Rabu, 30 November 2011

GEREJA YANG INJILI

GEREJA YANG INJILI *
0leh : Pdt. Dr. Augustien Kapahang-Kaunang**

Kata Injili adalah kata sifat dari kata dasar Injil. Kata ini berasal dari kata Yunani “euanggelion” yang berarti berita sukacita, berita gembira, kabar baik. Dalam konteks agama Kristen, kata Injil berarti kabar sukacita tentang Yesus yang menyelamatkan manusia dan dunia ini. Dari kata Yunani “euanggelion” kita kemudian mengenal kata ‘evangelisasi’ yang biasa dipakai dalam lingkungan GMIM bila akan mengadakan ibadah kolom dengan mengatakan ‘torang mo evangelisasi’. Kemudian kita mengenal kata “evangelical” yang diterjemahkan dengan ‘Injili’. Kata sifat ini banyak dipakai sebagai nama gereja-gereja seperti antara lain Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM), Gereja Masehi Injili di Bolaang Mongondow (GMIBM), Gereja Masehi Injili di Sangihe dan Talaud (GMIST), Gereja Masehi Injili di Talaud (GERMITA), Gereja Masehi Injili di Halmahera (GMIH), Gereja Masehi Injili Timor (GMIT). Bila kita menelusuri latar belakang tradisi teologi dari gereja-gereja ini, kita dapati gereja-gereja ini berlatar tradisi teologi Reformasi (Reformed Churches) atau dalam bahasa Inggris dikenal istilah “Presbyterian” (Presbyterian Churches).
Apalah artinya sebuah nama atau identitas diri lalu tidak tahu apa tugasnya, bahkan selalu monitor dan evaluasi apakah sudah melaksanakannya. Nama penting tetapi harus diikuti dengan karya. Dari sini, kita dapat melihat fungsi Gereja yang sesungguhnya. Dalam kurun waktu 4 dekade terakhir ini, gereja-gereja antara lain melalui lembaga pendidikan teologi berbicara tentang berteologi kontekstual. Paradigma berteologi bergeser atau lebih tepat berlanjut dan menekankan pada aspek karya atau fungsi, manfaat, kegunaan dari pada hanya sampai (apalagi sekedar) pada mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan substansi, status dan kedudukan. Yang harus menjadi tujuan dari segala identitas atau jati diri adalah perannya atau fungsinya.
Pada kesempatan ini akan dicatat dua hal. Pertama, bertolak dari esensi Injil yaitu Yesus Kristus maka tugas gereja haruslah mengacu pada apa yang telah dan terus dikerjakan oleh Tuhan Yesus yang diakui sebagai Kepala Gereja. Ia mengajar dalam kata dan tindak tentang hal mengasihi bahkan menyelamatkan seperti antara lain dengan menyembuhkan, mengusir setan, memberi makan dan membangkitkan orang mati. Ia peduli pada hal-hal yang nampak dan yang langsung dirasakan oleh para pendengar/pengikut-Nya. Khotbah dan pengajaran-Nya adalah satunya kata dan tindakan. Tidak dibedakan apalagi dipisahkan antara dogma/ajaran dan etika serta praktika. Bila kita menelaah beberapa bagian Alkitab Perjanjian Lama yang berisi pengakuan iman umat Allah, hal itu lahir dari pengalaman hidup mereka dalam segala bidang seperti politik, ekonomi, perjumpaan dan interaksi dengan orang berbeda agama, hak azasi manusia (budak, orang asing, perempuan). Kita juga membaca dalam Alkitab tentang Tuhan Allah yang mengkritik cara beragama umat pada jaman itu seperti terungkap dalam kitab Amos dan Hosea. Beragama bukanlah hal status, melainkan hal akta atau perbuatan. Hidup beribadah seremonial liturgical harus berjalan bersama dengan perbuatan yang benar, adil, jujur, setia menurut kehendak-Nya. Kedua, gereja-gereja tersebut di atas berada bersama dalam arak-arakan keesaan gereja sedunia dan khususnya di Indonesia. Dewan Gereja-gereja se-Dunia memahami tugas panggilannya yaitu untuk memberitakan Injil (Yesus Kristus) kepada segala makhluk. Hal ini dinyatakan melalui program kerja di unit-unit pelayanan seperti Keesaan dan Pembaharuan; Kesehatan, Pendidikan dan Kesaksian; Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (rasisme, lingkungan dan ekonomi, hubungan internasional, perempuan, pemuda dan penduduk asli); pelayanan/diakonia. Sementara itu, Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) dalam Dokumen Keesaan Gereja yang disingkat DKG (sebelumnya Lima Dokumen Keesaan Gereja atau LDKG) mempersekutukan gereja-gereja anggota untuk melihat tugas kesaksian bergereja di dalam konteks berbangsa dan bernegara Indonesia pada umumnya dan dalam konteks lokal daerah khususnya. Secara khusus dalam dokumen Pokok-pokok Tugas Panggilan Bersama meliputi :
Keesaan yaitu membarui, membangun dan mempersatukan gereja
Bersaksi dan memberitakan Injil kepada segala makhluk
Berpartispasi dan melayani
Panggilan oikoumenis semesta
Hubungan dan kerjasama dengan semua umat beragama
Paparan di atas ini menunjukkan bahwa tugas gereja untuk memberitakan Injil (gereja yang injili) sangatlah luas dan dalam. Ke-injili-an gereja-gereja bukan terutama terletak pada ajaran/dogma dan program yang ‘rohaniah’ semata yang cenderung eksklusif, melainkan pada program konkrit yang ‘jasmaniah’, yang menyentuh kehidupan nyata setiap hari dan inklusif. Choan Seng Song, teolog Asia pernah menulis “misi Kristen harus menjadi misi kasih, bukan misi kebenaran”.
Gereja Masehi Injili di Minahasa atau dalam bahasa Inggris The Christian Evangelical Church in Minahasa (sengaja dicantumkan bahasa Inggrisnya untuk memberi perhatian pada Evangelical) dalam Tata Gereja 2007 Tata Dasar Bab I Pasal 1 memberi penjelasan tentang kata Masehi dan kata Injili.Artinya GMIM adalah Gereja milik Kristus (Al Maseh) yang tugasnya memberitakan Injil. Perjalanan GMIM sebagai organisasi menjelang 77 tahun bersinode, baru saja merayakan 180 Pekabaran Injil (PI) dan Pendidikan Kristen (PK) pada 12 Juni 2011. Namun demikian, GMIM sebagai persekutuan orang-orang yang percaya dan mempercayakan diri kepada dan di dalam Tuhan Yesus Kristus adalah Tubuh Kristus di dalam dunia. Secara organisatoris ia patut mengikuti ketentuan bermasyarakat, dan sebagai Tubuh Kristus kepalanya ialah Yesus Kristus sendiri. Menjalankan roda organisasi yang kepalanya adalah Tuhan Yesus menjadi profilnya (Tata Dasar Bab II Pasal 6). Dalam Tata Gereja tahun 1999 Peraturan Dasar Bab III Pasal 7 sangat jelas dicantumkan tentang Panggilan GMIM itu yaitu untuk a. selalu menguji keadaan GMIM, termasuk bentuk-bentuk pengungkapan ibadahnya, dan seluruh anggota GMIM, di bawah bimbingan Roh Kudus, untuk melihat sampai di mana keadaan GMIM, sesuai atau tidak sesuai dengan kehendak TUHAN, seperti diungkapkan dalam Firman Allah serta sepadan atau tidak lagi dengan tugas panggilan di tengah-tengah masyarakat dan lingkungan hidup. b. secara realistis, terencana dan konsekuen, berusaha untuk melaksanakan pertobatan dan perubahan baik secara pribadi maupun persekutuan agar GMIM menjadi lebih sepadan dengan tugas panggilan di masyarakat dan lingkungan hidup. (kalimat-kalimat ini tidak lagi tercantum dalam Tata Gereja terbaru yaitu tahun 2007). GMIM bukan dari dunia tetapi ia ada di dalam dunia dan untuk dunia. Sebab itu, sebagai gereja yang injili ia harus selalu menguji dirinya. Sebagai gereja reformasi ia selalu mereformasi diri (ecclesia reformata semper reformanda).
Untuk memenuhi panggilannya itu, maka segala keputusannya (level jemaat, wilayah, sinode) selalu diuji dulu apakah sesuai kehendak Kepala Gereja. Bila keputusan telah diambil, perlu diuji kembali apakah telah sesuai kehendak-Nya. Dalam hal ini, GMIM senantiasa perlu melakukan aksi-refleksi bergereja. Dalam waktu lima tahun terakhir ini, banyak persoalan yang mencuat ke permukaan. Bukan sekedar kuantitas tetapi terlebih kualitas persoalannya. Kualitas persoalannya makin mengemuka karena mau tidak mau ia terekspose jauh keluar, ke ranah publik. Ini konsekuensi dari sebuah organisasi kemasyarakatan yang mau tidak mau terbuka seiring dengan tersedianya berbagai sarana komunikasi dan apa terlebih hakikat dari reformasi dalam dirinya sendiri. Bila para pelayan Tuhan yang dipercayakan secara khusus untuk menatalayan secara organisatoris dalam semangat transparansi dan demokrasi serta penegakan hukum dan keadilan tidak siap menguji dirinya sendiri, maka semangat reformasinya serta ke-Injili-an nya patut dipertanyakan. Bila ajaran/dogma dan program/kegiatannya tidak lagi berdasarkan teologi Alkitabiah, maka sepatutnya melakukan konsultasi teologi bersama untuk menemukan bersama pendasarannya. Bila para pelayan Tuhan tidak lagi dalam posisi sebagai “hamba yang melayani’, maka hakikat dirinya sebagai orang yang diurapi patut dipertanyakan.
Seratus delapun puluh tahun PI dan PK versi GMIM hendaknya ditempatkan dalam kurun waktu Injil disampaikan di tanah Minahasa hampir enam abad (sejak 1563). Sangat panjang perjalanan pekabaran Injil di tanah (adat) Minahasa. Ia bertumbuh, berkembang dan berbuah dan ‘layu’(bahkan sempat hilang) kemudian tumbuh dan mekar lagi di tengah terpaan angin sepoy-sepoy sampai angin badai. Demikian perjumpaan Injil dan kebudayaan di tanah Minahasa.
Gereja yang Injili adalah hasil karya Roh Kudus yang dituangkan pada semua orang percaya pada hari Pentakosta yang baru saja dirayakan pada minggu, 12 Juni 2011 bersamaan dengan HUT PI dan PK GMIM tersebut di atas. Sebagai hasil karya Roh Kudus, maka buah Roh akan menjadi tolok ukur yang menyatakan bahwa gereja-gereja yang Injili tetap bermisi dalam kuat kuasa Roh Kudus. “ …buah Roh itu ialah : kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemah-lembutan, penguasaan diri… Jikalau kita hidup oleh Roh, baiklah hidup kita juga dipimpin oleh Roh, dan janganlah kita gila hormat, janganlah kita saling menantang dan saling mendengki.” (Galatia 5: 22-26). Bila di dalam bergereja masih ada dan dipraktekkan (apalagi secara sistematis) perbuatan daging yaitu “percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraaan, roh pemecah, kedengkian, kemabukan, pesta pora dan sebagainya” (Galatia 5 : 19-21a), maka bergereja yang demikian tidaklah mungkin menjadikannya sebagai Garam dan Terang dunia.
Hari raya Pentakosta dan HUT ke-180 PI dan PK GMIM (12 Juni 2011) adalah waktu Tuhan bagi GMIM untuk beraksi dan berefleksi (menguji dan menilai diri sendiri sesuai dengan Firman Tuhan). Marilah kita berdoa : Ya Tuhan, baharuilah dan persatukanlah kami oleh dan di dalam kuat kuasa Roh Kudus. Semoga demikian.


* Diterbitkan dalam Harian Tribun Manado pada hari Minggu, 19 Juni 2011
** Dekan Fakultas Teologi UKIT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar