Rabu, 30 November 2011

25 Tahun Kemiteraan GMIM-EKHN

KESAN DAN PESAN
UNTUK BOOKLET PERINGATAN 25 TAHUN KEMITERAAN EKHN-GMIM 2011*

Saya baru satu kali berkunjung ke EKHN Jerman yaitu pada awal bulan Juni 2009. Kunjungan ini dalam rangkaian menghadiri Calvin Jubilee Celebration di Geneva Switzerland pada akhir Mei 2009 , kemudian ke Belanda berjumpa dengan kawanua dalam persekutuan Gereja Minahasa. Waktu itu rombongan kami dipimpin oleh Pdt.Dr.R.A.D.Siwu. Meski baru pertama kali berkunjung, namun saya dapat merasakan keterikatan kemiteraan yang kuat antara EKHN dengan GMIM. Yang saya maksudkan ialah kemitraan tidak pertama-tama dalam level sinodal dan karenanya hanya dengan Badan Pekerja Sinode (sekarang Badan Pekerja Majelis Sinode), tetapi pertama-tama dengan dan antar wilayah. Kekuatan kemiteraan menjelang 25 tahun (waktu itu tahun 2009) sangat terasa dengan perkenanan sinode EKHN mengundang kami melalui Pdt. R.A.D.Siwu. Artinya, kemiteraan ini telah menghadirkan sosok atau tokoh yang punya tempatnya yang khusus dalam komunikasi antar personal. Saya ketengahkan ini untuk melihat signifikansi atau sisi positif dari ketokohan seseorang atau beberapa orang dalam membangun komunikasi selama ini. Dalam pertemuan percakapan waktu itu, sempat dipertanyakan dan mempertanyakan tentang peran dan fungsi dari para komunikator masa kini. Sampai-sampai ada ungkapan (kira-kira demikian) : kalau masih orang( -orang) ini, maka bagaimana kemiteraan dapat terus diperkembangkan. Di balik ungkapan ini diceritakan apa yang sesungguhnya telah terjadi dalam komunikasi antar kedua belah pihak dalam kurun waktu dimaksud. Dalam percakapan inipun, saya tahu bahwa saudara-saudara di EKHN tetap mengikuti perkembangan, permasalahan dan perjuangan yang terjadi dan dihadapi oleh GMIM. Mereka prihatin dengan kondisi GMIM pada waktu itu. Situasi ini telah berpengaruh dalam komunikasi dan bahkan dalam program/aksi di tahun-tahun terakhir ini. Padahal menurut saya, betapapun ada masalah internal gereja, tetapi janganlah mempengaruhi kualitas kemiteraan di antara kita. Jadi, terpulang pada kualitas diri para ‘pemimpin’. Sayang sekali, sadar atau tidak sadar, suka atau tidak suka, sejarah kemiteraan ini telah tercatat (meski baru pada tahap ‘cerita lisan’).
Kunjungan ini telah dirancang dengan baik sekali. Jadual selama 3 hari di Mainz dan Frankfurt kami jalani dengan baik. Tentu saya pribadi sangat antusias sebab baru pertama kali. Kami dijemput oleh Pdt.Martin Hindrich (yang sangat kami kenal), Pdt. Wilfried Warneck (Pendeta di Chrituskirche di Mainz), Pdt. Junita Lasut beserta suaminya Bapak Grover Rondonuwu. Saat ketemu kami langsung diserahkan jadual kunjungan selama 3 hari lengkap dengan peta. Segala sesuatu sudah diatur dengan jelas. Sudah dipersiapkan dengan matang kunjungan kami. Saya dan dua teman (Pdt.Krise Gosal dan Pdt.Marhaeni Mawuntu) menginap di pastori Pdt. Wilfried. Kami diterima dengan sukacita oleh isteri Pdt. Wilfried. Terima kasih atas keramah-tamahan keluarga Warneck.
Ada tiga program yang menarik bagi saya. Pertama, percakapan dengan pimpinan wilayah bertempat di kantor. Dalam kesadaran bahwa kedatangan kami bukan sebagai utusan GMIM, melainkan sebagai warga GMIM yang melayani di Universitas Kristen Indonesia Tomohon (UKIT), maka percakapan kami terbatas sebagai sharing sekitar program kemiteraan. Kedua, kunjungan ke Universitas Gutenberg di Mainz (ini almamater Pdt.Prof.Dr.W.A.Roeroe). Kami bercakap-cakap dengan Dekanat Fakultas Teologi bidang studi Protestan. Dalam kesempatan ini, kami berkesempatan sharing tentang profil Fakultas Teologi UKIT. Sempat diungkapkan agar ke depan ada program pertukaran mahasiswa atau kunjungan kuliah tamu antar dua lembaga ini. Kunjungan dilanjutkan dengan mengunjungi tempat Penebitan Alkitab yang tertua yaitu Gutenberg-Museum. Ketiga, berkunjung ke Frankfurt berjumpa dengan Pdt, Nita Lasut bersama suami Bapak Grover Rondonuwu. Kami diantar berkelililing kota Frankfurt. Sambil berkeliling, bercakap-cakap, saya mendapatkan sisi hebatnya pendeta Nita yang bercerita bagaimana pelayanannya di Gereja Protestan Indonesia Donggala (GPID) di desa-desa dan kota Palu dalam situasi konflik berlatar agama sebelum ia menjadi misionaris di Jerman. Sengaja saya angkat cerita ini untuk memberi gambaran tentang perjuangan seorang misionaris perempuan yang melayani dari kampung sampai ke kota tersibuk di Jerman ini. Saya bangga mendengar dan menyaksikan perjalanan pelayanannya yang sangat ditopang oleh suaminya. Alasan kebanggaan saya terhadapnya juga karena dia adalah seorang perempuan yang berlatar belakang budaya Minahasa dan alumni dari Fakultas Teologi UKIT. Saya mengusulkan kepadanya agar mencatat segala cerita ini untuk dapat diterbitkan sebagai biografi seorang pendeta perempuan muda. Saya ingat ada sebuah buku biografi dari seorang pendeta perempuan berdarah Minahasa yang melayani sepanjang hidupnya di Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST) yaitu Pendeta Agustina Lumentut. Saya ketengahkan ini dengan visi agar ke depan ada banyak buku biografi yang menjadi bagian utuh dari sejarah gereja-gereja kita dan karenanya sejarah kemiteraan ekumenis kita. Kita bukan hanya ada history melainkan juga herstory yang menjadi ourstory.
Pesan untuk keberlanjutan yang interaktif dan dinamis. Pertama, memperluas jangkauan kemiteraan dalam segala aras baik teritorial jemaat dan wilayah maupun pelayanan fungsional seperti a.l pendidikan tinggi. Kedua, pimpinan gereja menjadi komunikator dan fasilitator yang terus terbuka pada kemungkinan baru. Dalam hal ini lebih banyak memberi kesempatan kepada warga gereja untuk mengalami kemiteraan itu.
Akhirnya, banyak terima kasih EKHN : Pdt. Hindrich dan keluarga,Pdt. Warneck dan keluarga, Pdt. Nita dan suami, Ketua wilayah. Selamat merayakan 25 tahun kemiteraan GMIM-EKHN.

*Tulisan ini dipersiapkan oleh Tim yang dikoordiner langsung oleh EKHN Pdt.Martin Hindrich.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar