Jumat, 01 Maret 2013

Teologi Feminis di Fakultas Teologi UKIT


TEOLOGI FEMINIS DI FAKULTAS TEOLOGI UKIT *
(Pengalaman dan Refleksi)

Mengapa Teologi Feminis ?

     Berabad-abad lamanya, teologi-teologi yang dihasilkan/dirumuskan  menjadi dogma/ajaran gereja-gereja dan yang  dipraktekkan dalam hidup bergereja,  didominasi  oleh pikiran, perasaan, pengalaman, pergumulan dan harapan-harapannya kaum laki-laki yang sangat androsentris. Misalnya, sejak sekolah minggu kita mendapat pengajaran  bahwa anak Yakub ada 12 orang (Dina tidak terhitung karena dia perempuan), ada 3 nabi besar dan 12 nabi kecil yang semuanya laki-laki (padahal ada juga nabi perempuan seperti a.l. Debora dan isteri Yesaya), hanya ada 12 murid (laki-laki) Tuhan Yesus   (padahal ada juga Maria saudara Marta yang duduk dekat kaki Yesus mendengar-Nya mengajar). Terlalu lama kita mendengar  istilah Bapa-Bapa Gereja (the founding fathers) dalam sejarah gereja. Padahal ada juga kaum perempuan yang berperan dalam sejarah gereja seperti a.l. Perpetua (abad ke-3)  selaku pemimpin kelompok kecil orang Kristen. Ia menjadi martir, dibunuh karena tidak mau mempersembahkan kurban kepada dewa-dewa negara. Eudokia (abad ke-5)  yang pernah menulis dalam bidang sejarah gereja.   Pengaruh pengajaran gereja di atas sangat kuat sehingga  antara lain  sampai tahun 1970-an, masih ada gereja-gereja Protestan di Indonesia yang belum  menahbiskan perempuan menjadi pendeta walaupun ia tamatan sekolah teologi. Untunglah sekarang semua gereja-gereja anggota PGI sudah menahbiskan pendeta perempuan.  Meski demikian, masih ada diskriminasi bagi perempuan dalam peran dan fungsi pelayanan dalam jabatan seperti masih ada kesulitan bagi perempuan untuk dipilih atau ditetapkan menjadi pemimpin/ketua/kepala suatu institusi gerejawi selama masih ada kaum laki-laki yang mampu.
       Berbarengan dengan kenyataan di atas ialah budaya suatu masyarakat yang mengandalkan kuasa bapak/laki-laki (sistem patriarkhat) menjadi tolok ukur dalam memperlakukan kaum perempuan sebagai pribadi dalam keluarga dan masyarakat luas. Ambil contoh, adanya pembedaan dalam hal kerja : perempuan bertugas utama di rumah/dapur (urusan domestik yang berkaitan dengan kosmetik) sedangkan  laki-laki  bertugas utama di luar rumah, mencari nafkah (urusan publik). Dalam hal sifat, perempuan dilabeli penakut dan perasa (emosional) dan laki-laki dilabeli pemberani dan rasional. Pembedaan seperti ini yang sekarang kita kenal dengan istilah gender. Labelitas ini bukanlah kodrat, bukan kehendak Tuhan : perempuan dan laki-laki tidak dicipta Tuhan demikian. Dari contoh-contoh ini kita dapat simpulkan bahwa masih terlalu banyak orang yang belum dapat membedakan mana  peran dan fungsi yang berkaitan dengan seks (jenis kelamin biologis yang terberi sebagai laki-laki atau sebagai perempuan) dan inilah yang disebut kodrat, dan mana yang bukan kodrat melainkan gender (jenis kelamin sosial atau konstruksi masyarakat). Masih banyak hal yang dapat kita tambahkan atau daftarkan berdasarkan pengalaman, pengamatan dan bahkan pengetahuan dari tulisan-tulisan yang bias gender dalam keluarga, gereja/agama dan masyarakat.
     Baik agama maupun budaya membuat pembedaan   terhadap perempuan dalam segala aspek kehidupan. Perempuan masih mengalami perlakuan yang tidak adil, didiskriminasikan, dimarginalisasikan, disubordinasikan dan didominasi oleh sesamanya manusia (laki-laki). Inilah akar masalah terjadi ketidakadilan gender bahkan ketidak adilan manusia sehingga lahir upaya memahami diri dalam terang Firman Tuhan, atau upaya untuk mengetahui apa kehendak Tuhan mencipta manusia (perempuan dan laki-laki). Upaya ini yang berkembang dari waktu ke waktu dalam ranah pendidikan teologi menjadi Teologi Feminis. Namun demikian, teologi feminis atau lebih tepat berteologi feminis kemudian menjadi tugas bersama dalam rangka berteologi dalam jemaat secara perorangan atau secara lembaga gerejawi.
    

Siapa yang berteologi feminis ?

     Siapa saja yang peduli dengan masalah-masalah yang dialami oleh kaum perempuan, maka ia sedang berteologi feminis. Dengan demikian, maka berteologi feminis dapat dilakukan oleh perempuan dan laki-laki. Dalam kenyataan, masih ada kaum perempuan yang belum peduli akan hak dan martabatnya sendiri dan kaum sesamanya. Sebaliknya, sudah ada kaum laki-laki yang peduli akan masalah yang dialami oleh kaum perempuan. Dengan kata lain, tugas berteologi demikian adalah tugas bersama, tugas gereja, tugas semua orang.
       Dalam arak-arakan keesaan gereja-gereja sedunia, selang tahun 1988-1998 Dewan Gereja-Gereja Sedunia (DGD) mencanangkan sebagai “Dasawarsa Oikumenis Gereja-Gereja dalam Solidaritas dengan Perempuan”. Sidang Raya VIII  DGD di Harare, Zimbabwe-Afrika Selatan pada bulan Desember 1998 yang didahului dengan Pertemuan Raya Kaum Perempuan di kota yang sama pada bulan November, melihat bahwa masalah-masalah perempuan yang dialami oleh seseorang atau sekelompok orang di suatu tempat merupakan masalah  bersama. Dari sini lahirlah ungkapan “Your story is my story, your story is our story”. Kata kunci yang memotivasi gereja-gereja untuk bersama-sama mengatasi ketidak-adilan gender adalah solidaritas. Solidaritas dari semua orang untuk siapa saja (manusia dan alam) yang mengalami ketidakadilan. Mazmur 145:9 “TUHAN itu baik kepada semua orang, dan penuh rahmat terhadap segala yang dijadikan-Nya”.

Hakikat dan Tujuan Berteologi Feminis

     Teologi Feminis yang muncul di Amerika Serikat dan Eropah  adalah dampak dari gerakan emansipasi yang sudah lama berlangsung. Gerakan ini adalah gerakan yang memperjuangkan agar kaum perempuan dibebaskan dan membebaskan diri dari budaya patriarkhi yaitu laki-laki sebagai asal mula yang menentukan dan laki-laki mendominasi segala aspek kehidupan. Terjadi ketidak-setaraan kedudukan dan peran antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Penindasan dan ketidak-adilan gender  terbanyak dialami oleh kaum perempuan, isteri, ibu dan anak perempuan. Dalam bidang teologi Kristen , gerakan ini disemangati oleh lahirnya teologi pembebasan di Amerika Latin. Teologi feminis merupakan salah satu bentuk dari teologi pembebasan. Sebagaimana teologi pembebasan lahir dari situasi konkrit di suatu tempat tertentu pada zaman tertentu, maka demikian jugalah dengan teologi feminis yang lahir dari pengalaman konkrit kaum perempuan (tentu dalam hubungannya dengan kaum laki-laki) dalam segala lini kehidupan. Baik teologi pembebasan maupun teologi feminis adalah bentuk-bentuk teologi kontekstual. Istilah teologi kontekstual diperkenalkan pada tahun 1970-an.
     Membicarakan hak dan martabat perempuan yang bermasalah tidaklah berdiri sendiri atau tidak mungkin dilepaskan dengan membicarakan sesamanya kaum laki-laki. Berdasarkan latar belakang dan hakikat munculnya  berteologi feminis seperti yang telah diuraikan sebelumnya, maka tibalah kita pada tujuannya, yaitu :
  1. Pembebasan Spiritual : perempuan yang selama ini terkungkung dalam “penjara” budaya dan agama harus dibebaskan. Pembebasan ini menyangkut semangat, ide, hak dan kewajiban sebagai ciptaan Tuhan Allah.
  2. Keutuhan Ciptaan : agar ada keadilan dan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dan antara manusia dan ciptaan lainnya (ekofeminis).
Pintu masuk pada pembelajaran Teologi Feminis ialah ‘gender awareness’ dan atau studi jender.  Bagian awal ini biasanya dilakukan dengan cara bercerita (tertulis atau lisan) tentang kehidupan pribadi sebagai perempuan atau sebagai laki-laki dalam keluarga, gereja dan masyarakat. Kemudian menganalasisnya atau mencari tahu mengapa hal-hal itu terjadi. Pengalaman pribadi-pribadi menjadi pengalaman bersama. Kerinduan, harapan dan cita-cita pribadi-pribadi menjadi kekuatan bersama untuk memperbaiki dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat/beradab.
Jadi, tujuan berteologi feminis bukan untuk menyamakan laki-laki dan perempuan atau untuk menyaingi laki-laki, melainkan untuk memperjuangkan kesetaraan dari yang berbeda  dan untuk keadilan, perdamaian dan keutuhan ciptaan-Nya.

Buku-Buku Teologi Feminis di Indonesia
  1. Marianne Katoppo, Compassionate and Free. An Asian Woman’s Theology. Geneva : WCC, 1979.  Telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Tersentuh dan Bebas. Teologi seorang Perempuan Asia. Jakarta : Aksara Karunia, 2007
  2. Anne Hommes, Perubahan Peran Pria & Wanita dalam Gereja dan Masyarakat. Jakarta : BPK Gunung Mulia dan Yogyakarta : Kanisius, 1992.
  3. K.A.Kapahang-Kaunang, Perempuan. Pemahaman Teologis Tentang Perempuan dalam Konteks Budaya Minahasa. Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1993
  4. Stephen Suleeman, Bedalina Souk (peny.), Berikanlah Aku Air Hidup itu. Jakarta: Perhimpunan Sekolah-Sekolah Theologia di Indonesia, 1997
  5. Bendalina Doeka-Souk, Stephen Suleeman (peny.), Bentangkanlah Sayapmu. Jakarta : Persetia, 1999
  6. Marie Claire Barth-Frommel, Hati Allah Bagaikan Hati Seorang Ibu. Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2003
  7. Deetje Tiwa-Rotinsulu, Augustien Kapahang-Kaunang (peny.), Perempuan Minahasa dalam Arus Globalisasi. Jakarta : Meridian, 2004
  8. Asnath Natar (peny.), Perempuan Indonesia Berteologi Feminis dalam Konteks. Yogyakarta: Pusat Studi Feminis Fakultas Theologia Universitas Kristen Duta Wacana, 2004.


Pembelajaran Teologi Feminis
         Sejak tahun ajaran 1991/1992, Teologi Feminis menjadi mata kuliah elektif dalam bidang studi Sistematika (Dogmatika) baik sebagai pilihan utama (mayor) maupun pilihan kedua (minor). Patut dicatat di sini peserta pertama yang mengambil mata kuliah ini ialah Neil Lapian, Meiva Lintang, Margaretha F. Lumanauw, Ria D.S. Luntungan, Verra B. Rambing, Djenny Ratuliu, Elvie Rau, Fonny G. Roring, Mariani E.C. Tampemawa, Ferny R. Walewangko, Lydia S. Waworuntu, Kartina Sambenaung, Muhamad R. Monoarfa, Ferdiand R. Waworuntu, Indriany Debora, Oyke Kamagi. * (mereka sekarang menjadi pendeta yang melayani di dalam gereja dan di dalam masyarakat. Yang melayani di masyarakat a.l.  Pdt. Meiva Lintang (Ny. Salindeho) sekarang sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Sulawesi Utara). Dalam perkembangannya, sejak tahun ajaran 1999/2000 mata kuliah ini menjadi mata kuliah wajib institusional sampai sekarang. Semua mahasiswa mengambil mata kuliah ini. 
       Dari tahun ke tahun, silabus pembelajaran direkonstruksi  baik menyangkut pokok-pokok bahasan, sumber pustaka maupun metode. Meski silabus selalu direkonstruksi, namun ruang lingkup pembahasan tetap sama yaitu tiga hal. Pertama, proses penyadaran gender. Bagian ini merupakan pintu masuk untuk melihat bersama melalui cerita masing-masing mahasiswa bahwa ada ketidak-adilan gender dalam keluarga, gereja/agama, masyarakat. Pada bagian ini juga dipetakan  kenyataan ketidak-adilan itu dengan cara mendaftarkan antara lain apa saja yang dipandang dan diperlakukan masyarakat tentang sifat, sikap, peran, fungsi perempuan dan laki-laki. Dari identifikasi dan pemetaan ini, kemudian dipisahkan mana sifat, sikap, peran dan fungsi yang disebut seks/jenis kelamin yang terberi (kodrat) oleh sang Pencipta, dan mana yang disebut gender atau jenis kelamin sosial yang diberi masyarakat. Sehingga para mahasiswa dapat membedakan  antara seks/kodrat dan gender. Proses penyadaran ini dilanjutkan dengan menganalisis dengan membandingkan antara lain dengan beberapa hal menonjol dalam ajaran dan praktek gereja/agama dan tradisi/budaya lokal. Pada bagian pertama ini mahasiswa bekerja secara pribadi dan berkelompok berdasarkan asal gereja dan atau etnis/budaya. Dari sini kita temukan bahwa dalam beberapa ajaran gereja/agama (baik perorangan maupun institusi) dan dalam tradisi/budaya “tua” lokal (tidak semua) selama ini menjadi penyebab terjadinya ketidak-adilan dan ketidak-setaraan gender. Kedua, proses mencari dasar teologis tentang keadilan dan kesetaraan manusia perempuan dan laki dengan melakukan kajian teologis dengan bantuan bahan-bahan bacaan hasil karya  para teolog feminis kontekstual  (dalam dan luar negeri). Sesuai dengan tempat mata kuliah ini dalam bidang studi Dogmatika, maka tema-tema tentang Allah/Yesus/Roh Kudus, Manusia/Keutuhan Ciptaan,  Gereja dan Praksis Bergereja mendapat penekanan dalam kajian ini. Pada bagian ini, mahasiswa bekerja dalam kelompok membahas tema yang dipilih/ditetapkan bersama. Kemudian saling share hasil kerja kelompok. Bagian kedua ini menjadi bahan acuan untuk evaluasi/refleksi teologis  dalam bagian ketiga. Ketiga, evaluasi atau refleksi teologis. Pada bagian ini mahasiswa kembali melakukan penelitian sesuai dengan isu yang dipilih atau melanjutkan pengamatan dan pengalaman awal yang telah diungkap pada bagian pertama. Hasil penelitian ini disusun menjadi makalah akhir pembelajaran yang berisi deskripsi data, analisis data, kajian teologis dan evaluasi/ refleksi teologis.

Tentang Penelitian Saya Tahun 1987-1989
      Saya ingat ungkap seorang teman pendeta senior saat berbicara tentang teologi feminis, katanya :  “di Minahasa tidak ada masalah dengan harkat dan martabat perempuan, sebab sudah diteliti oleh pendeta Augustien seperti yang tertulis dalam buku Perempuan, terbitan BPK Gunung Mulia Jakarta, 1993.” Juga seorang awam senior yang banyak berkeliling dunia mengatakan kepada saya : “Augustien, pandangan dalam bukumu itu tidak laku dalam percakapan internasional.” Terhadap kedua pendapat/komentar ini saya menganggukkan kepala. Penelitian saya ini adalah tentang pemahaman orang Minahasa menurut cerita rakyat dan adat istiadat. Jadi secara normatif, benar ungkap pendeta senior itu dan benar menurut sang awam itu. Ungkap sang awam tadi, benar, karena di dunia internasional sedang membicarakan berbagai kenyataan ketidak-adilan terhadap perempuan yang disebabkan oleh a.l budaya lokal. Sesungguhnya, penelitian ini telah membantah pandangan bahwa yang menyebabkan terjadi ketidak-adilan dan ketidak-setaraan gender adalah faktor budaya lokal. Masalah gender di Minahasa bukan karena budaya lokal, tetapi hal lain yaitu  budaya kontemporer dan ajaran/dogma gereja yang bias gender. Karena itu, salah satu bentuk teologi kontekstual ialah teologi feminis diperlukan. Berteologi feminis kontekstual mulai dengan menggali akar budaya setempat : apakah ada nilai postif yang berlaku universal ataukah hanya ada nilai-nilai mendiskriminasi perempuan. Yang positif menjadi kekuatan untuk terus memperjuangkan hakikat kemanusiaan yang setara, dan yang negatif harus diubah menuju kesetaraaan berdasarkan hakikat manusia ciptaan Allah.
      Jelaslah dari penelitian saya bahwa secara normatif,  budaya Minahasa adalah budaya egalitarian tetapi dalam praktek terjadi banyak masalah. Hal ini menjadi sangat kentara diungkapkan dalam bagian pertama pembelajaran teologi feminis dari waktu ke waktu sampai sekarang.  Apalagi para mahasiswa tidak hanya berasal dari Minahasa tetapi juga berasal dari berbagai etnis dan denominasi gereja. Tentang Minahasa masa kini saya tulis sebagai salah satu artikel dalam buku Perempuan Minahasa dalam Arus Globalisasi (2004) yang berisi antara lain bahwa ada kontinuitas dan diskontinuitas berkaitan dengan budaya.

Teologi Feminis dan Gerakan Pemberdayaan
         Bulan Mei 1995, para perempuan berpendidikan teologi dari seluruh Indonesia bertemu di Bukit Inspirasi Tomohon (kompleks Universitas Kristen Indonesia Tomohon) dalam acara Konsultasi Nasional Wanita Berpendidikan Teologi. Acara ini diselenggarakan oleh Biro Wanita Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan Perhimpunan Sekolah-Sekolah Teologi di Indonesia (PERSETIA). Pada tanggal 26 Mei 1995 konsultasi ini melahirkan wadah yang bernama Persekutuan Wanita Berpendidikan Teologi (PERWATI, kemudian pada tahun 2007 bertempat di Sibolangit  berganti nama Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi yang disingkat PERUATI). Lahirnya lembaga PERWATI/PERUATI yang dibidani oleh PGI dan PERSETIA menyatakan keterhubungan yang erat yang tidak dapat dipisahkan dengan misi gereja-gereja dan lembaga pendidikan teologi. Dalam perkembangannya, lembaga ini telah terstruktur sampai di daerah-daerah. Namun, harus selalu diingat bahwa lembaga ini bukanlah lembaga struktural melainkan lembaga fungsional atau sejenis lembaga profesi untuk saling memberdayakan demi  tugas pelayanan yang inklusif dan holistik. Dengan begitu, maka tata cara organisasi serta program/kegiatan harus sejalan dengan misi pemberdayaan ini : demokratis, inklusif dan holistik. Kepemimpinan di lembaga ini mustinya menjadi kepemimpinan yang berbagi (sharing leadership bukan sharing power), sehingga semua anggota terlibat dalam saling memberdayakan. Dengan kata lain, hakikat berteologi feminis yang secara formal dipelajari di pusat-pusat pendidikan teologi, pertama-tama harus nampak dalam gerakan bersama kaum perempuan untuk kemanusiaan yang utuh. Keberhasilan gerakan pemberdayaan perempuan  pertama-tama bukan pada makin banyaknya kaum perempuan yang menduduki jabatan penting dalam masyarakat seperti menjadi anggota legislatif, birokrat, pimpinan perusahaan,  pimpinan lembaga pendidikan (Kepala Sekolah, Dekan/Ketua, Rektor), pimpinan lembaga keagamaan/kegerejaan, melainkan pada semakin sedikit praktek ketidak-adilan dalam keluarga, agama/gereja dan masyarakat. Idealnya gerakan perempuan mengindarkan diri dari kesempatan untuk meraih posisi atau bahasa kasarnya meraih ‘kuasa’. Terlalu sering terjadi demi meraihnya terjadi sikut-menyikut dan sikat-menyikat di antara perempuan itu sendiri dengan antara lain menyusun berbagai prasyarat yang sangat berorientasi pada kekuasaan seperti a.l. sudah pernah menjadi pimpinan dalam tingkatan tertentu. Kecenderungan ini sangat nampak biasanya menjelang pergantian pimpinan baik aras nasional maupun daerah. Pertemuan makin sering dilakukan, percakapan tentang kepemimpinan makin mengemuka.  Hampir tidak beda dengan proses pemilihan untuk legislator dan kepala daerah. Cara ini dipraktekkan juga saat menjelang pemilihan pimpinan gereja. Pergumulanku ialah bukankah salah satu isu yang dikritisi oleh gerakan perempuan ialah cara-cara seperti ini ?
       Dari beberapa percakapan dengan teman-teman yang melayani sebagai pendeta di jemaat dan hasil penelitian lapangan oleh mahasiswa peserta mata kuliah Teologi Feminis diungkapkan bahwa praktek ketidak-adilan gender masih terus terjadi dalam keluarga, utamanya praktek kekerasan dalam rumah tangga (kdrt), trafiking perempuan dan anak. Oleh sebab itu, perjuangan untuk dua hal seperti yang menjadi tujuan pembelajaran Teologi Feminis yaitu pembebasan spiritual dan keutuhan ciptaan masih harus dikonkritkan dan terus diagendakan oleh gereja-gereja seperti antara lain oleh Komisi Perempuan Gereja bersama dengan Komisi Bapa, Pemuda, Remaja dan Anak-anak. Program bersama harus menyentuh akar permasalahan di aras basis seperti kaum perempuan dalam keluarga dan dalam masyarakat, anak-anak dalam rumah tangga dan pendidikannya, remaja/pemuda dalam pergaulan dan studi serta kariernya, kaum bapak dalam keluarga dan dalam masyarakat. Mengapa bapak-bapak juga? Dalam beberapa kesempatan berceramah tentang Peran Perempuan dalam Gereja dan Masyarakat pada kegiatan Pertemuan Wanita/Kaum Ibu GMIM dan Latihan Kepemimpinan Wanita Kaum Ibu GMIM (antara tahun 1995-2005), selalu ada peserta yang  berkomentar begini : “…saya sudah dapat membedakan apa dan bagaimana itu kodrat/seks dan jender, saya sudah tahu dari Alkitab bahwa perempuan dan laki-laki adalah Gambar Allah yang punya hak dan kewajiban yang sama… tetapi bagaimana dengan suami saya. Saya usul agar bapak-bapak juga diberi ceramah seperti ini…”
        Pada akhirnya, perumusan ulang ajaran agama/gereja yang bias gender harus menjadi pekerjaan bersama (perempuan dan laki-laki), agar supaya ajaran agama/gereja tidak menjadi alasan untuk membenarkan praktek ketidak-adilan gender.  Perempuan dan laki-laki adalah Imago Dei. Perempuan dan laki-laki ditempatkan dalam dunia untuk mengusahakan dan memelihara bumi yang adalah ibu bumi. “Maka Allah melihat segala yang dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik.” (Kejadian 1:31).

*Naskah asli telah diterbitkan dalam Karolina Augustien Kaunang, Denni H.R.Pinontoan (ed.), “Jerih Payahmu tidak Sia-sia”. 50 tahun (1962-2012) Fakultas Teologi UKIT dalam Jerih dan Karya. Tomohon : Fakultas Teologi UKIT, 2012, hlm. 103- 113.

Tomohon, akhir Agustus 2012
          

Tidak ada komentar:

Posting Komentar