Sabtu, 06 November 2010

Catatan Reflektif tentang Pemberhentian 11 Pekerja GMIM

Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM) yang baru saja merayakan 76 tahun bersinode adalah gereja yang memiliki sejarah yang panjang sekali (hampir 6 abad). Ia memiliki segudang (besar) pengalaman. Ia memiliki sumber daya manusia yang secara kualitas terkenal di tingkat lokal, nasional dan internasional, dan secara kuantitas pendetanya sangat banyak dan lebih khusus lagi pendeta perempuan. Para Pendeta GMIM yang melayani di lembaga-lembaga di luar GMIM baik di dalam dan di luar negeri sangat dihormati karena kualitas integritasnya. GMIM memiliki asset yang luar biasa seperti gedung-gedung gereja yang megah, kantor sinode terbesar (termegah) di Indonesia melebihi kantor Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) di Jakarta dan kantor Christian Conference of Asia (CCA) yang sekarang berkedudukan di Thailand serta kantor World Council of Churches di Jenewa Swiss, auditorium bukit inspirasi yang sekarang dikelola oleh pihak lain, belum lagi tanah ratusan hektar di Poigar. Pendek kata, GMIM memiliki kekayaan lahiriah/jasmaniah. Apakah kekayaannya ini berbanding lurus dengan kekayaan batiniah/rohaniahnya ?

Dalam lima tahun terakhir ini GMIM mengalami kemelut yang luar biasa, sehingga antara lain terpecahnya Universitas Kristen Indonesia Tomohon (UKIT) menjadi dua karena adanya dua badan penyelenggara yang sama-sama didirikan oleh GMIM. Pertanyaan mengapa ada dua badan penyelenggara, tidak perlu dijawab di sini. Bagi warga GMIM, sudah tahu jawabannya, meski tidak sama jawabannya bahkan mungkin ada yang bertentangan. Dalam kesempatan ini, perkenankanlah saya berefleksi dari pengetahuan dan pengalaman saya. Sehingga sangat terbuka untuk ditambahkan atau dikurangi atau dikritisi atau tidak disenangi alias tidak disetujui. Saya siap untuk segala kemungkinan.

Refleksi saya terfokus pada diberhentikannya 10 orang pendeta dan 1 orang awam. Mereka adalah pekerja GMIM yang dipekerjakan di Fakultas Teologi UKIT. Mereka diberhentikan sebagai Pekerja GMIM dan sebagai Pendeta (bagi 10 orang pendeta). Biaya hidupnya diberhentikan yang memang sudah diberhentikan sebelum SK ini keluar. Alasan BPS GMIM (periode 2005-2010) memberhentikan mereka ialah karena mereka tidak lagi bekerja di lingkungan GMIM. Bahkan salah satu klausul yang menjadi pertimbangan dekeluarkannya SK Pemberhentian ini ialah SK Mendiknas No.220 tentang alih kelola UKIT dari YPTK GMIM ke Yayasan GMIM Ds.A.Z.R.Wenas. Tentang SK ini telah dicek ke Dirjen Administrasi Hukum Umum Kemenhukham menyatakan bahwa a.l. Yayasan GMIM Ds.A.Z.R Wenas bukanlah Yayasan yang mengurusi UKIT. Selama hampir dua tahun mereka tidak mendapatkan lagi biaya hidupnya dari kas Sinode. Mereka bertahan. Dan…tibalah pelaksanaan Sidang Majelis Sinode (SMS) GMIM pada akhir Maret 2010. Ketegaran hati mereka, meski tidak diundang dalam SMS ini, mereka mendatangi lokasi SMS di kompleks Wale ne Tou Minahasa Tondano, setelah sebelumnya mereka menyurati para peserta SMS memohon agar kiranya mereka diperkenankan untuk menyampaikan ‘pembelaannya’. Tetapi, sayang seribu sayang, tiga hari mereka ‘nongkrong’ di kios makanan depan lokasi SMS, menunggu kesempatan untuk dapat mempertanggungjawabkan mengapa mereka tidak ‘dengar-dengaran’ kepada BPS, tidak berhasil. Meski demikian, mereka tidak ciut. Mereka kemudian datang menghadiri sidang seksi di dua lokasi yaitu seksi umum dan pesan di Koya dan seksi Pekerja GMIM dan Pelayan Khusus di Sasaran. Mereka mendengar sendiri tuturan para peserta terutama tentang menyangkut permasalahan UKIT dan lebih khusus lagi tentang diri mereka sendiri. Hasilnya positif. Tidak sia-sia. “Tuhan itu baik kepada semua orang” terasa dalam sidang-sidang seksi ini yang kemudian tertera dalam butir-butir keputusan.

Pada awal Mei 2010 , mereka mendapatkan SK BPMS tertanggal 1 Mei 2010 tentang pengaktifan kembali. SK ini dipelajari masing-masing dan kemudian bersama-sama. Merekapun mendatangi Ketua BPMS di rumah dinasnya pada tanggal 8 Mei 2010 menyampaikan isi hatinya. Penyampaian ini diformalkan dengan menyurati BPMS tertanggal 9 Mei 2010, perihal surat : Ucapan Terima Kasih dan Tanggapan atas SK BPMS-GMIM tertanggal 1 Mei 2010. Surat kami ini tidak pernah dijawab oleh BPMS. Merekapun mendatangi Sekretaris BPMS di kantor sinode pada tanggal 9 Juni 2010 meminta jawaban atas surat mereka. Mereka meminta jawaban tertulis. Sampai kini surat jawaban tidak kunjung datang. Maka merekapun menyurat kepada Para Anggota Sidang Majelis Sinode GMIM tertanggal 28 Juni 2010 dengan permohonan untuk mendesak BPMS segera merealisasikan keputusan SMS GMIM tahun 2010 yaitu memulihkan hak-hak mereka sesuai dengan butir keputusan bidang Pekerja GMIM dan PELSUS yaitu Rekomendasi point 2 “Menugaskan Badan Pekerja Majelis Sinode untuk segera menindaklanjuti keputusan Sidang Majelis Sinode tanggal 23 Maret 2010 tentang pengaktifan kembali dengan menerbitkan Surat Keputusan kepada 11 Pekerja GMIM”, dan keputusan Bidang Umum dan Pesan rekomendasi butir 9 yaitu “Menugaskan BPMS untuk menilik dan memulihkan hak-hak dari para pendeta yang telah dinonaktifkan” (sebenarnya mereka bukan dinonaktifkan tetapi malah diberhentikan). Jadi, yang mereka butuhkan ialah dipulihkan kembali hak-haknya sebagai Pekerja Gereja, pertama-tama nama baiknya, dan dengan sendirinya biaya hidupnya yang dihentikan didapatkan kembali. Hal ini harus dibuktikan dengan terbitnya SK BPMS yang membatalkan SK pemberhentian itu. Tetapi, semua upaya mereka di atas tidak berhasil. Dengan berat hati atau lebih tepat dengan terpaksa, pada bulan Juli mereka pergi ke kantor sinode untuk mengambil gaji mulai bulan Mei 2010.

Atas saran berbagai orang yang prihatin dengan masalah ini, maka pada bulan September mereka dengan 3 pendeta teman lainnya (menjadi 14 orang) melayangkan surat kepada Dinas Tenaga Kerja Provinsi Sulawesi Utara mengadukan tentang biaya hidup selama 22/24 bulan yang tidak dibayarkan dari kas sinode GMIM. Sampai hari selasa, 2 November 2010, telah dilakukan pertemuan antara BPMS dengan Disnaker Sulut serta 2 orang perwakilan dari 14 orang ini bertempat di kantor sinode. Dan … ternyata BPMS hasil SMS Maret 2010 tetap menganggap bahwa 14 orang ini tidak berhak mendapatkan gaji 22/24 bulan tersebut karena mereka mendapat disiplin gereja.

Atas kenyataan di atas, maka refleksi berikut ini saya sampaikan dalam bentuk pertanyaan yaitu:
1. Apakah 14 orang ini melanggar pengakuan imannya? Pengakuan Iman yang bagaimanakah yang telah mereka langgar ? Apakah iman itu menurut Tata Gereja GMIM? Apakah 14 orang ini mengajarkan ajaran sesat menurut GMIM?
2. Apakah 13 orang pendeta ini telah melanggar kode etik profesinya ? Apakah ada kode etik itu? Kalau ada, apakah acuan tersebut ditentukan oleh BPS/BPMS? Apakah sikap kritis itu salah dan tabu bagi seorang pendeta?
3. Apakah mereka telah melakukan tindakan amoral ? Tindakan amoral apakah itu?
4. Apakah mereka telah melanggar Tata Gereja GMIM ? Bagian manakah dalam Tata Gereja itu yang mereka langgar?
5. Apakah mereka telah mempermalukan GMIM dengan tindakan tetap mengajar di UKIT YPTK GMIM?
6. Benarkah UKIT YPTK GMIM telah dibubarkan dan dinyatakan ‘ilegal’ oleh jemaat-jemaat GMIM? Apakah dengan didirikannya Yayasan GMIM Ds.A.Z.R.Wenas secara otomatis keberadaan YPTK GMIM dinyatakan bubar atau tergantikan ?
7. Bukankah dengan keluarnya keputusan Mahkamah Agung yang menolak kasasi Yayasan GMIM Ds.A.Z.R.Wenas yang antara lain berisi : “Menyatakan perbuatan Tergugat 1 dan Tergugat 2 yang telah merubah cap/stempel dan Kop surat serta Lambang Universitas Kristen Indonesia Tomohon sebagai Identitas tidak sah menurut hukum”, kemudian Surat Keterangan dari Pengadilan Negeri Tondano tertanggal 13 Oktober 2010 yaitu “Yang berhak mengelola Universitas Kristen Indonesia Tomohon (UKIT) sebagaimana bunyi putusan yang telah mempunyai keputusan hukum tetap adalah Yayasan Perguruan Tinggi Kristen GMIM” sekaligus menyatakan bahwa para Pekerja GMIM yang pernah diberhentikan itu tidak bersalah? Bukankah salah satu hasil kajian Tim Pengkajian Rekonsiliasi UKIT yang dikenal dengan istilah Tim 7 yang ditugasi oleh BPMS menulis dalam laporannya bahwa YPTK GMIM tidak pernah dibubarkan oleh BPS GMIM ?
8. Mengapa Fakultas Teologi (FTeol) UKIT YPTK GMIM dapat terus berkomunikasi baik, surat – menyurat lancar, undangan untuk menghadiri kegiatan taraf nasional terus datang dengan dan dari Bimbingan Masyarakat Kristen Kemenag RI, dengan Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia, lalu … dengan BPS/BPMS GMIM tidak : surat-surat tidak pernah dibalas apalagi diperbaiki? Bukankah FTeol UKIT ini tetap menjadi anggota Perhimpunan Sekolah-Sekolah Teologi di Indonesia (PERSETIA) dan anggota Asosiasi Sekolah-Sekolah Teologi di Asia Tenggara (ATESEA) yang menyelenggarakan program studi lanjut S2 dan S3 South East Asia Graduate School of Theology dengan aktivitas a.l. sampai pada Maret 2009 telah menyelenggarakan ujian S2 dan bahkan S3 termasuk promosi S3 a.n. Pdt.Liesje Pangkey-Sumampouw (maaf … nama ini dicatat karena yang bersangkutan adalah salah seorang anggota BPS GMIM periode sebelumnya)? Karena itu lulusannya berhak mengikuti seleksi penerimaan calon vikaris sesuai dengan amanat Tata Gereja GMIM, yaitu salah satu syarat penerimaan calon vikaris ialah tamatan dari sekolah teologi yang adalah anggota PERSETIA dan anggota ATESEA.
9. Apakah aduan mereka kepada Disnaker Sulut harus dilanjutkan sampai ke pengadilan dan bahkan sampai ke Makhamah Agung atau mereka berdiam diri saja alias menyerah pada keadaan dan membiarkan ketidak-adilan bergulung-gulung seperti air dan ketidak-benaran seperti sungai yang selalu mengalir dalam organisasi GMIM?

Saya ingin memberikan informasi bahwa selama 5 tahun ini, GMIM melalui BPS/BPMS telah bertindak tidak adil terhadap ke-14 Pekerja GMIM ini. Sebab Pekerja GMIM di UKIT YPTK GMIM bukan hanya mereka. Mengapa hanya 11 orang yang diberhentikan? Mengapa ada yang dipensiunkan padahal ia telah memohon perpanjangan dengan menyertakan surat-surat yang diperlukan, sementara itu ada beberapa pendeta yang seusia dengannya tidak dipensiunkan ? GMIM juga bertindak tidak adil terhadap lulusan UKIT YPTK GMIM seperti tidak diterimanya mengikuti seleksi penerimaan vikaris, padahal FTeol UKIT ini adalah anggota PERSETIA dan ATESEA, padahal mereka adalah anggota jemaat GMIM yang bukan tidak mungkin ada di antara orangtuanya adalah Pelayan Khusus. Pendek kata banyak yang telah menjadi korban dan dikorbankan oleh adanya kekerasan struktural yang bermula dari kepentingan pribadi, karena ketidaksenangan pribadi antar pribadi, Kemudian dibawa ke institusi GMIM melalui Rapat-Rapat BPS dan Rapat-Rapat Tahunan (RBPSL) tahun 2006, 2007, 2008, 2009 yang melahirkan keputusan sepihak.
Memang beginikah profil GMIM yang sangat kaya dengan SDMnya baik awam maupun teolog dan yang sangat kaya dengan pengalaman bergereja.
Demikianlah catatan reflektif saya sebagai salah seorang dari mereka.
Menghadapi semua ini saya hanya terus berdoa : Ya Tuhan, baharuilah dan persatukanlah kami! sambil terus melayani sebagai dosen di Fakultas Teologi UKIT YPTK GMIM.

Tomohon, 4 November 2010

Tidak ada komentar:

Posting Komentar