MEMAKNAI
HARI PEREMPUAN INTERNASIONAL 2013 *
Oleh
: Pdt. Dr. Karolina Augustien Kaunang
Tidak banyak orang yang
tahu bahwa tanggal 8 Maret adalah hari Perempuan Internasional (International
Women’s Day). Jurnal Perempuan pernah menulis bahwa hari ini sebagai hari yang
tidak populer, tentu di Indonesia. Hari yang populer adalah Hari Kartini (21
April) dan Hari Ibu (22 Desember).
Tanggal 8 Maret
ditetapkan sebagai Hari Perempuan Internasional pada tahun 1910 pada acara
Kongres Perempuan Pekerja Internasional di Kopenhagen. Penetapan hari ini
diusulkan oleh Clara Zetkin, seorang orator dan pendiri surat kabar De Gleicheit (Persamaan), ia juga sebagai
anggota International Ladies Garment Union dan anggota Partai Sosialis Jerman.
Penetapan hari ini berawal dari aktivitas gerakan kaum buruh di seluruh Eropah
dan Amerika Utara.
Kemudian pada tahun
1975 Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melaksanakan Hari Perempuan Internasional
di kota Meksiko, sekaligus menetapkan tahun ini sebagai Tahun Perempuan
Internasional. Selanjutnya menetapkan tahun 1975-1985 sebagai Dekade untuk
Perempuan. Sejak saat itu, PBB merayakan setiap tahun dengan tema-tema a.l.
Perempuan dan Perdamaian: Perempuan Memenej Konflik (2001), Perempuan dan
HIV/AIDS (2004), Perempuan dalam Pengambilan Keputusan (2006), Perempuan dan
Laki-laki Bersatu untuk Mengakhiri Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak
(2009), Persamaan Hak, Kesempatan yang sama : Kemajuan untuk Semua (2010),
Pemberdayaan Perempuan Desa _ Mengakhiri Kelaparan dan Kemiskinan (2012). Dan
tahun ini bertema The Gender Agenda :
Gaining Momentum
Mengapa hari ini
didedikasikan khusus untuk perempuan? Ada dua alasan yaitu mengakui fakta bahwa
terjaminnya kedamaian dan kemajuan sosial serta kegembiraan perempuan; dan
menyatakan kontribusi perempuan kepada penguatan keamanan dan kedamaian
internasional. Bagi kaum perempuan sedunia, simbolisme hari ini mempunyai arti
yang luas yaitu kesempatan untuk melihat kembali sejauh mana mereka berjuang
untuk persamaan, perdamaian dan pembangunan. Juga kesempatan untuk bersatu,
membangun jejaring dan bergerak untuk perubahan yang penuh arti.
Beberapa hasil yang
dicapai dalam memaknai perjuangan kaum perempuan internasional ialah
ditetapkannya berbagai konvensi seperti a.l. Konvensi Internasional Penghentian
Perdagangan Perempuan Dewasa (1934), Hak-hak Politik Perempuan (1946),
Menghentikan Perdangangan Perempuan dan Anak (1948), Pengupahan yang Sama bagi
Laki-laki dan Perempuan untuk Pekerjaan yang Sama Nilainya (1951), Perlindungan
Kehamilan (1952), Kondisi Kerja Buruh Perkebunan (1958), Anti Diskriminasi
dalam Pendidikan (1960).
Gerakan bersama ini
ditanggapi positif oleh gereja-gereja sedunia melalui World Council of Churches
(Dewan Gereja-gereja se-Dunia), DGD menetapkan tahun 1988-1998 sebagai Ecumenical
Decade of Churches in Solidarity with Women (Dekade Ekumenis dari Gereja-gereja
dalam Solidaritasnya dengan Perempuan). Ada empat perhatian penting yang
memanggil gereja-gereja untuk menyatakan solidaritasnya dengan perempuan, yaitu
– partisipasi penuh dan kreatif dari perempuan dalam kehidupan bergereja, -
melawan tindak kekerasan terhadap perempuan dalam bermacam bentuk dan dimensi,
- krisis ekonomi global dan pengaruhnya kepada perempuan, - xenophobia dan
rasisme dan pengaruhnya bagi perempuan.
Mencermati sejarah
gerekan perempuan dan perhatian dunia pada umumnya serta gereja-gereja sedunia
pada khususnya, maka saya tertarik untuk untuk memperhadapkannya bagi kehidupan
kaum perempuan masa kini di tanah Minahasa. Pertama, status dan peran perempuan
dalam budaya Minahasa seperti terlihat a.l. dalam cerita rakyat Lumimuut-Toar
dan tradisi/adat istiadat yang menempatkannya setara dengan kaum laki-laki,
nilai kemanusiaannya dihargai sama. Pada tataran pemahaman ini, seharusnya
tidak ada perlakuan yang tidak adil atau tidak setara antara perempuan dan
laki-laki. Kedua, berdasarkan hasil penelitian mahasiswa Fakultas Teologi UKIT
dalam pembelajaran Teologi Feminis ditemukan kenyataan masa kini seperti a.l. kekerasan
dalam rumah tangga. Kekerasan ini terjadi karena a.l. suami sudah punya ‘wanita
idaman lain’, suami tidak boleh ditegur, suami mabuk dan kalah berjudi. Ketiga,
masih dari hasil penelitian mahasiswa khususnya tentang perempuan dan ekonomi.
Banyak perempuan/ibu yang menjadi pencari nafkah utama bagi keluarganya,
terutama untuk kebutuhan anak-anaknya. Mereka adalah para ibu yang bekerja
sebagai ‘tibo-tibo’ di pasar Tomohon, pedagang kaki lima di Manado dan tukang parkir
di pusat perbelanjaan kota Manado. Sebagian besar dari mereka mengatakan bahwa mereka
memutuskan untuk bekerja seperti ini sejak ditinggalkan suami dalam waktu yang
cukup lama tanpa kabar berita, ada pula yang ditinggalkan oleh suami karena
suami sudah terlanjur berhubungan gelap dengan perempuan lain. Padahal
anak-anak membutuhkan perhatian dan
kasih sayang dari orangtua. Penelitian yang terakhir ini menunjukkan dua hal.
Pertama, perempuan punya potensi diri untuk pembangunan ekonomi keluarga. Dalam
hal ini perempuan bukan hanya pencari nafkah tambahan. Perempuan yang seperti
ini adalah tipe perempuan yang tidak mudah menyerah, dia selalu siap berjuang mempertahankan apa yang
menjadi haknya seperti hak mengasuh dan membiayai anak-anaknya. Dengan kekuatan
dan ketrampilan yang Tuhan karuniakan kepadanya ia berjuang untuk anak-anaknya.
Dia mandiri. Kedua, ada perempuan/isteri yang baru mengambil prakarsa untuk
bekerja mencari uang dengan membuka usaha warung atau kantin, jadi tukang
parkir, saat suami/laki-laki mengalami sakit atau sakit-sakitan, atau setelah
suami meninggalkannya tanpa berita bahkan ada nyata-nyata meninggalkannya. Penelitian
mahasiswa ini menunjukkan bahwa di tengah kemajuan jaman secara global dan di
tengah masyarakat Minahasa yang berbudaya egaliter dan demokratis, terdapat
pandangan dan perlakuan yang diskriminatif terhadap perempuan.
Harkat dan martabat
kaum perempuan sebagai anak, isteri, ibu, anggota masyarakat dalam kehidupan
bersama masih dipengaruhi secara signifikan oleh sistem masyarakat patriarkhat
dan cara pandang androsentrisme. Kenyataan khusus dalam konteks masyarakat
Minahasa, perempuan masih mengalami perlakuan yang tidak adil.
Di hari perempuan ini,
marilah kita mengingat perempuan-perempuan yang menderita ketidak-adilan hak
dan martabatnya. Kita mengingat mereka dalam doa dan karya. Kita berjuang untuk
memperbaiki sistem dan tata nilai
kemanusiaan perempuan dalam kesetaraan dan keadilan dengan laki-laki. Kita
mengundang laki-laki/bapak-bapak/suami untuk bekerja dan berjuang bersama
membangun kehidupan yang bermartabat. Kita kembali kepada hakikat penciptaan
yaitu bahwa Tuhan Allah mencipta manusia perempuan dan laki-laki sebagai Imago Dei.
Saya mengakhiri tulisan
ini dengan mengutip sebuah surat yang saya terima pada 10 tahun silam (2003).
Tomohon, 08 Maret 2013
*Naskah awal sudah pernah dipublikasikan dalam tabloid
Inspitaror, edisi Februari-Juni 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar