi UKIT Tahun 1991/1992 – 2013”,
dalam Danang Kurniawan, H.Ongirwalu, Ratnawati Lesawengan, Yusak Soleiman
(editor), Mengevaluasi Arah dan Karakter
Teologi Feminis Kristen di Indonesia. Prosiding Seminar dan Lokakarya
Teologi Feminis, 17-20 Juli 2013. Jakarta : PERSETIA, 2015,51-66.
[9] Lihat
Marie Claire Barth-Frommel, Hati Allah
bagaikan Hati Seorang Ibu. Pengantar Teologi Feminis. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 2003, 45, catatan kaki nomor 13
“Dari 118 kali pemakaian akar “azar”(menolong),
55 kali Allah menolong (entah aku 23 kali, 3 entah kita 20 kali, entah umat 8
kali, entah orang 9 kali), 68 kali manusia menolong (45 kali raja atau
panglima, 13 kali orang lain menolong), 9 kali dikatakan “tiada penolong” dan sekali tidak ada subyek.
[13] Empat
periode terakhir saya tekankan, sebab sejak periode 2000-2005 sudah muncul nama
perempuan untuk calon Ketua Badan Pekerja Sinode (BPS). Tetapi, tidak terpilih.
Pada periode ini perempuan terpilih sebagai salah satu Wakil Ketua. Kemudian
periode 2005-2010 perempuan terpilih sebagai Wakil Sekretaris. Periode
2010-2014 muncul dengan kuat nama perempuan, tetapi tidak terpilih. Periode
2014-2018 muncul dengan kuat nama perempuan, tetapi tidak terpilih. Bagi saya,
periode ini adalah periode patriarkat dan androsentris, tidak ada satupun
pendeta perempuan dalam kepemimpinan BPMS, bahkan dalam jabatan Sekretaris
Bidang hanya satu perempuan yang dipilih oleh BPMS, padahal ada banyak
perempuan yang ikut terjaring. Sungguh periode yang ‘mengabaikan’ kualitas
pendeta perempuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar