TEOLOGI FEMINIS DI FAKULTAS TEOLOGI UKIT *
(Pengalaman dan Refleksi)
Mengapa Teologi Feminis ?
Berabad-abad lamanya, teologi-teologi yang
dihasilkan/dirumuskan menjadi
dogma/ajaran gereja-gereja dan yang dipraktekkan dalam hidup bergereja, didominasi
oleh pikiran, perasaan, pengalaman, pergumulan dan harapan-harapannya kaum
laki-laki yang sangat androsentris. Misalnya, sejak sekolah minggu kita
mendapat pengajaran bahwa anak Yakub ada
12 orang (Dina tidak terhitung karena dia perempuan), ada 3 nabi besar dan 12
nabi kecil yang semuanya laki-laki (padahal ada juga nabi perempuan seperti
a.l. Debora dan isteri Yesaya), hanya ada 12 murid (laki-laki) Tuhan Yesus (padahal ada juga Maria saudara Marta yang
duduk dekat kaki Yesus mendengar-Nya mengajar). Terlalu lama kita mendengar istilah Bapa-Bapa Gereja (the founding fathers) dalam sejarah gereja. Padahal ada juga kaum
perempuan yang berperan dalam sejarah gereja seperti a.l. Perpetua (abad
ke-3) selaku pemimpin kelompok kecil
orang Kristen. Ia menjadi martir, dibunuh karena tidak mau mempersembahkan
kurban kepada dewa-dewa negara. Eudokia (abad ke-5) yang pernah menulis dalam bidang sejarah
gereja. Pengaruh pengajaran gereja di
atas sangat kuat sehingga antara
lain sampai tahun 1970-an, masih ada
gereja-gereja Protestan di Indonesia yang belum menahbiskan perempuan menjadi pendeta walaupun
ia tamatan sekolah teologi. Untunglah sekarang semua gereja-gereja anggota PGI
sudah menahbiskan pendeta perempuan.
Meski demikian, masih ada diskriminasi bagi perempuan dalam peran dan
fungsi pelayanan dalam jabatan seperti masih ada kesulitan bagi perempuan untuk
dipilih atau ditetapkan menjadi pemimpin/ketua/kepala suatu institusi gerejawi
selama masih ada kaum laki-laki yang mampu.
Berbarengan dengan kenyataan di atas
ialah budaya suatu masyarakat yang mengandalkan kuasa bapak/laki-laki (sistem
patriarkhat) menjadi tolok ukur dalam memperlakukan kaum perempuan sebagai
pribadi dalam keluarga dan masyarakat luas. Ambil contoh, adanya pembedaan
dalam hal kerja : perempuan bertugas utama di rumah/dapur (urusan domestik yang
berkaitan dengan kosmetik) sedangkan laki-laki
bertugas utama di luar rumah, mencari nafkah (urusan publik). Dalam hal
sifat, perempuan dilabeli penakut dan perasa (emosional) dan laki-laki dilabeli
pemberani dan rasional. Pembedaan seperti ini yang sekarang kita kenal dengan
istilah gender. Labelitas ini bukanlah
kodrat, bukan kehendak Tuhan : perempuan dan laki-laki tidak dicipta Tuhan
demikian. Dari contoh-contoh ini kita dapat simpulkan bahwa masih terlalu
banyak orang yang belum dapat membedakan mana peran dan fungsi yang berkaitan dengan seks
(jenis kelamin biologis yang terberi sebagai laki-laki atau sebagai perempuan)
dan inilah yang disebut kodrat, dan mana yang bukan kodrat melainkan gender
(jenis kelamin sosial atau konstruksi masyarakat). Masih banyak hal yang dapat
kita tambahkan atau daftarkan berdasarkan pengalaman, pengamatan dan bahkan
pengetahuan dari tulisan-tulisan yang bias gender dalam keluarga, gereja/agama
dan masyarakat.
Baik agama maupun budaya membuat
pembedaan terhadap perempuan dalam segala aspek
kehidupan. Perempuan masih mengalami perlakuan yang tidak adil,
didiskriminasikan, dimarginalisasikan, disubordinasikan dan didominasi oleh
sesamanya manusia (laki-laki). Inilah akar masalah terjadi ketidakadilan gender
bahkan ketidak adilan manusia sehingga lahir upaya memahami diri dalam terang
Firman Tuhan, atau upaya untuk mengetahui apa kehendak Tuhan mencipta manusia
(perempuan dan laki-laki). Upaya ini yang berkembang dari waktu ke waktu dalam
ranah pendidikan teologi menjadi Teologi Feminis. Namun demikian, teologi
feminis atau lebih tepat berteologi feminis kemudian menjadi tugas bersama
dalam rangka berteologi dalam jemaat secara perorangan atau secara lembaga
gerejawi.
Siapa yang berteologi feminis ?
Siapa saja yang peduli dengan
masalah-masalah yang dialami oleh kaum perempuan, maka ia sedang berteologi
feminis. Dengan demikian, maka berteologi feminis dapat dilakukan oleh
perempuan dan laki-laki. Dalam kenyataan, masih ada kaum perempuan yang belum
peduli akan hak dan martabatnya sendiri dan kaum sesamanya. Sebaliknya, sudah
ada kaum laki-laki yang peduli akan masalah yang dialami oleh kaum perempuan.
Dengan kata lain, tugas berteologi demikian adalah tugas bersama, tugas gereja,
tugas semua orang.
Dalam arak-arakan keesaan gereja-gereja
sedunia, selang tahun 1988-1998 Dewan Gereja-Gereja Sedunia (DGD) mencanangkan
sebagai “Dasawarsa Oikumenis Gereja-Gereja dalam Solidaritas dengan Perempuan”.
Sidang Raya VIII DGD di Harare,
Zimbabwe-Afrika Selatan pada bulan Desember 1998 yang didahului dengan
Pertemuan Raya Kaum Perempuan di kota yang sama pada bulan November, melihat
bahwa masalah-masalah perempuan yang dialami oleh seseorang atau sekelompok
orang di suatu tempat merupakan masalah bersama. Dari sini lahirlah ungkapan “Your
story is my story, your story is our story”. Kata kunci yang memotivasi
gereja-gereja untuk bersama-sama mengatasi ketidak-adilan gender adalah
solidaritas. Solidaritas dari semua orang untuk siapa saja (manusia dan alam)
yang mengalami ketidakadilan. Mazmur 145:9 “TUHAN itu baik kepada semua orang,
dan penuh rahmat terhadap segala yang dijadikan-Nya”.
Hakikat dan Tujuan Berteologi Feminis
Teologi Feminis yang muncul di Amerika
Serikat dan Eropah adalah dampak dari
gerakan emansipasi yang sudah lama berlangsung. Gerakan ini adalah gerakan yang
memperjuangkan agar kaum perempuan dibebaskan dan membebaskan diri dari budaya
patriarkhi yaitu laki-laki sebagai asal mula yang menentukan dan laki-laki
mendominasi segala aspek kehidupan. Terjadi ketidak-setaraan kedudukan dan
peran antara laki-laki dan perempuan dalam masyarakat. Penindasan dan ketidak-adilan
gender terbanyak dialami oleh kaum
perempuan, isteri, ibu dan anak perempuan. Dalam bidang teologi Kristen ,
gerakan ini disemangati oleh lahirnya teologi pembebasan di Amerika Latin.
Teologi feminis merupakan salah satu bentuk dari teologi pembebasan.
Sebagaimana teologi pembebasan lahir dari situasi konkrit di suatu tempat
tertentu pada zaman tertentu, maka demikian jugalah dengan teologi feminis yang
lahir dari pengalaman konkrit kaum perempuan (tentu dalam hubungannya dengan
kaum laki-laki) dalam segala lini kehidupan. Baik teologi pembebasan maupun
teologi feminis adalah bentuk-bentuk teologi kontekstual. Istilah teologi
kontekstual diperkenalkan pada tahun 1970-an.
Membicarakan hak dan martabat perempuan
yang bermasalah tidaklah berdiri sendiri atau tidak mungkin dilepaskan dengan
membicarakan sesamanya kaum laki-laki. Berdasarkan latar belakang dan hakikat
munculnya berteologi feminis seperti
yang telah diuraikan sebelumnya, maka tibalah kita pada tujuannya, yaitu :
- Pembebasan Spiritual : perempuan yang selama ini terkungkung dalam “penjara” budaya dan agama harus dibebaskan. Pembebasan ini menyangkut semangat, ide, hak dan kewajiban sebagai ciptaan Tuhan Allah.
- Keutuhan Ciptaan : agar ada keadilan dan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki dan antara manusia dan ciptaan lainnya (ekofeminis).
Pintu masuk pada pembelajaran
Teologi Feminis ialah ‘gender awareness’
dan atau studi jender. Bagian awal ini
biasanya dilakukan dengan cara bercerita (tertulis atau lisan) tentang kehidupan
pribadi sebagai perempuan atau sebagai laki-laki dalam keluarga, gereja dan
masyarakat. Kemudian menganalasisnya atau mencari tahu mengapa hal-hal itu
terjadi. Pengalaman pribadi-pribadi menjadi pengalaman bersama. Kerinduan,
harapan dan cita-cita pribadi-pribadi menjadi kekuatan bersama untuk
memperbaiki dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat/beradab.
Jadi, tujuan berteologi feminis
bukan untuk menyamakan laki-laki dan perempuan atau untuk menyaingi laki-laki,
melainkan untuk memperjuangkan kesetaraan dari yang berbeda dan untuk keadilan, perdamaian dan keutuhan
ciptaan-Nya.
Buku-Buku Teologi Feminis di Indonesia
- Marianne Katoppo, Compassionate and Free. An Asian Woman’s Theology. Geneva : WCC, 1979. Telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan judul Tersentuh dan Bebas. Teologi seorang Perempuan Asia. Jakarta : Aksara Karunia, 2007
- Anne Hommes, Perubahan Peran Pria & Wanita dalam Gereja dan Masyarakat. Jakarta : BPK Gunung Mulia dan Yogyakarta : Kanisius, 1992.
- K.A.Kapahang-Kaunang, Perempuan. Pemahaman Teologis Tentang Perempuan dalam Konteks Budaya Minahasa. Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1993
- Stephen Suleeman, Bedalina Souk (peny.), Berikanlah Aku Air Hidup itu. Jakarta: Perhimpunan Sekolah-Sekolah Theologia di Indonesia, 1997
- Bendalina Doeka-Souk, Stephen Suleeman (peny.), Bentangkanlah Sayapmu. Jakarta : Persetia, 1999
- Marie Claire Barth-Frommel, Hati Allah Bagaikan Hati Seorang Ibu. Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2003
- Deetje Tiwa-Rotinsulu, Augustien Kapahang-Kaunang (peny.), Perempuan Minahasa dalam Arus Globalisasi. Jakarta : Meridian, 2004
- Asnath Natar (peny.), Perempuan Indonesia Berteologi Feminis dalam Konteks. Yogyakarta: Pusat Studi Feminis Fakultas Theologia Universitas Kristen Duta Wacana, 2004.
Pembelajaran Teologi Feminis
Sejak tahun ajaran 1991/1992, Teologi
Feminis menjadi mata kuliah elektif dalam bidang studi Sistematika (Dogmatika)
baik sebagai pilihan utama (mayor) maupun pilihan kedua (minor). Patut dicatat
di sini peserta pertama yang mengambil mata kuliah ini ialah Neil Lapian, Meiva
Lintang, Margaretha F. Lumanauw, Ria D.S. Luntungan, Verra B. Rambing, Djenny
Ratuliu, Elvie Rau, Fonny G. Roring, Mariani E.C. Tampemawa, Ferny R.
Walewangko, Lydia S. Waworuntu, Kartina Sambenaung, Muhamad R. Monoarfa,
Ferdiand R. Waworuntu, Indriany Debora, Oyke Kamagi. * (mereka sekarang menjadi pendeta yang melayani di dalam gereja dan di
dalam masyarakat. Yang melayani di masyarakat a.l. Pdt. Meiva Lintang (Ny. Salindeho) sekarang
sebagai Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Provinsi Sulawesi Utara). Dalam
perkembangannya, sejak tahun ajaran 1999/2000 mata kuliah ini menjadi mata
kuliah wajib institusional sampai sekarang. Semua mahasiswa mengambil mata
kuliah ini.
Dari tahun ke tahun, silabus pembelajaran
direkonstruksi baik menyangkut
pokok-pokok bahasan, sumber pustaka maupun metode. Meski silabus selalu
direkonstruksi, namun ruang lingkup pembahasan tetap sama yaitu tiga hal.
Pertama, proses penyadaran gender. Bagian ini merupakan pintu masuk untuk
melihat bersama melalui cerita masing-masing mahasiswa bahwa ada ketidak-adilan
gender dalam keluarga, gereja/agama, masyarakat. Pada bagian ini juga
dipetakan kenyataan ketidak-adilan itu
dengan cara mendaftarkan antara lain apa saja yang dipandang dan diperlakukan
masyarakat tentang sifat, sikap, peran, fungsi perempuan dan laki-laki. Dari
identifikasi dan pemetaan ini, kemudian dipisahkan mana sifat, sikap, peran dan
fungsi yang disebut seks/jenis kelamin yang terberi (kodrat) oleh sang
Pencipta, dan mana yang disebut gender atau jenis kelamin sosial yang diberi
masyarakat. Sehingga para mahasiswa dapat membedakan antara seks/kodrat dan gender. Proses
penyadaran ini dilanjutkan dengan menganalisis dengan membandingkan antara lain
dengan beberapa hal menonjol dalam ajaran dan praktek gereja/agama dan
tradisi/budaya lokal. Pada bagian pertama ini mahasiswa bekerja secara pribadi
dan berkelompok berdasarkan asal gereja dan atau etnis/budaya. Dari sini kita
temukan bahwa dalam beberapa ajaran gereja/agama (baik perorangan maupun
institusi) dan dalam tradisi/budaya “tua” lokal (tidak semua) selama ini
menjadi penyebab terjadinya ketidak-adilan dan ketidak-setaraan gender. Kedua,
proses mencari dasar teologis tentang keadilan dan kesetaraan manusia perempuan
dan laki dengan melakukan kajian teologis dengan bantuan bahan-bahan bacaan
hasil karya para teolog feminis
kontekstual (dalam dan luar negeri).
Sesuai dengan tempat mata kuliah ini dalam bidang studi Dogmatika, maka
tema-tema tentang Allah/Yesus/Roh Kudus, Manusia/Keutuhan Ciptaan, Gereja dan Praksis Bergereja mendapat
penekanan dalam kajian ini. Pada bagian ini, mahasiswa bekerja dalam kelompok
membahas tema yang dipilih/ditetapkan bersama. Kemudian saling share hasil kerja kelompok. Bagian kedua
ini menjadi bahan acuan untuk evaluasi/refleksi teologis dalam bagian ketiga. Ketiga, evaluasi atau
refleksi teologis. Pada bagian ini mahasiswa kembali melakukan penelitian
sesuai dengan isu yang dipilih atau melanjutkan pengamatan dan pengalaman awal
yang telah diungkap pada bagian pertama. Hasil penelitian ini disusun menjadi
makalah akhir pembelajaran yang berisi deskripsi data, analisis data, kajian
teologis dan evaluasi/ refleksi teologis.
Tentang Penelitian Saya Tahun 1987-1989
Saya ingat ungkap seorang teman pendeta
senior saat berbicara tentang teologi feminis, katanya : “di Minahasa tidak ada masalah dengan harkat
dan martabat perempuan, sebab sudah diteliti oleh pendeta Augustien seperti yang
tertulis dalam buku Perempuan, terbitan BPK Gunung Mulia Jakarta, 1993.” Juga
seorang awam senior yang banyak berkeliling dunia mengatakan kepada saya :
“Augustien, pandangan dalam bukumu itu tidak laku dalam percakapan
internasional.” Terhadap kedua pendapat/komentar ini saya menganggukkan kepala.
Penelitian saya ini adalah tentang pemahaman orang Minahasa menurut cerita
rakyat dan adat istiadat. Jadi secara normatif, benar ungkap pendeta senior itu
dan benar menurut sang awam itu. Ungkap sang awam tadi, benar, karena di dunia
internasional sedang membicarakan berbagai kenyataan ketidak-adilan terhadap
perempuan yang disebabkan oleh a.l budaya lokal. Sesungguhnya, penelitian ini
telah membantah pandangan bahwa yang menyebabkan terjadi ketidak-adilan dan
ketidak-setaraan gender adalah faktor budaya lokal. Masalah gender di Minahasa
bukan karena budaya lokal, tetapi hal lain yaitu budaya kontemporer dan ajaran/dogma gereja
yang bias gender. Karena itu, salah satu bentuk teologi kontekstual ialah
teologi feminis diperlukan. Berteologi feminis kontekstual mulai dengan
menggali akar budaya setempat : apakah ada nilai postif yang berlaku universal
ataukah hanya ada nilai-nilai mendiskriminasi perempuan. Yang positif menjadi
kekuatan untuk terus memperjuangkan hakikat kemanusiaan yang setara, dan yang
negatif harus diubah menuju kesetaraaan berdasarkan hakikat manusia ciptaan
Allah.
Jelaslah dari penelitian saya bahwa
secara normatif, budaya Minahasa adalah
budaya egalitarian tetapi dalam praktek
terjadi banyak masalah. Hal ini menjadi sangat kentara diungkapkan dalam bagian
pertama pembelajaran teologi feminis dari waktu ke waktu sampai sekarang. Apalagi para mahasiswa tidak hanya berasal
dari Minahasa tetapi juga berasal dari berbagai etnis dan denominasi gereja. Tentang
Minahasa masa kini saya tulis sebagai salah satu artikel dalam buku Perempuan
Minahasa dalam Arus Globalisasi (2004) yang berisi antara lain bahwa ada
kontinuitas dan diskontinuitas berkaitan dengan budaya.
Teologi Feminis dan Gerakan Pemberdayaan
Bulan Mei 1995, para perempuan berpendidikan
teologi dari seluruh Indonesia bertemu di Bukit Inspirasi Tomohon (kompleks
Universitas Kristen Indonesia Tomohon) dalam acara Konsultasi Nasional Wanita
Berpendidikan Teologi. Acara ini diselenggarakan oleh Biro Wanita Persekutuan
Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dan Perhimpunan Sekolah-Sekolah Teologi di
Indonesia (PERSETIA). Pada tanggal 26 Mei 1995 konsultasi ini melahirkan wadah
yang bernama Persekutuan Wanita Berpendidikan Teologi (PERWATI, kemudian pada
tahun 2007 bertempat di Sibolangit
berganti nama Persekutuan Perempuan Berpendidikan Teologi yang disingkat
PERUATI). Lahirnya lembaga PERWATI/PERUATI yang dibidani oleh PGI dan PERSETIA
menyatakan keterhubungan yang erat yang tidak dapat dipisahkan dengan misi
gereja-gereja dan lembaga pendidikan teologi. Dalam perkembangannya, lembaga
ini telah terstruktur sampai di daerah-daerah. Namun, harus selalu diingat
bahwa lembaga ini bukanlah lembaga struktural melainkan lembaga fungsional atau
sejenis lembaga profesi untuk saling memberdayakan demi tugas pelayanan yang inklusif dan holistik.
Dengan begitu, maka tata cara organisasi serta program/kegiatan harus sejalan
dengan misi pemberdayaan ini : demokratis, inklusif dan holistik. Kepemimpinan
di lembaga ini mustinya menjadi kepemimpinan yang berbagi (sharing leadership bukan sharing
power), sehingga semua anggota terlibat dalam saling memberdayakan. Dengan
kata lain, hakikat berteologi feminis yang secara formal dipelajari di
pusat-pusat pendidikan teologi, pertama-tama harus nampak dalam gerakan bersama
kaum perempuan untuk kemanusiaan yang utuh. Keberhasilan gerakan pemberdayaan
perempuan pertama-tama bukan pada makin
banyaknya kaum perempuan yang menduduki jabatan penting dalam masyarakat
seperti menjadi anggota legislatif, birokrat, pimpinan perusahaan, pimpinan lembaga pendidikan (Kepala Sekolah,
Dekan/Ketua, Rektor), pimpinan lembaga keagamaan/kegerejaan, melainkan pada
semakin sedikit praktek ketidak-adilan dalam keluarga, agama/gereja dan
masyarakat. Idealnya gerakan perempuan mengindarkan diri dari kesempatan untuk
meraih posisi atau bahasa kasarnya meraih ‘kuasa’. Terlalu sering terjadi demi
meraihnya terjadi sikut-menyikut dan sikat-menyikat di antara perempuan itu
sendiri dengan antara lain menyusun berbagai prasyarat yang sangat berorientasi
pada kekuasaan seperti a.l. sudah pernah menjadi pimpinan dalam tingkatan
tertentu. Kecenderungan ini sangat nampak biasanya menjelang pergantian
pimpinan baik aras nasional maupun daerah. Pertemuan makin sering dilakukan,
percakapan tentang kepemimpinan makin mengemuka. Hampir tidak beda dengan proses pemilihan
untuk legislator dan kepala daerah. Cara ini dipraktekkan juga saat menjelang
pemilihan pimpinan gereja. Pergumulanku ialah bukankah salah satu isu yang
dikritisi oleh gerakan perempuan ialah cara-cara seperti ini ?
Dari beberapa percakapan dengan
teman-teman yang melayani sebagai pendeta di jemaat dan hasil penelitian
lapangan oleh mahasiswa peserta mata kuliah Teologi Feminis diungkapkan bahwa
praktek ketidak-adilan gender masih terus terjadi dalam keluarga, utamanya
praktek kekerasan dalam rumah tangga (kdrt), trafiking perempuan dan anak. Oleh
sebab itu, perjuangan untuk dua hal seperti yang menjadi tujuan pembelajaran
Teologi Feminis yaitu pembebasan spiritual dan keutuhan ciptaan masih harus
dikonkritkan dan terus diagendakan oleh gereja-gereja seperti antara lain oleh
Komisi Perempuan Gereja bersama dengan Komisi Bapa, Pemuda, Remaja dan
Anak-anak. Program bersama harus menyentuh akar permasalahan di aras basis
seperti kaum perempuan dalam keluarga dan dalam masyarakat, anak-anak dalam
rumah tangga dan pendidikannya, remaja/pemuda dalam pergaulan dan studi serta
kariernya, kaum bapak dalam keluarga dan dalam masyarakat. Mengapa bapak-bapak
juga? Dalam beberapa kesempatan berceramah tentang Peran Perempuan dalam Gereja
dan Masyarakat pada kegiatan Pertemuan Wanita/Kaum Ibu GMIM dan Latihan
Kepemimpinan Wanita Kaum Ibu GMIM (antara tahun 1995-2005), selalu ada peserta
yang berkomentar begini : “…saya sudah
dapat membedakan apa dan bagaimana itu kodrat/seks dan jender, saya sudah tahu
dari Alkitab bahwa perempuan dan laki-laki adalah Gambar Allah yang punya hak
dan kewajiban yang sama… tetapi bagaimana dengan suami saya. Saya usul agar
bapak-bapak juga diberi ceramah seperti ini…”
Pada akhirnya, perumusan ulang ajaran
agama/gereja yang bias gender harus menjadi pekerjaan bersama (perempuan dan
laki-laki), agar supaya ajaran agama/gereja tidak menjadi alasan untuk
membenarkan praktek ketidak-adilan gender.
Perempuan dan laki-laki adalah Imago
Dei. Perempuan dan laki-laki ditempatkan dalam dunia untuk mengusahakan dan
memelihara bumi yang adalah ibu bumi. “Maka Allah melihat segala yang
dijadikan-Nya itu, sungguh amat baik.” (Kejadian 1:31).
*Naskah
asli telah diterbitkan dalam Karolina Augustien Kaunang, Denni H.R.Pinontoan
(ed.), “Jerih Payahmu tidak Sia-sia”. 50
tahun (1962-2012) Fakultas Teologi UKIT dalam Jerih dan Karya. Tomohon :
Fakultas Teologi UKIT, 2012, hlm. 103- 113.
Tomohon, akhir Agustus 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar