Minggu, 19 April 2009

Kartini dan Agama : Betulkah Agama membawa Berkah?

Kartini dan Agama : Betulkah Agama membawa Berkah ?


Kartini adalah adalah seorang pribadi yang taat beragama, seorang muslimat yang taat (21 April 1879-17 September 1904). Ayahnya adalah seorang bupati Jepara, seorang bangsawan yaitu Raden Adipati Sosroningrat. Sosroningrat adalah anak dari seorang bupati Jawa yang sangat terbuka kepada pendidikan Barat. Ibu dari Kartini yaitu isteri pertama dari ayahnya bernama Ngasirah. Ngasirah adalah seorang yang berasal dari kalangan rakyat biasa, bukan bangsawan. Ngasirah adalah anak seorang kiai terkenal di Jepara yang memimpin sebuah pesantren di Jepara dan beribu dari kalangan orang biasa.
Dengan kata lain, Kartini adalah pribadi yang memiliki dua latar keluarga yang sangat berbeda dalam strata sosial Jawa yang turut mempengaruhi kehidupannya. Sebagai seorang anak bangsawan dan karena itu ia bergelar Raden Ajeng dan sebagai pribadi yang beribu bukan bangsawan meskipun sudah menikah dengan seorang bangsawan/bupati Jepara, Kartini mengalami pergumulan atau lebih tepat konflik batin menyaksikan bahkan mengalami sendiri apa artinya menjadi seorang perempuan, seorang isteri dalam budaya Jawa, apalagi kemudian ia dikawinkan dengan seorang bupati Rembang yang memiliki beberapa isteri. Sementara itu, sebagai seorang anak bupati ia mempunyai banyak sahabat pena orang Belanda. Meskipun ia hanya lulusan sekolah dasar dan usianya masih sangat muda, tetapi ia mampu mengkomunikasikan pergulatan batinnya sekaligus gagasannya sendiri sebagai anak Indonesia. Gagasannya bertolak dari konflik batinnya, baik itu berhubungan dengan adat budaya Jawa maupun dengan perkembangan pemikiran Barat di Indonesia.

Surat-suratnya ditulis sejak 25 Mei 1899 sampai 7 September 1904, tepat sepuluh hari sebelum ia meninggal dunia. Ia menulis hanya 5 tahun. Dalam surat-surat inilah terungkap a.l.pandangannya tentang agama. Dalam suratnya pada tanggal 21 Juli 1902 kepada Ny. Van Kol berbunyi : “Agama dimaksudkan supaya memberi berkat. Untuk membantu tali persaudaraan di antara semua makhluk Allah, berkulit putih atau coklat. Tidak pandang pangkat, perempuan atau lelaki, kepercayaan semuanya kita ini anak Bapa yang Satu itu, Tuhan yang Maha Esa”. Surat ini menunjukkan sikap iman yang teguh, namun digabungkan dengan sikap hati yang lembut dan terbuka. Sikap ini membuka ruang yang lebar untuk melihat hal-hal yang baik dari iman kepercayaan orang lain. Monotheisme dan Universalisme Kartini dalam bidang agama memberi dasar kepada hubungan antar bangsa, antarbudaya, antar ras. Ia menulis : “Orang di negeri Belanda hendaknya bertanya dan berpikir : “Apa artinya Belanda tanpa Hindia?” dan Belanda mengajar Hindia bertanya : “Apa artinya Hindia tanpa Belanda?”. Kartini mempunyai seorang teman korespondesi yang beragama Yahudi, Estella Zeehandelaar. Temannya ini menulis : “ Kartini dilahirkan sebagai seorang Muslim, dan saya dilahirkan sebagai seorang Yahudi, meskipun demikian kami mempunyai pikiran yang sama tentang Tuhan”. Meskipun Kartini berpandangan positif tentang keberadaan agama-agama, namun ia tahu realitas sebenarnya yang terjadi dalam hubungan antar umat beragama. Ia sering bertanya kepada dirinya sendiri : “Betulkah agama itu berkah bagi manusia?” Perenungannya ini sampai mencapai puncak keraguannya : “Ya Tuhan, kadang-kadang saya berharap, alangkah baiknya jika tidak pernah ada agama. Sebab agama yang seharusnya mempersatukan semua manusia, sejak berabad-abad menjadi pangkal perselisihan dan perpecahan, pangkal pertumpahan darah yang sangat mengerikan. Orang-orang seibu-sebapa ancam mengancam berhadap-hadapan karena berlainan cara mengabdi kepada Tuhan yang Esa, dan Tuhan yang sama. Agama yang seharusnya menjauhkan kita dari perbuatan dosa, justru berapa banyaknya dosa yang diperbuat atas nama agama itu ” (kepada Estella, 6 Nov.1899). Dalam surat yang lain ia menulis :”Yang membuat kami mempunyai rasa tak senang kepada agama adalah karena para pemeluk agama itu saling menghina, membenci dan bahkan terkadang satu mengejar-ngejar yang lain. Selamanya kami maklum dan mengerti bahwa inti agama adalah kebaikan, bahwa semua agama itu baik dan bagus. Tetapi, aduhai! Manusia, apa yang kau perbuat dengan agama itu” (kepada Ny.Van Kol, 21 Juli 1902). Jelaslah bagi Kartini, bukan agama yang salah tetapi para pemeluknya. Manusialah yang menyelewengkan kebaikan agama, bahkan para pemeluk agama yang baik, yang sering kurang toleran kepada pemeluk agama yang lain. “ … bahwa manusialah yang berbuat jahat, yang dengan sombong menggunakan nama Tuhan untuk menutupi perbuatan-perbuatan jahat . . . bahwa pada mulanya semuanya bagus, tetapi manusia membuat yang bagus itu menjadi buruk. Aduhai! Betapa tidak ada toleran dari pihak kebanyakan orang yang memegang teguh agama! (kepada Ny.Van Kol, 20 Agustus 1902)
Pergulatan batinnya dalam bingkai latar belakang kehidupan pribadinya ini menunjukkan bahwa pemikirannya tentang agama dan Tuhan adalah refleksi pribadinya sendiri terlepas dari dogma-dogma agama tertentu. Pikiran keagamaan Kartini tidak dogmatis. Namun demikian, ada sumber yang menuliskan bahwa Kartini terpengaruh dengan seorang penyair yang amat religius namun tidak dogmatis yaitu De Genestet. Juga pengaruh teman korespondensinya yaitu Dr.N.Adriani seorang misionaris di Poso yang tidak terlalu kaku dengan soal-soal dogmatik. Ia lanjut menuliskan : “ … bukan agama yang tiada kasih sayang, melainkan manusia jugalah yang membuat buruk segala sesuatu yang semula bagus dan suci itu. Sepanjang hemat kami, agama yang paling indah dan paling suci adalah kasih sayang. Dan untuk dapat hidup menurut perintah luhur ini, haruskah seseorang mutlak menjadi Kristen ? Orang Budhha, Brahma, Yahudi ,Islam bahkan orang penyembah berhalapun dapat hidup dengan kasih sayang yang murni” (kepada Ny.Abendanon-Mandri, 12 Desember 1902). Surat ini kemungkinan menolak pandangan Ny.Abendanon yang berpandangan bahwa agama Kristenlah yang bisa membawa manusia kepada kebenaran sejati itu. Kartini menolak pendapat tersebut. Ia konsekuen dengan pandangannya bahwa agama adalah berkah Tuhan untuk semua orang, tanpa melihat ras, bangsa, warna kulit, dan latar belakang kebudayaan mereka. Baginya prilaku menyimpang dari orang beragama adalah persoalan budi pekerti. Dengan atau tanpa motif agama, perbuatan jahat tetap perbuatan jahat, dosa tetap dosa sekalipun dibungkus dengan pembenaran agama. Sebaliknya, perbuatan baik tetap merupakan perbuatan baik, tidak tergantung apakah perbuatan itu dilakukan dengan motif agama tertentu atau tidak. Ia ingin melihat tingkah laku manusia berdasarkan tingkah laku itu sendiri. “Kami tidak peduli agama mana yang dipeluk orang atau bangsa mana dia. Jiwa besar tetaplah jiwa besar, karakter mulia tetaplah karakter mulia. Anak-anak Allah ada pada tiap agama, ada di tengah-tengah tiap bangsa” (kepada Dr.N.Adriani, 5 Juli 1903). Dalam surat yang lain ia menulis :”Dari dahulu sampai sekarang kami masih akan bertanya, bukan tentang apa kepercayaan tuan, melainkan bagaimana tingkah laku tuan. Kebaikan, yang selalu kami usahakan dan junjung tinggi, perintah-Nya adalah Tuhan kami sejak dulu. Sekarang kami sudah tahu bahwa Kebaikan dan Tuhan adalah satu!” Jelaslah, Kartini punya pandangan sendiri tentang agama. Baginya tidak ada satu agamapun berada di atas atau di bawah agama yang lain. Satu agama tidak lebih bagus dibanding dengan agama yang lain. Semua agama adalah jalan yang diberikan Tuhan agar manusia mengabdi kepada-Nya, mengabdi pada kebaikan. “Betapapun jalan-jalan yang kita lalui berbeda, tapi kesemuanya itu menuju kepada satu tujuan yang sama, yaitu Kebaikan. Kita juga mengabdi pada Kebaikan, yang tuan sebut Tuhan dan kami sendiri menyebutnya Allah” (kepada Dr.N.Adriani, 24 September 1902).

Wah…wah… sungguh luar biasa isi surat-suratnya. Dari sini kita dapat menangkap sosok Kartini sebagai seorang pribadi yang luar biasa. Sekali lagi, ia hanya tamatan sekolah dasar dan dalam usia 20-25 tahun ia menulis pergumulan, pergulatan batinnya yang melahirkan gagasan-gagasan yang brilian. Sayang sekali, ia hanya berumur pendek.
Sebagai seorang muslimat yang taat, ia tetap kritis dengan keberagamaan zamannya. Dari latar kehidupannya, ia menampilkan sosok perempuan yang kritis dan cerdas. Saya kira pandangannya tentang agama itu dapat menjadi bahan refleksi untuk keberagamaan masa kini yang dari segi perkembangan zaman harusnya lebih beradab. Tetapi, apa yang kita lihat, kita rasakan dan kita buat sendiri dengan keberagamaan kita. Terlalu sering kita baca, dengar dan saksikan bahkan lakoni sendiri kekerasan atas nama agama. Sebut saja a.l. kerusuhan di beberapa tempat yang berlatarbelakang fanatisme agama dan kecemburuan sosial berbasis agama, pengrusakan/penutupan tempat-tempat ibadah dan yang sekarang lagi heboh yaitu pelarangan kegiatan Jamaah Ahmadiyah Indonesia. Di kalangan agama Kristen khususnya terjadi saling tarik anggota gereja dengan alasan ajaran denominasi tertentu lebih benar dari yang lain seperti ajaran/dogma tentang baptisan selam lebih benar dari pada baptisan percik, suasana dan gaya beribadah tertentu lebih benar/ ada Roh Kudus daripada yang lain.
Ternyata, pemikiran Kartini tentang agama adalah pluralistik. Ia melihat semua agama punya kebaikan (penulis : kebenaran) yang secara universal dapat dipraktekkan oleh semua orang dari semua latar belakang yang berbeda. Bahkan ia menyebut penyembah berhalapun punya hati nurani yaitu kehendak berbuat baik. Bagi Kartini, agama adalah prilaku. Pada tahap pemikiran seperti ini saya teringat suami-isteri muda yang ateis artinya yang tidak menganut salah satu agama besar di dunia ini yang bagi saya hidup mereka sangat manusiawi. Waktu saya tinggal bersama keluarga ini dalam kurun waktu hampir 3 bulan (tahun 2000), mereka memfasilitasi saya untuk dapat pergi beribadah pada setiap hari Minggu. Mereka sempat bertanya : “kami dengar Indonesia adalah negara yang beragama, tetapi mengapa kerusuhan serta pembunuhan terjadi atas nama agama?” Waktu itu di media massa dan elektronik ditayangkan kerusuhan yang terjadi di beberapa tempat di tanah air. Mereka ‘ateis’ tetapi mereka menghargai orang yang beragama. Sayapun teringat akan kuliah umum di Fakultas Teologi UKIT pada tanggal 12 April 2008 tentang Masa Depan Agama dari seorang teolog Katolik yang berasal dari Swiss, Dr. Franz Daehler yang berkata bahwa “fanatisme merusak nama baik agama , ia lebih jahat daripada sekularisme”. Kalau sekularisme acuh tak acuh pada agama dan tidak mau tahu dengan agama, maka fanatisme mengkerdilkan dan merusak agama. Saya juga teringat salah satu diskusi internasional yang membahas tentang Sistem yang Buruk Merusak Kebaikan Orang. Sistem yang buruk ini dikenal dengan istilah Kekerasan Struktural.
Kartini ternyata adalah tokoh agama yang pluralistik. Meskipun untuk itu ada yang berpandangan bahwa ia jatuh pada sinkretisme. Ada pula yang membelanya dengan mengatakan jika gagasannya adalah sinkretisme maka sinkretisme yang ia anut adalah sinkretisme yang berorientasi pada tindakan yaitu tingkah laku manusia yang merupakan ‘buah’ dari ajaran-ajaran yang dianutnya. Tentu setiap orang bebas untuk menilai isi surat-suratnya sekaligus menilai siapa sosok Kartini pada zamannya. Bagi saya ia telah menunjukkan bahwa sebagai seorang anak bangsawan yang seharusnya mengawal adat keluarganya dan sebagai seorang muslimat, keluarga kiai, tokh ia berani menulis (yang mungkin saja ia tidak sadar bahwa di kemudian hari tulisannya akan didokumentasikan dan dipublikasikan) untuk menantang cara pandang tentang agama dari orang beragama yang cenderung dogmatis kaku, baik orang Indonesia maupun orang Belanda, baik orang beragama Islam maupun Kristen, Hindu dan Buddha. Ia adalah orang yang terlalu berpikiran maju pada jamannya, bahkan di jaman sekarang inipun tidak banyak orang seperti dia yang berani ‘melawan’arus tradisi keagamaan yang kaku. Masih terlalu sering orang yang berpendidikan sekalipun, tidak berani atau takut menyampaikan pandangannya tentang praktek atau etika keagamaan orang-orang beragama. Terlalu sering orang menyamakan antara taat pada kehendak yang Ilahi dan taat kepada para pemimpin agama yang bukan tidak mungkin mempolitisasi agama untuk jabatan keagamaan dan kemasyarakatan bahkan bukan tidak mungkin yang mempraktekkan dosa KKN. Apalagi pada saat-saat menjelang pemilihan. Kalau sudah begini, apa yang dapat kita katakan tentang keberagamaan kita ? Apa yang kita buat dengan keberagamaan kita? Apakah dengan tindakan melarang, menutup dan merusak tempat-tempat ibadah, kita membela kebenaran/keabsahan agama kita atau kita sedang merusak citra Allah yang adalah Kasih dan dengan demikian melanggar hak azasi manusia ? Apakah seseorang yang menjadi kritis terhadap keputusan pemimpin agamanya harus menerima julukan “pembangkang”, “penyesat’ dan terancam dipecat dari organisasi keagamaannya ? Kartini menulis : betulkah agama membawa berkah? Saya ingat pula kuliah umum di Fakultas Teologi UKIT pada 2 Mei 2007 dari Prof. Dr.Olaf Schumann (Jerman) yang mengatakan bahwa agama dapat dimanipulasi untuk kebenaran diri sendiri, agama seperti ini adalah agama manusia bukan agama dari Allah.
Di hari Kartini ini (21 April 2009), kita berhutang kepada dia yang telah bersejarah bagi bangsa kita, bukan hanya bagi kaum perempuan. Dari seorang perempuan untuk semua orang. Sejarah sebagai teks berbicara banyak tentang siapa kita pada masa lampau sampai masa kini dan masa yang akan datang. Kartini telah membuat sejarah. Itulah “herstory” yang kemudian menjadi “ourstory”. Tugas kitalah untuk menyelami jagad makna yang ditinggalkannya. Selamat Hari Kartini, 21 April !



Tomohon, 20 April 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar