PERAN PEREMPUAN BERPENDIDIKAN TEOLOGI DI INDONESIA
Oleh : Karolina Augustien Kaunang
Pengantar
Saya bersyukur kepada Tuhan
beroleh kesempatan untuk menulis dalam sebuah buku yang dipersembahkan kepada ibu Pdt. Dr.h.c.Marie
Claire Barth-Frommel. Saya mengenal ibu sejak saya mahasiswa S1 melalui bukunya
Mazmur. Ibu pernah datang memberi kuliah umum. Perkenalan lebih dekat saat saya
menjadi utusan GMIM mengikuti beberapa kegiatan Basel Mission sejak tahun 1989
baik yang dilakukan di Basel, di Sabah, di Amerika Latin (Peru dan Chile) dan Indonesia. Saya belajar banyak dari cara ibu yang terus
memelihara dan membangun komunikasi melalui surat menyurat, email dan kartu
Natal selama ini. Tidak ada suratku yang tidak dibalasnya. Ibu selalu tidak
lupa mengirimkan bukunya yang diterbitkan oleh BPK Gunung Mulia langsung dari
Penerbit. Tahun 2012 saya beroleh kesempatan berkomunikasi melalui email saat
memohon kesediaan ibu untuk menyumbangkan pemikirannya melalui sebuah tulisan
dalam rangka perayaan 50 tahun Fakultas Teologi UKIT. Demikian tahun 2013, saya
mengundang agar ibu dapat menulis sesuatu untuk merayakan 80 tahun Pdt.
Prof.Dr.W.A.Roeroe. Meski pada awalnya ibu sedikit mempersoalkan waktu yang
diberikan sangat singkat, akhirnya ibu mengirimkan tulisannya. Sungguh luar
biasa. Ibu masih terus menulis sampai sekarang. Saya juga pernah mendapatkan
tambahan bantuan studi dari ibu sewaktu mengambil kursus bahasa Inggris di
Australia atas biaya dari Basel Mission (tahun 2000). Terima kasih banyak Ibu.
Semoga Ibu tetap sehat, terus menulis dan jadi berkat.
Pendahuluan
Selama berbabad-abad, suara
perempuan dibungkamkan dan atau
terbungkam. Kita hanya mengenal istilah Bapa-Bapa Gereja. Tissa Balasuriya kemudian mencatat bahwa
salah satu ciri utama teologi tradisional yang berasal dari kondisi Atlantik
Utara ialah teologi yang didominasi oleh laki-laki.[1] TIdak
ada Ibu-Ibu Gereja. Perempuan dimarginalisasi, berada di pinggiran saja.
Padahal pada abad ke-3 ada seorang
perempuan yang berperan dalam sejarah gereja yaitu Perpetua. Ia menjadi
martir, dibunuh karena tidak mau mempersembahkan kurban kepada dewa-dewa
negara. Profil Perpetua ini sekaligus menegaskan bahwa perempuan berani
mengambil keputusan atas imannya meski berakibat
fatal. Ada pula seorang penulis yang bernama Eudokia (abad ke-5) yang
menulis dalam bidang sejarah gereja. Profil Eudokia ini menyatakan bahwa
perempuan sejak dahulu kala telah berperan dalam bidang ilmu pengetahuan
teologi[2].
Kemudian pada abad XVII muncullah teolog-teolog perempuan yang terkenal dengan
teologi feminismenya.[3]
Teologi feminis mulanya berkembang di
Amerika Serikat, walaupun konferensi-konferensi, publikasi-publikasi dan
pengajaran-pengajaran bertempat juga di Inggris, Eropah Barat dan Amerika
Latin. Tahun 1667, Margaret Fell, menulis sebuah risalah yang berjudul
“Women’s Speaking Justified, Approved
and Allowed by the Scriptures’. Dalam risalah ini ia melihat persamaan
perempuan dalam Kristus dari segi hermeneutik Alkitab dan anthropologi teologis
dan konsekuensinya dalam berkhotbah, mengajar dan mengatur di dalam Gereja
Kristus. Pada abad XIX , Sarah Grimke (1837) menulis “Letters on the Equality
of the Sexes and the Condition of Women”. Ia mendebatkan hak perempuan dalam
masyarakat secara teologis dan alkitabiah. Berdasarkan Kejadian 1:27, Grimke
mendefinisikan persamaan perempuan dan laki-laki pada waktu penciptaan pertama
dengan menunjuk pada persekutuan milik dari Imago Dei. Perempuan dan laki-laki
diberi kuasa atas alam, tetapi ternyata laki-laki tidak memberi kuasa itu
kepada perempuan. Patriarkhalisme dikritiknya sebagai kejatuhan dosa atas
kedudukan perempuan semula dalam rencana Allah. Ia menghimbau pemimpin-pemimpin
gereja untuk membaharui kembali struktur institusi mereka dari ketidakadilan.
Elisabeth Cady Stanton antara tahun 1895-1998 menulis “The Women’s Bible”,dan
Matilda Joslyn Gage menulis “Women, Church and State”. Keduanya secara khusus
membuktikan keadaan perempuan yang sebenarnya dalam istilah-istilah Alkitab dan
teologis, serta mengkritik pemakaian Alkitab sebagai alat dominasi laki-laki.[4] Seiring
dipromosikannya upaya berteologi kontekstual
pada tahun 1970-an [5], teologi
feminispun mendapatkan tempat yang lebih luas dan terbuka terutama dalam
lingkungan pendidikan teologi formal.
Berikut ini adalah uraian tentang
topik tulisan ini. Data di sini lebih
terfokus pada konteks lokal Minahasa, Fakultas Teologi UKIT dan Gereja Masehi
Injili di Minahasa (GMIM).[6]
Perempuan dalam Pendidikan Formal Teologi
Fakultas Teologi Universitas Kristen Indonesia
Tomohon (FTeol UKIT) yang berdiri terhitung sejak ia bernama Pendidikan Tinggi
Theologia (PTTh) yakni pada tanggal 7 Oktober 1962,[7] sebagai
salah satu sekolah anggota Perhimpunan
Sekolah-Sekolah Teologi di Indonesia (PERSETIA), memiliki mahasiswa perempuan
lebih banyak daripada mahasiswa laki-laki. Para mahasiswa ini datang dari
berbagai gereja yang umumnya berasal dari wilayah Sulawesi Utara dan Tengah,
dan tentu saja yang paling banyak berasal dari Gereja Masehi Injili di Minahasa
(GMIM). Hal ini menyatakan bahwa tidak ada penghalang bagi kaum perempuan untuk
masuk sekolah teologi, dan karenanya tidak ada halangan bagi kaum perempuan
untuk ditahbiskan menjadi pendeta.
Saat para calon mahasiswa diminta untuk
menuliskan alasan mengapa mereka memilih studi di sini kemudian dilanjutkan
dengan wawancara, hampir semua menyatakan karena mereka ingin menjadi pendeta.
Begitupun dengan orang tua mahasiswa terus merindukan agar setelah anaknya
tamat, segera dapat melamar di gereja untuk menjalani masa persiapan menjadi
pendeta atau yang lebih dikenal dengan masa vikariat. Padahal sejak tahun
1999 jelas menyatakan bahwa tujuan penyelenggaraan pendidikan lembaga ini
ialah “….supaya memperoleh kemampuan dan ketrampilan berteologi di tengah
konteksnya masa kini.” Tahun 2002, visi
lembaga ini berubah yaitu “…. bertujuan
untuk menghasilkan teolog berkualitas, …”, kemudian pada tahun 2006 visinya
“Menjadi lembaga pendidikan tinggi … untuk tersedianya teolog berkualitas yakni
…[8]. Jadi
jelaslah bahwa lulusannya adalah seorang teolog S1 (Sarjana Teologi), bukan
Pendeta.
Sejak Fakultas Teologi UKIT didirikan
pada tahun 1962 sampai kini, terutama sejak tahun 1970-an mahasiswa
perempuan lebih banyak dari mahasiswa
laki-laki. Mereka berasal dari gereja-gereja yang ada di Sulawesi Utara dan
Tengah, dari Ambon, dari Papua, dari Kalimantan. Tentu saja yang paling banyak
berasal dari GMIM. Sempat tercatat gereja pengutus mahasiswa berjumlah 24
gereja, bahkan pada tahun 1990 ada seorang mahasiswa perempuan berasal dari
luar negeri, dari gereja mitra GMIM dalam persekutuan dengan Basel Misison di
Malaysia yaitu PCS (Protestan Church of Sabah).[9]
Peran perempuan yang dari segi
kuantitas lebih banyak daripada laki-laki, juga dibarengi dengan perannya sebagai
mahasiswa yang berkualitas. Hampir selalu, yang mendapat juara setiap semester
dalam semua angkatan diraup oleh perempuan. Karena itu, tidaklah heran bila
para dosen sekarang ini, sejak tahun 1989, lebih banyak perempuan daripada
laki-laki. [10]
Dalam hal kepemimpinan lembaga, menjadi
Dekan melalui proses pemilihan oleh para dosen, sudah 5 periode dipercayakan
kepada seorang perempuan, yakni pada tahun 1970-1971 : Pdt. Adriana Lala, STh[11];
1980-1983 : Pdt. Sientje Ervin Abram, S.Th[12]; tahun
1999-2002 : Pdt. Adriana Lala, D.Theol[13]; tahun 2006-2010 : Pdt. Karolina Augustien
Kaunang. MTh[14];
tahun 2011-2015 : Pdt.Dr. Karolina Augustien Kaunang[15]. Bahkan dalam periode 2006-2010 dan 2011-2015,
peran perempuan dalam kepemimpinan sangat kuat.
Pembantu Dekan Bidang Akademik[16] dan
Pembantu Dekan Bidang Administrasi Umum
dan Keuangan,[17]
serta Ketua Program Studi TKP[18] dijabat
oleh perempuan, hanya Pembantu Dekan Bidang Kemahasiswaan yang dijabat oleh
seorang laki-laki.[19]
Kepemimpinan dalam kurun hampir 7 tahun ini (sejak 2007) adalah tahun-tahun
yang tersulit, sebab lembaga ini terlilit dengan masalah internalnya berkaitan dengan gereja
pendirinya (GMIM) .[20]
Data terbaru dari sekolah-sekolah
teologi anggota Perhimpunan Sekolah-Sekolah Teologi di Indonesia (PERSETIA)
menunjukkan bahwa ada perkembangan signifikan dalam hal tenaga pengajar.
Semakin banyak perempuan menjadi dosen dan dipercayakan memimpin penyelengaraan
pendidikan teologi. Sekarang ini mereka yang menjabat sebagai Pemimpin adalah
Pdt.Dr, Karolina Augustien Kaunang (Dekan Fakultas Teologi Universitas Kristen
Indonesia Tomohon tahun 2006-2010, 2010-2015), Pdt.Dr. Retnowati,MSi (Dekan
Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga), Pdt. Drs. Evie
Maria Pada, STh (Dekan Fakultas Teologi Universitas Arta Wacana Kupang sejak
Februari 2012 sampai 2016), Pdt.Lies Sigilipu, S.Th,MSi (Ketua Sekolah Tinggi
Teologi Gereja Kristen Sulawesi Tengah
sejak tahun 2011),Pdt.Dr. Gernaida Krisna Pakpahan (Ketua Institut Teologi Kristen Indonesia), Pdt. Irene Umbu Lolo, MTh
(Ketua Sekolah Tinggi Teologi Gereja Kristen Sumba), Pdt. Septemmy E. Lakawa, Th.D (Direktur Pascasarjana
Teologi Sekolah Tinggi Teologi Jakarta sejak Oktober 2011-30 September 2015),
Pdt. Mery Kolimon, PhD (Direktur Pascasarjana Fakultas Teologi Universitas Kristen
Arta Wacana Kupang sejak 2012 sampai sekarang). Data ini menunjukkan bahwa
peran perempuan dalam pendidikan teologi sebagai ‘dapur gereja’ yaitu lembaga yang menghasilkan
para teolog yang akan bekerja di lembaga gerejawi ataupun dalam masyarakat
luas, sedang berkontribusi kuat dalam memberi perspektif baru dalam karya dan
kepemimpinan. Ada juga yang berperan di sekolah tinggi teologi yang didirikan
oleh pemerintah yaitu STAKN (Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri) di Manado, yaitu
Pdt. Roos Bastian, S.Th.MSi kini menjabat selaku Ketua.
Peran perempuan dalam PERSETIA
sebagai wadah persekutuan sekolah-sekolah teologi di Indonesia, sangat nyata
dalam posisi Wakil Ketua, Sekretaris, Bendahara , Anggota dan Direktur
Pelaksana. Dapat dicatat di sini Pdt. Dr. Margaretha Hendrik Ririmase (Wakil
Ketua tahun 1997 -2006 /Fakultas Teologi UKIM, Ambon), Pdt. Karolina Augustien
Kaunang, M.Th (Wakil Ketua tahun 2006-2010/Fakultas Teologi UKIT,Tomohon), Pdt.
Drs. Silvana Maria Apituley (Sekretaris tahun 2006-2010/STT Jakarta), Pdt.
Gernaida Krisna Pakpahan, MTh (Bendahara tahun 2002-2006/Sekolah Tinggi Teologi
Bethel Indonesia,Jakarta), Pdt. Dr.Retnowati, M.Si (Sekretaris tahun 2010-2014/Fakultas
Teologi UKSW, Salatiga), Pdt. Resty Arnawa, MTh (Wakil Bendahara tahun
2010-2014/STT Intim Makassar), Pdt. Maria Assa, STh,M.Min (Anggota tahun
1998-2002/Fakultas Teologi UKIT, Tomohon), Pdt. Lies Sigilipu, STh.MSi (Anggota
tahun 2002-2006 /STT GKST), Pdt. Tabita Kartika Christiani, PhD (Anggota tahun
2006-2010/Fakultas Teologi UKDW/Yogyakarta). Pdt. Bendalina Souk, STh (Direktur
Pelaksana tahun 1993 -2000 ), Pdt.Nancy Souisa, STh, MSi (Direktur Pelaksana
tahun 2000 - 2008). Nyata kontribusi
perempuan dalam lembaga level nasional ini, cukup signifikan.
ATESEA (The Association for
Theological Education in South East Asia) yang sejak tahun 2000-an berkantor
pusat di Manila-Filipina, juga mendapat sentuhan dari perempuan Indonesia.
Mereka itu ialah Pdt. Dr. Sientje Ervin Abram
sebagai Direktur Eksekutif (2001-2008), Pdt.Dr.Karolina Augustien Kaunang
sebagai Anggota Board of Trustees (
Maret 2013-2017).
PEREMPUAN BERPENDIDIKAN TEOLOGI DALAM GEREJA DAN MASYARAKAT
1.Peran dalam Gereja
Pelayanan dalam gereja-gereja,
lembaga-lembaga gerejawi menjadi ladang pelayanan bagi lulusan teologi baik
laki-laki maupun perempuan. Artinya, dalam kehidupan bergereja, peraturan gereja atau organisasi
kegerejaan/pendidikan teologi memberi peluang yang sama bagi laki-laki dan
perempuan berpendidikan teologi untuk bekerja (melayani).
Dalam GMIM (Gereja Masehi Injili
di MInahasa), sejak tahun 1980-an, yang melayani di jemaat-jemaat (teritorial)
sebagai Pendeta/Ketua Jemaat, di atas 60%
adalah perempuan. Namun, di aras wilayah (kumpulan beberapa jemaat dalam
satu wilayah yang berdekatan), peran perempuan sebagai Ketua Wilayah hanya
sekitar 25%. Bahkan sampai di tingkat sinodal, sampai pada periode pelayanan
Badan Pekerja Sinode/Badan Pekerja Majelis Sinode
(1995-2000,2000-2005,2005-2010) hanya terpilih 2 perempuan berpendidikan teologi
(pendeta) dari 11 orang yang dipilih dalam Sidang Sinode, bahkan dalam periode
2010-2014 hanya 1 pendeta perempuan.[21]
Yang menarik adalah, para
pendeta dengan latar belakang budaya
Minahasa[22]
baik yang belajar teologi di Tomohon maupun Makassar, terpilih menjadi Ketua
Sinode di GKST (Gereja Kristen Sulawesi Tengah) kemudian a.l. menjadi Wakil
Sekretaris Umum PGI, Ketua Sinode Am Gereja-Gereja di Sulawesi Utara dan Tengah
yaitu Pdt. Agustina Lumentut, Pdt. Detty Kani
sebagai Ketua Sinode GKLB (Gereja Kristen Luwuk Banggai), Pdt. Deetje
Rotinsulu menjadi Kepala Biro Wanita PGI
(1991-1996), Pdt. Liesje Makisanti
menjadi Sekretaris GPI (Gereja Protestan Indonesia), juga sebagai
Anggota kemudian Wakil Sekretaris MPH PGI, Pdt. Lilly Danes menjadi Kepala Biro
Wanita PGI, Pdt. Krise Gosal menjadi Sekretaris Eksekutif Bidang Pemberdayaan Perempuan dan Anak PGI.
Pdt. Liesje Sumampow menjadi Sekretaris
GPI menggantikan Pdt. Liesje Makisanti.
Di tingkat dunia, dapat disebut
seperti Pdt. Yunita Lasut sebagai misionaris di Jerman, sekarang di EKHN
Frankfurt, Pdt. Deetje Rotinsulu -
misionaris di San Fransisco dan Los Angeles AS, Pdt. Olga Mercy Rumengan-
misionaris di Jew Jersey, Pdt. Henny Poluan- misionaris di New Jersey, Pdt.
Cynthia Kekung- misionaris di New Hampshire dan di California, Pdt. Olivia
S.M.Rondonuwu sebagai misisonaris di Sydney Australia. Dalam hal kelembagaan ekumenis tingkat dunia,
Pdt. Deetje Rotinsulu menjabat Koordinator Asia untuk Basel Mission (1997-2001),
Pdt.Joyce Ellen Manarisip sebagai Koordinator Regional Program M21 untuk Indonesia-Malaysia
( 2011 - sampai sekarang).
Peran Perempuan dalam Masyarakat
Lulusan sekolah teologi tidak
saja melayani di gereja/jemaat, tetapi juga dalam masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan banyaknya alumni Fakultas
Teologi UKIT yang menjadi Pegawai Negeri Sipil. Ada yang bekerja di
kantor-kantor pemerintah, ada pula yang menjadi guru sekolah (SD, SMP, SMA),
dosen perguruan tinggi negeri dan swasta, ada pula yang menjadi polisi. Dalam 6 tahun terakhir ini ada banyak alumni
yang diangkat menjadi guru sekolah dan dosen, di Sulawesi Utara dan
Tengah, di Maluku, di Papua. [23]
Kehadiran dan peran para guru dan dosen ini,
tentu saja dalam pendidikan agama Kristen, sangat signifikan dalam
memberi isi moral etik yang lebih kuat bagi para nara didiknya. Sehingga kalau selama ini nara didik lebih
dibelajarkan dari segi inteleltual (IQ), maka dengan kehadiran para guru/dosen
agama pembelajaran diimbangi dengan segi spiritual (SQ). [24]
Ladang pelayanan dalam hal
penataan kehidupan bermasyarakat seperti menjadi anggota legislatif juga
dimasuki oleh perempuan berpendididkan teologi. Mereka itu yang sekarang sedang
aktif adalah Pdt. Meiva Lintang,STh
sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Sulawesi Utara, Diana Rogi,STh sebagai
anggota DPRD Provinsi Sulawesi Utara. Sebelumnya, Pdt. Johanna Paulina Setlight,
MTh menjadi anggota DPRD Kabupaten Minahasa tahun 1997-1999. Ketiganya menjadi
anggota DPRD dari Partai Golkar. Masih
berkaitan dengan bidang politik ialah Komisi Pemilihan Umum. Mereka itu adalah
Yessy Momongan,STh.MSi sebagai Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten
Minahasa tahun 2003-2008, kemudian sekarang menjadi Ketua KPU Provinsi Sulawesi
Utara (2013-2018). Juga Pdt. Fanny Wurangian, MTh sebagai Anggota KPU Kabupaten Minahasa
Tenggara tahun 2008-2013, Oktober 2013 – 2018.
Ladang pelayanan di lembaga
swadaya masyarakatpun telah ada yang memasukinya. Sebut saja Pdt. Elga Agustien
Sarapung bekerja di Interfidei di Yogyakarta sejak 1993, dan sejak tahun 2003
menjabat sebagai Direktur. Pdt. Ejodia Kakoensi bekerja di Kindernothilfe
Germany[25]
Indonesia (2006-2010). Vanda Lengkong yang bekerja di Plan International[26] sejak
medio 2008 sampai sekarang.
Peran PERWATI/PERUATI
PERWATI atau Persekutuan Wanita
Berpendidikan Teologi berdiri 26 Mei 1995 dalam suatu konsultasi para perempuan
berpendidikan teologi dari seluruh Indonesia yang berlangsung di Bukit
Inspirasi Tomohon (kompleks kampus Universitas Kristen Indonesia Tomohon).
Konsultasi ini digagas oleh Biro Wanita PGI dan Perhimpunan Sekolah-Sekolah
Teologi di Indonesia (PERSETIA). Nama PERWATI kemudian berubah menjadi PERUATI (Persekutuan Perempuan
Berpendidikan Teologi) yang ditetapkan pada Konsultasi di Sibolangit, Sumatera
Utara pada tahun 2007[27]
Selama hampir 2 dekade ini,
lembaga ini terus mengembangkan fungsi kelembagaannya melalui tangan-tangan
para pengurusnya. Mereka yang dipercayakan sebagai Ketua berturut-turut
Pdt.Sientje Abram, D.Th, Pdt. Septemy E.Lakawa, ThM, Pdt. Ester Mariani Ga,
STh, MSi, dan kini Pdt. Ruth Ketsia Wangkai, MTh (2011-2015).
Pastilah peran lembaga ini telah
turut menyumbang secara signifikan akan hakikat diri dan peran kuat para
perempuan berpendidikan teologi dalam keluarga, gereja dan masyarakat. Untuk
itu pelibatan semua anggota dalam program yang membasis dalam jemaat atau
ladang pelayanannya harus mendapat perhatian. Program utamanya harus menyentuh
pergumulan anggota yang bekerja di aras basis, agar lembaga ini dirindukan
selalu sebagai kebutuhan bersama dan menjawab kebutuhan bersama, sambil terus
mengembangkan program yang memperjuangkan kemanusiaan dan keutuhan ciptaan pada umumnya.[28] Dapat
dikatakan PERUATI adalah organisasi profesi yang utamanya berorientasi pada
fungsi, bukan jabatan. “Melalui PERWATI, perempuan berpendidikan teologi
diharapkan dapat memberi warna tersendiri dalam proses berteologi dan
pengembangan pendidikan teologi di Indonesia. Pendidikan teologi bagi Gereja
demikian penting, karena melaluinya dapat dipersiapkan Gereja yang lebih
merakyat dan bergumul dengan berbagai persoalan sosial yang dialami oleh rakyat
kebanyakan. Salah satu di antaranya adalah soal perempuan.”[29]
Kesimpulan Reflektif
- Perempuan
berpendidikan teologi di Indonesia sedang berperan dalam segala bidang
kehidupan masyarakat. Ini suatu kemajuan yang signifikan. Nyatalah bahwa
jebolan sekolah teologi tidak hanya dapat melayani di dalam gereja,
melainkan juga di dalam masyarakat luas, baik di dalam negeri maupun di
luar negeri.
- Dari
segi kwantitas perempuan berpendidikan teologi makin banyak. Sebagian
besar dari mereka adalah pelayan dalam jemaat-jemaat lokal seperti a.l di
GMIM (Gereja Masehi Injili di Minahasa), GPM (Gereja Protestan Maluku),
GMIT (Gereja Masehi Injili Timor). Ibu Marie Claire Barth-Frommel dalam
satu artikelnya yang berjudul “Mengajar Teologi Feminis dalam Pendidikan
Akademis” menulis “Masih banyak perempuan yang belum menikmati sejahtera,
itu sebabnya keadilan gender dan keadilan sosial menjadi tanggung jawab
pertama orang yang hendak mengembangkan masyarakat di mana setiap warga hidup
wajar dan dapat menyumbang sesuatu dengan pengetahuan, ketrampilan dan
hikmat pada kebaikan bersama.”[30]
Tulisannya ini menantang para pelayan ini untuk lebih profesional dalam
pekerjaannya.
- Peran
perempuan berpendidikan teologi yang mengedepankan keutuhan manusia
perempuan dan laki-laki dan keramahan terhadap alam harus menjadi tolok
ukur karya pelayanan dan perjuangannya. Dengan demikian menjadi jelas
bahwa peran perempuan berpendidikan teologi bukan hanya untuk dirinya sendiri,
apalagi untuk bersaing dengan laki-laki,
melainkan dari dirinya untuk dan bersama-sama dengan semua orang
dan meliputi semua hal yang berkaitan dengan kemanusiaan dan keutuhan
ciptaan.
- Sasaran
pertama dari semua karya dan perjuangan para perempuan berpendidikan
teologi ialah agar kaum perempuan di dalam keluarga, gereja dan masyarakat
menikmati hidup layak dan terhormat, sederajat dan setara dengan kaum laki-laki.
Melihat dan mendengar serta meneliti ternyata masih banyak kaum perempuan yang miskin,
tidak berpendidikan (formal) cukup, tidak berani bersuara membela hak-hak
hidupnya, dilecehkan, dikerasi, ditindas, maka program PERUATI harus
membasis. Perempuan yang
dilecehkan, dikerasi dan ditindas dapat dialami oleh perempuan dalam
segala strata sosial. [31]
- Lembaga
Pendidikan Teologi bersama dengan PERUATI dan gereja-gereja harus
bersinergi dalam pelayanan dan perjuangannya yang inklusif dengan
lembaga-lembaga kemasyarakatan dan keumatan lainnya. Hal ini tidak sulit,
sebab di lembaga-lembaga kemasyarakatan/keumatan telah dimasuki oleh para
perempuan berpendidikan teologi. Hanya diperlukan kesediaan untuk sharing resources dan sharing finacial. Hal ini sangat
berkaitan dengan sharing leadership.
- Baik
dalam lembaga pendidikan teologi
maupun dalam pelayanan gereja-gereja [32],
Ibu Pdt.Dr.h.c. Marie Clare Barth-Frommel telah sangat berperan signifikan
memajukan kaum perempuan dalam
karya dan perjuangannya untuk kemaslahatan keluarga, gereja dan
masyarakat. Kita bersyukur atas karya ibu bagi dan di antara kami kaum
perempuan berpendidikan teologi pada khususnya. Sapaan orang Minahasa
untuk Ibu : “Pakatuan wo Pakalawiren” (Usia lanjut dan Sejahtera) sedang
menjadi kenyataan.
[1]
Tissa Balasuriya, Teologi Siarah.
Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1994, 4-5.
[3]
Kata feminisme digunakan pertama kali oleh Hubertine Auclert, seorang yang
berasal dari Perancis. Feminisme waktu itu sebagai sebutan untuk memperjuangan
hak-hak politik kaum perempuan. Istilah ini memiliki waktu persiapan yang lama
berkaitan dengan kaum perempuan pencipta sejarah. Di Amerika Serikat, kaum
perempuan mulai mengangkat suara mereka untuk menentang kedudukan rendah
kaumnya pada penghujung tahun 1830-an. Lihat Anne M. Clifford, Memperkenalkan Teologi Feminis. Maumere
: Ledalero, 2002, 17-18. Band. K.A.Kapahang-Kaunang, Perempuan. Pemahaman Teologis tentang Perempuan dalam Konteks Budaya
Minahasa. Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1993,xiv
[4]
Lihat Kapahang-Kaunang, ibid, xii-xiii
[5] Di kalangan
Theological Education Fund (TEF) World Council of Churches (WCC) yang waktu itu
direktur tim TEF adalah Shoki Coe memperkenalkan, mendefinisikan dan
mempromosikan istilah kontekstualisasi. Shoki Coe “Kotekstualisasi sebagai
Jalan Menuju Pembaharuan”, dalam Douglas J. Elwood (peny.), Teologi Kristen Asia. Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1992, 13. David J. Hesselgrave, Edward Rommen, Kontekstualisasi Makna, Metode dan Model.
Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1995,48-50
[6] Saya
belum melakukan pendataan secara nasional. Beberapa data yang saya catat di
sini berdasarkan pengetahuan saya yang diperoleh saat mengikuti beberapa kegiatan nasional,
dan melalui sms, email, facebook.
[7] PTTh
kemudian menjadi salah satu Fakultas Teologi dalam lingkungan Universitas
Kristen Indonesia Tomohon (UKIT) pada tanggal 20 Februari 1965. Lembaga
pendidikan teologi ini memeliki sejarah yang panjang, yakni dimulai pada tahun
1868 dengan berdirnya Sekolah Pembantu Penginjil. Kemudian didirikan pula
STOVIL (School tot Opleiding van Inlandsche Leeraren) pada tahun
1886-1942. Selanjutnya menjadi Sekolah
Pendeta, Sekolah Theologia, Akademi Theologia. Sejarah lengkapnya dapat dibaca
dalam buku Petunjuk Studi Fakultas
Teologi UKIT 1988/1989, 1999, 2002,2004,2006.
[8] Lihat
Buku Pandauan Studi Fakultas Teologi UKIT tahun 1999, 2002 dan 2006, Perubahan
ini didasarkan pada kenyataan dan kebutuhan di lapangan bahwa para tamatan
tidak saja menjadi pendeta di gereja-gereja tetapi juga bekerja di dalam
masyarakat. Sejak tahun 1990-an makin banyak tamatan yang berkiprah di bidang
pelayanan public baik sebagai pegawai negeri seperti guru agama dan pegawai
kantor, mauoun sebagai pekerja sosial.
Apalagi dengan keluarnya SK Dikti tahun 1996 yang memasukkan Teologi
sebagai salah satu bidang keilmuan di Indonesia.
[9]
Namanya Juraya Masandu. Kedatangannya ke Minahasa bersamaan dengan kepulangan
Pdt. Augustien Kaunang yang selesai mengikuti konsultasi gereja-gereja mitra
Basel Mission Asia yang berlangsung di Kota Kinabalu, tahun 1990.
[10]
Sebagian besar dosen perempuan ini adalah tamatan FTeol UKIT tahun 1980-an.
Setelah menjalani masa vikariat di jemaat dan diteguhkan menjadi pendeta, serta
melayani di jemaat sekitar 2-3 tahun, mereka direkrut menjadi dosen melalui
GMIM. Sehingga status mereka tetap sebagai pendeta GMIM yang dipekerjakan di
Fakultas Teologi UKIT. Biaya hidupnya dibayar dari kas sinode GMIM.
[11]
S1 tamat dari STT Jakarta
[12] S1 tamat dariFakultas Teologi UKIT
[13] S2 dan S3 tamat dari The South East Asia
Graduate School of Theology (SEAGST-ATESEA).
[14] S1 tamat dari Fakultas Teologi UKIT, S2 tamat
dari The South East Asia Graduate School of Theology (SEAGST-ATESEA)
[15]
S3 tamat dari Program Pascasarjana Teologi UKIT (PPST UKIT). Gelar-gelar
akademis yang tercantum di sini sesuai dengan gelar waktu menjabat.
[16]
Pdt. Dr. Lientje Kaunang,
[17]
Pdt. Johanna Paulina Setlight,MTh
[18]
Pdt. Helena Johana Tandiapa, MTeol, sebelumnya Pdt. Vera Loupatty, MTeol
[19]
Namun sebelumnya dijabat oleh Pdt.Marhaeni Luciana Mawuntu, STh,MSi
[20] Masalah
internal ini sebagai dampak dari pemilihan
dan penetapan Rektor UKIT pada Desember 2005, yang di kemudian hari, tepatnya
pada periode Badan Pekerja Sinode GMIM mulai tahun 2006, tidak diakui oleh
Badan Pekerja Sinode GMIM. Tetapi secara eksternal, hubungan dengan dengan
pemerintah, menurut ketentuan perundang-undangan di bidang pendidikan tinggi
nasional, tidak ada masalah. UKIT sah secara hukum negara.
[21] Tentu
tidak termasuk Ketua/Penatua Wanita/Kaum Ibu tingkat Sinode, yang tidak
berlatar belakang pendidikan teologi, ia secara otomatis menjadi Angggota BPS
GMIM. Jadi bersama dengannnya hanya ada 3 perempuan dari antara 11 orang BPS
GMIM.
[22]
Minahasa menunjuk pada tanah adat, yang sekarang ini telah menjadi 7
kabupaten/kota yakni Kabupaten Minahasa, Kota Manado, Kota Bitung, Kota
Tomohon, Kabupaten Minahasa Selatan, Kabupaten Minahasa Utara, Kabupaten
Minahasa Tenggara. Minahasa disebut secara khusus karena memiliki sejarah yang
khas berkaitan dengan keberadaan
perempuan yang melayani atau bekerja di area publik. Lihat
K.A.Kapahang-Kaunang, passim.
Juga, Deetje Tiwa-Rotinsulu, Augustien
Kapahang-Kaunang (editor), Perempuan
Minahasa dalam Arus Globalisasi. Jakarta: Meridian, 2005.
[23] Data ini diperoleh pada saat para alumni
datang ke kantor Fakultas Teologi UKIT untuk melegaliser ijazah dan transkrip
nilai untuk keperluan mengurus sertifikasi guru PNS, untuk kenaikan
pangkat/jabatan. Juga yang ditemui langsung di wilayah pelayanan mereka pada
saat kunjungan ‘bakudapa’ atau temu alumni
(tahun 2011, 2012, 2013) di Tahuna, Siau, Melonguane Talaud, Kotamobagu,
Luwuk, Tobelo, Toli Toli.
[24]
Pembelajaran di sekolah bertujuan untuk
terjadinya perubahan tingkah laku menjadi lebih baik bagi semua orang, siapa
saja, bahkan terhadap lingkungan hidup. Jaman sudah berubah sekali. Pendidikan
harus mencakup logika dan spiritual bersama-sama. Tidak cukup orang menjadi
pandai lalu bertingkah laku yang tidak baik terhadap sesama dan lingkungannya.
Hal ini diperkuat dengan terbitnya SK Mendiknas RI No.045/U/2002 tentang
Krikulum Inti Nasional yang menyebutkan 4 pilar penting yaitu Learning How to
Know, Learning How to Do, Learning How to Be, Leraning How to Live Together.
Apalagi dengan adanya dan berfungsinya Pendidikan Agama di sekolah-sekolah.
[25]
Lembaga ini bergerak di bidang Pemenuhan Kebutuhan Anak , dan Kesejahteraan
Anak dan Perempuan.
[26]
Lembaga yang bergerak di bidang kemanusiaan dan community development.
[27]
Lihat Karolina A.Kaunang “Teologi Feminis di Fakultas Teologi UKIT”, dalam
Karolina Augustien Kaunang dan Denni H.R.Pinontoan (editor), Jerih Payahmu tidak Sia-sia. 50 Tahun
(1962-2012) Fakultas Teologi UKIT dalam Jerih dan Karya. (Tomohon :
Fakultas Teologi UKIT bekerja sama dengan Penerbit Lintang Rasi Aksara Books,
2012), hlm. 111-113.
[28] Lihat PERUATI, Anggaran Dasar (AD) & Anggaran Rumah Tangga (ART). Hasil Keputusan
Kongres Nasional PERUATI III di Baileo Oikoumene Ambon 09-14 Agustus 2011,
hlm. 1-3.
[29]
John A Titaley, “Kata Pengantar”, dalam Stephen Suleeman, Bendalina Souk
(penyunting), Berikanlah Aku Air Hidup
Itu. (Jakarta : PERSETIA, 1997), hlm.vii.
[30]
Dalam Kaunang dan Pinontoan (ed.), op.cit.,
hlm. 210
[31]
Hasil penelitian lapangan mahasiswa peserta mata kuliah Teologi Feminis di
Fakultas Teologi UKIT dalam tiga tahun terakhir ini. Juga saya peroleh dari
mengikuti Diskusi Tematik yang diselengarakan oleh Swara Parangpuan Sulut
bertempat di Kabupaten Minahasa dan di Kota Tomohon dalam 2 tahun terakhir ini.
Lihat juga Liputan a.l. dalam Jurnal
Sabuah Parangpuan Kesetaraan & Keadilan untuk MDGs 2015, edisi no. 4,
Januari – Maret 2012, no. 5 April – Juni
2012.
[32]
Terutama gereja-gereja di Papua, Kalimantan dan Sulawesi Tengah.
* Untuk buku yang diedit oleh Pdt. Deetje Tiwa-Rotinsulu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar