Rabu, 30 November 2011

Bergreja dalam Konteks Bermasyarakat

BERGEREJA DALAM KONTEKS BERMASYARAKAT *
Oleh : Pdt. Dr. Karolina Augustien Kapahang Kaunang**

Pendahuluan
Dalam kesadaran bahwa para peserta pembinaan adalah para pelayan Tuhan yang sudah berpengalaman melayani bahkan ada pula para pendeta, maka materi pembinaan kali ini saya beri judul di atas. Judul di atas hendak mengajak kita untuk melihat bahwa gereja itu dinamis dan ditempatkan Tuhan dalam konteks masyarakat yang dinamis pula. Kedinamisan gereja dan masyarakat makin penting dilihat karena di dalamnya terkandung tema yang sangat mengemuka sekarang ini yaitu kemajemukan atau istilah kerennya pluralisasi (pluralitas, pluralisme). Gereja dan bergereja harus beranjak dari tempatnya yang selama ini ia ‘jaga dan pelihara serta kembangkan’ ke tempat yang lebih luas bahkan berbeda dengan tempatnya. Artinya, gereja berada dalam posisi dari sikap yang hanya melihat diri sendiri (introvert/eksklusif) menuju sikap yang terbuka terhadap apa yang di luar dirinya sendiri (ekstrovert/inklusif). Dalam posisi beranjak ini diperlukan kejelasan jati dirinya yang otentik. Hanya orang yang tahu persis jati dirinya dan komit dengannya dan berintegritas (satunya kata dan tindakan), ia yang dapat dan mampu beranjak tanpa merubah dirinya apalagi sampai kehilangan dirinya sendiri.
Berikut ini kita akan melihat bersama hakikat diri (ber)gereja dalam konteks (ber)masyarakat dan akan berefleksi bersama dalam konteks lokal kita.

Mengapa Konteks ?
Konteks berarti situasi di dalam mana sesuatu terjadi. Dalam hal ini, kita dapat berbicara tentang konteks pribadi, konteks gereja dan konteks masyarakat. Konteks pribadi berarti segala sesuatu yang terjadi dalam hidup seseorang. Apa yang terjadi dalam hidupnya tentu senantiasa bersentuhan dengan orang atau hal di sekitar dirinya. Konteks gereja berarti segala sesuatu yang membuatnya disebut gereja. Siapa dia, dari mana dia, untuk apa dan untuk siapa dia, bagaimana dia, hendak kemana dia penting untuk memahami dirinya (gereja). Konteks masyarakat berarti segala sesuatu yang terjadi dalam satu atau beberapa komunitas/perkumpulan/paguyuban tertentu. Setiap komunitas mempunyai ciri khasnya sendiri. Dia memiliki budaya sendiri yang terus bergerak (dinamis).
Bergereja dalam konteks bermasyarakat (berbangsa dan bernegara) menjadi keharusan. Mau atau tidak mau, suka atau tidak suka, siap atau tidak siap, bergereja sudah sedang berada dalam konteks itu. Kalau bergereja kita tidak menyikapinya dengan positif, maka sikap kritis dan kreatif tidak akan mungkin. Dalam keadaan demikian, maka kita tidak mungkin berbicara tentang visi dan misi gereja sesuai kehendak sang Kepala Gereja apalagi melaksanakannya. Bergereja yang demikian makin lama makin tidak fungsional bagi dirinya sendiri apalagi bagi orang lain, makin lama makin ditinggalkan.
Jadi mengetahui konteks penting untuk mengenal dan memahami diri sendiri, orang lain dan lingkungan hidup yang lebih luas.


Hakikat Gereja
Secara ‘tradisional’ kita mengenal hakikat gereja yang dinyatakan dalam Tri Tugas Gereja yaitu Bersekutu (Koinonia), Bersaksi (Marturia) dan Melayani (Diakonia). Tentang tiga tugas gereja ini telah kita ketahui dan laksanakan. Berikut ini adalah hakikat Gereja sebagai pendasaran dalam bergereja pada masa kini yang meliputi tiga tugas dimaksud.

1. Gereja adalah milik Tuhan Allah
Dalam ensiklopedi ilmu teologi, pemahaman tentang gereja (ekklesiologi) dibicarakan dalam pokok iman yang lebih luas yaitu pemahaman tentang Roh Kudus (pneumatologi) bahkan tentang Tuhan Allah (teologi). Gereja lahir dan bertumbuh kembang serta berbuah oleh karena karya Roh Kudus. Roh Kudus- lah yang memberadakan dan menyertainya.
Sepanjang gereja-gereja melaksanakan kehendak-Nya, maka ia adalah milik Allah, dan ialah gereja yang sesungguhnya. Sebagai milik Allah, maka Gereja adalah Tubuh Kristus. Roma 12:3-8, I Korintus 12:4-30 menjelaskan bahwa sebagai Tubuh Kristus, Gereja terdiri dari berbagai orang yang masing-masing mempunyai peran/fungsinya. Ada yang berfungsi sebagai tangan, yang lain sebagai kaki atau telinga atau mulut dan hati Kristus. Roma 6:19-20 menyatakan bahwa tubuh dari orang-orang ini adalah tempat kediaman Roh Kudus. Hal ini menunjukkan bahwa Gereja adalah kudus : ia berbeda dengan rukun keluarga, klub sepak bola, PT atau Koperasi atau Lembaga Swadaya Masyarakat, bahkan ia berbeda dengan organisasi pemerintahan. Gereja ada karena ada misi atau tugas yaitu mengantar dirinya dan orang lain kepada kepenuhan kedatangan Kerajaan Allah di bumi yaitu Keselamatan.
Gereja yang adalah persekutuan dari orang-orang yang percaya dan mempercayakan diri kepada Allah sumber kehidupannya, tidak dapat lain selain mengikuti kehendak-Nya sekalipun penuh tantangan dan cobaan (Kristokrasi - Kristus memerintah). Untuk keselamatan dunia Yesus disalibkan. Demikian pula dengan Gereja dalam bersaksi dan melayani dalam dunia dan untuk dunia tanpa harus menjadi serupa dnegan dunia (Roma 12:1-2). Di tengah situasi masyarakat bangsa Indonesia yang ‘gemar’ menyelesaikan persoalan dengan cara kekerasan, maka etika Kristen yaitu Kasih hendaknya menjadi jalan yang harus ditempuh.

2. Gereja untuk Dunia
Gereja bukan dari dunia, tetapi Gereja ada di dalam dunia dan untuk dunia (The Church for others. The Church for the world). Ia melayani melewati batas golongan gereja/agama Kristen. Itulah sebabnya ia harus mengenal dunianya dengan segala permasalahannya dan menanganinya dengan sungguh. Pendasaran teologisnya adalah Lukas 10:25-37 tentang orang Samaria yang murah hati, Markus 8:1-10 tentang Yesus memberi makan 5000 orang. Kedua bagian Alkitab ini menyatakan bahwa orang yang tidak kita kenal, orang yang berbeda agama (apalagi hanya berbeda denominasi gereja), mereka yang miskin dan kelaparan menjadi tanggungjawab pelayanan gereja. Keberpihakan gereja kepada orang-orang ini adalah panggilan pokok beriakonia yang sesungguhnya. Gereja dalam misinya bukan sekedar mengumpulkan banyak orang dalam ibadah di gedung gereja atau dalam ibadah-ibadah kelompok kategorial, fungsional dan teritorial (seperti a.l. Anak/Sekolah Minggu, Remaja, Pemuda, Ibu dan Bapak, Kolom), lalu selepas ibadah itu, gereja sebagai orang-orang dalam kesehariannya tidak hidup sebagai ‘kawan sekerja Allah’. Melainkan bagaimana orang-orang ini berlaku adil, jujur dan hidup damai, tanpa kolusi, tanpa korupsi, tanpa nepotisme.

3. Gereja sebagai Persekutuan yang Egaliter
Pada hari Pentakosta, Roh Kudus dicurahkan kepada semua orang yang berkumpul (Kisah Para Rasul 2:1-12, 17-18; bandingkan Ulangan 16:10-12; Yoel 2:28-29). Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) menetapkan tema pelayanannya sekarang ialah Tuhan itu Baik kepada Semua Orang (Mazmur 145:9a). Kata “semua orang” menunjuk pada semua bangsa dan kaum yang terdiri dari perempuan dan laki-laki, anak-anak dan orang dewasa serta para lanjut usia. Gereja adalah persekutuan, sebuah koinonia
Di dalam mana semua unsur kategori umur dan jenis kelamni, ras dan bangsa bersatu mendengar suara Allah yang mengasihinya. Kasih Allah menjadi dasar persekutuan hidup itu. Setiap orang sama bertanggungjawab atas persekutuan itu. Mereka sama dalam hal hak dan kewajiban. Mereka sahabat yang setara dalam memberitakan perbuatan besar-Nya (I Petrus 2:9). Persahabatan yang setara itu hanya akan teralami bila semua unsur terlibat aktif dalam mengambil keputusan dan melaksanakannya bersama. Di sini berlaku azas demokrasi dan transparansi dalam esensi Kristokrasi.
Pemahaman dan praktek yang masih membedakan status dan peran perempuan dalam keluarga dan gereja, tidaklah teologis Alkitabiah. Perempuan dan laki-laki diciptakan-Nya berbeda secara biologis dan fungsi reproduksinya, tetapi mereka diciptakan dengan hakikat diri/status dan peran yang setara, semartabat, sama nilainya di hadapan-Nya (Kejadian 1:26-28; Galatia 3: 26-29). Marilah kita jadikan gereja sebagai tempat kesetaraan dari orang-orang yang berbeda. Gereja sebagai institusi perlu secara intens (sengaja/terprogram) mempromosikan kesetaraan ini dalam kata dan tindakan.

4. Gereja yang Mentransformasi Tradisi dan yang Ekumenis
Menurut sejarahnya, sebagian besar gereja-gereja yang berada di Sulawesi Utara, Tengah dan Gorontalo (termasuk GPIG) berlatar belakang tradisi Calvinis. Tradisi ini mempunyai kekhasannya dalam hal dogma/ajaran, tata gereja dan tata ibadahnya. Dalam banyak tata gereja, dicantumkan dengan jelas tentang sitem pelayanannya yaitu Presbiterial Sinodal. Namun dalam prakteknya di beberapa jemaat bahkan sering dipraktekkan oleh para pejabat di level sinode, tidak sepenuhnya melaksanakannya. Kenyataan ini dialami a.l. oleh GMIM dan GMIT.
Ketidak-konsistenan antara teori dan praktek ini mengindikasikan bahwa sudah saatnya gereja-gereja mentransformasi tradisi (gereja) dalam konteks lokalnya. Bukankah salah satu ciri dari gereja-gereja Protestan yaitu ecclesia reformata semper reformanda (gereja reformasi senantiasa mereformasi dirinya) berarti a.l. bersikap kritis terhadap dirinya sendiri termasuk terhadap latar belakang tradisinya berdasarkan kesaksian Alkitab? Bukankah tradisi apapun termasuk yang dilahirkan oleh gereja, berakar dalam budaya dan sesuai kebutuhan konteks pada waktu tertentu.
Ekumenitas gereja makin signifikan dalam era globalisasi dan transparansi ini. Keharusan berinteraksi dan bersinergi di tengah kepelbagaian akan turut menentukan profil gereja-gereja. Dalam hal ini gereja harus senantiasa terbuka terhadap kenyataan perbedaan dan melihatnya sebagai kekayaan bersama untuk bermisi yang lebih dapat menjangkau sasaran pelayanannya sehingga menjadi pelayanan yang holistik. Hanya dengan kebersamaan di tengah perbedaan, visi dan misi Gereja Tuhan dapat diwujudkan. Mungkin gereja (institusi) di mana kita menjadi anggotanya hanya dapat melaksanakan satu dua misi Gereja yang luas dan dalam itu. Dalam kebersamaan dengan gereja-gereja lainnya, misi yang holistik itu dapat dilaksanakan. Itulah yang a.l. dilakukan dalam gerakan ekumene seperti melalui PGI.

5. Gereja yang Membebaskan dan Mempersatukan
Galatia 5:1-2 “supaya kita sungguh-sungguh merdeka, Kristus telah memerdekakan kita. Karena itu, berdirilah teguh dan jangan mau lagi dikenakan kuk perhambaan”. Atas dasar Alkitab ini, maka seorang teolog perempuan mengatakan gereja sebagai household of freedom (rumah tangga kemerdekaan). Sebagaimana umat Isreal dibebaskan oleh Tuhan Allah dari tanah Mesir, dari tanah pembuangan di Babel, demikianlah juga Yesus membebaskan orang dari berbagai penyakit dan kelemahan dan dari tradisi/peraturan/hukum sabat (a.l. Lukas 7:1-10, 9:37-42, Markus 2 : 23-28, Matius 12:9-14,Yohanes 5:1-18).
Gereja dalam ajarannya, etikanya, peraturannya (tata gereja dan tata ibadah) harus berpatokan pada karya-Nya yang membebaskan dari berbagai dosa. Gereja dbebaskan dan membebaskan diri dari pengaruh kekuasaan di dalam dan di luar dirinya seperti kuasa uang, status dan jabatan. Hanya dengan demikian gereja menjadi pemersatu dalam segala perbedaan bahkan pertentangan sekalipun agar terhindar dari malapetaka memecah-belah kebersamaan.

6. Gereja menurut Dokumen Keesaan Gereja PGI
Pada tanggal 25 Mei 1950, gereja-gereja di Indonesia menyatukan tekad bermisi bersama melalui wadah Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI) yang kemudian dalam Sidang Raya (SR) X di Ambon (1984) merubah namanya menjadi Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI). Tujuannya ialah “mewujudkan Gereja Kristen Yang Esa di Indonesia.” Dalam SR X lahirlah satu dokumen penting yang diberi nama Lima Dokumen Keesaan Gereja (LDKG) yaitu :
Pokok-pokok Tugas Panggilan Bersama (PTPB)
Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK)
Piagam Saling Mengakui dan Saling Menerima (PSMSM)
Tata Dasar Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia
Menuju Kemandirian Teologi, Daya dan Dana
Dalam SR XIII di Palangkaraya (2000), LDKG diubah menjadi Dokumen Keesaan Gereja (DKG), yaitu :
Pokok-pokok Tugas Panggilan Bersama (PTPB)
Pemahaman Bersama Iman Kristen (PBIK)
Oikoumene Gerejawi :
Konsep Dasar Keesaan
Piagam Saling Mengakui dan Saling Menerima (PSMSM)
Saling Menopang di Bidang Daya dan Dana
Tata Dasar Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia.
Bila memperhatikan isi LDKG dan DKG, pada umumnya dan pada dasarnya tidak ada perbedaan dalam rumusan teologinya. Dokumen PTPB isinya selalu berubah sesuai dengan tema dan sub tema periodikal PGI per lima tahun. Dokumen PSMSM digabung dengan dokumen Menuju Kemandirian Telogi, Daya dan Dana menjadi dokumen Oikoumene Gerejawi. Kerangka dan isi DGK ini menyatakan bahwa ekklesiologi (pemahaman tentang Gereja) PGI dimulai dengan pemahaman bersama tentang tugas dan tanggungjawabnya di tengah masyarakat bangsa Indonesia. Dengan kata lain, pemahaman tentang apa, mengapa dan bagaimana gereja dimulai dengan menyadari konteks nyata di mana gereja-gereja ditempatkan oleh Tuhan Allah. Ia mulai dengan fungsinya dalam konteks kesehariannya. Dokumen pertama dan kedua merupakan dokumen sentral. Dokumen ketiga menjelaskan tentang profil PGI yang beranggotakan gereja-gereja dengan latar belakang yang berbeda dan beragam baik bentuk dan tradisi rohani di mana mereka wajib saling mengakui, saling menerima dan saling menopang. Dengan ini ia mengungkapkan bahwa Gereja itu esa, kudus dan am. Dokumen keempat menyatakan konsekuensi logis dari suatu persekutuan ialah perlunya Tata Dasar bersama. Atas dasar DKG ini, setiap gereja anggota mengejawantahkannya secara dinamis kreatif dalam konteks pergumulan dan kebutuhan lokalnya.
Rumusan tentang Gereja menurut PGI secara khusus terdapat dalam dokumen PBIK bab IV yang terdiri dari 10 butir, yaitu :
Roh Kudus berperan dan memberi kuasa kepada gereja-gereja
Gereja terbuka kepada dunia dan senantiasa menguji setiap roh
Gereja berperan dalam konteks sosial, politik, ekonomi dan budaya
Hubungan Gereja dan Negara
Gereja yang selalu bertobat dan membarui diri
Keesaan gereja sebagai persekutuan kasih
Gereja itu kudus
Gereja itu am (katolik)
Gereja itu rasuli
Gereja sebagai orang per orang maupun bersama-sama mewujudkan keesaan, kekudusan, keaman/kekatolikan dan kerasulannya dalam hidup sehari-hari.

Refleksi dan Penutup
Jelaslah bahwa gereja hanya dapat disebut gereja bila bergereja dalam konteks bermasyarakat. Bergereja selalu berada dalam proses aksi-refleksi dalam dirinya sendiri dan dan dalam serta bersama dengan orang/lembaga yang berbeda bahkan mungkin bertentangan. Dinamika bergereja hendaknya dilihat sebagai kesempatan untuk terus berbenah, bertumbuh dan berbuah. Visi Gereja ialah Keselamatan bagi semua makhluk (bukan hanya manusia) harus terimplementasi dalam misi atau program/kegiatan gereja baik secara institusional maupun secara pribadi.
Bila dalam bergereja terdapat permasalahan-permasalahan teologis, hendaknya duduk bersama di sekitar Firman Tuhan. Pasti akan menemukan kejelasan bersama bila menempatkan Tuhan sebagai Kepala Gereja. Bila dalam bergereja mengalami hambatan dari pihak luar, maka hadapilah dengan kuat kuasa kasih dari Tuhan Yesus Juruselamat kita. Bila kita berhasil melaksanakan misi kasih, maka nyatakanlah syukur kepada-Nya dalam kerendahan hati. Semoga !

Tomohon, 23 Juni 2011

* Disampaikan dalam Program Pembinaan Majelis Jemaat beserta seluruh komponen kelengkapan pelayanan di Gereja Protestan Indonesia Gorontalo Jemaat Imanuel Kota Gorontalo pada hari Sabtu, 25 Juni 2011.
** Dekan Fakultas Teologi UKIT. Alamat email tienkaunang@yahoo.com , blog tienkaunang@blogspot.com , hp 08152345929

Tidak ada komentar:

Posting Komentar