Selasa, 17 Maret 2009

Budaya 'Rasa Bagitu" dan Minggu Sengsara

Budaya “Rasa Bagitu” dan Minggu Sengsara


Sejak mulai dilaksanakannya pemilihan langsung pemimpin masyarakat oleh masyarakat secara langsung, kita banyak mengalami dan mendengar bahwa ada (berapa persen?) yang memilih seseorang karena ‘rasa bagitu’. Rasa bagitu karena sudah mendapat sembako dari para calon baik yang diantar langsung atau melalui tim suksesnya. Rasa bagitu karena sudah makan dan minum pemberiannya. Rasa bagitu karena pemberiannya sudah menjadi darah dan daging. Belum lagi, rasa bagitu karena keterkaitan keluarga, karena sekampung, karena seagama. Dari ungkapan ini kita dapat menangkap paling kurang dua realitas tentang kehidupan bermasyarakat kita di tanah Minahasa. Pertama, sebagian besar masyarakat kita menaruh hormat atas pemberian seseorang. Sulit baginya untuk menolak pemberian orang. Masyarakat kitapun masih sangat kuat terikat dengan rukun keluarga. Banyak sekali rukun keluarga. Akhir-akhir ini makin banyak upaya untuk menghimpun anggota keluarga, menyusun silsilah. Ada pula rukun-rukun baru didirikan. Kedua, masih ada (banyak?) masyarakat yang ‘susah’ cari dan dapat makan dan minum. Juga ada yang ‘malas’ cari makanan. Kita ingat kasus penyimpangan dana BLT bagi orang yang tak berhak. Padahal BLT hanya bagi mereka yang betul-betul susah atau miskin. Tentang hal ini, ada keluarga yang sengaja mencatatkan diri sebagai keluarga miskin, dan ada pula yang didaftarkan oleh pimpinan desa/kampung agar bisa berbagi ‘rejeki’. Bagi saya, dua hal ini menunjukkan bahwa tingkat pendidikan di tanah Minahasa yang secara nasional di atas rata-rata tidak berbanding lurus dengan ‘mental, spiritual dan budaya egalitarian’ bahkan dengan keberagamaan kita. Bahkan sungguh memiriskan hati ada banyak orang pandai dan punya status sosial dalam masyarakat termasuk agama/gereja yang demikian. Mungkin kita dapat mengatakan bahwa masih ada masyarakat kita yang pandai/berpendidikan tinggi tetapi kurang beretika/beradab dalam arti belum dewasa secara mental dan spiritual. Kenyataan ini a.l. digunakan dengan baik sekali oleh para calon yang ingin mencapai obsesinya menjadi pemimpin. Bagi orang yang tidak termakan sembako, money politics dan serangan fajar, bisa jadi ‘lawan’nya, apalagi kalau mengkritisinya. Alasan memilih seperti ini mengakibatkan hanya orang yang punya duit yang dapat menjadi pemimpin. Kita sering mendengar ungkapan bahwa untuk menjadi pemimpin selain mampu dari segi intelektual, juga mampu memberi dan membagi uang. Sangat jarang kita mendengar orang berkata untuk menjadi pemimpin haruslah seorang dikenal baik, jujur, adil, mengerti persoalan masyarakat dan berjuang bersama masyarakat. Tipe pemimpin seperti ini kan tidak perlu uang banyak atau tak perlu orang kaya. Ia kan pasti akan mendapat gaji/tunjangan/honorarium yah … dapat penghargaan dari hasil kerjanya. Kan uang untuk program dapat dianggarkan dan dicari bersama, apalagi kalau memang sudah dianggarkan oleh negara. Belum lagi, di jaman ini banyak orang yang menyandang gelar akademik tinggi bahkan tertinggi tetapi moral spiritualnya tak sebanding dengan gelar yang disandangnya. Bahkan sering kita dengar ungkapan a.l. : “memang dia pande, maar pande beking susah orang, pande beking bodok orang, lihai berorganisasi.” Banyak orang mendadak jadi kaya dengan cara yang tidak wajar Mungkin keadaan ini yang mengundang KPK terus bolak-balik Jakarta-Manado-Jakarta. Bila kita memilih orang-orang seperti ini, maka akan ada saatnya ia akan mengambil kembali apa yang pernah ia beri pada waktu kampanye. Sekarang ia tebar senyum dan dengan pendekatan dan penampilan yang ‘low profile’ disertai rayuan program seolah-olah untuk rakyat. Kata orang : “kan nanti ada sekian persen untuk kantongnya. Makin banyak program (biarpun bukan kebutuhan rakyat), makin besar pula masukan ke kantong pribadi.”

Wah … apakah kita tega membiarkan kesempatan serta praktek rasa bagitu ini menjadi budaya kita orang Minahasa? Apakah kita merasa nyaman mendengar dan menyaksikan KPK bolak balik datang ke daerah kita? Apakah kita merasa nyaman dengan alasan bahwa hanya ada kesalahan administrasi saja (bukankah orang Minahasa berpendidikan)? Apakah kita dapat berbangga dengan kekristenan yang mayoritas di tanah ini ? Apakah kita berbangga dengan banyaknya dan megahnya gedung gereja, kantor gereja serta pastori? Lalu, apa artinya stiker yang bertuliskan “Aku bangga GMIM” ?




Dalam kalender gereja sedunia, kita umat kristen sedang berada di minggu-minggu sengara Tuhan Yesus. Kita sedang menghayati penderitaan sampai peristiwa salib-Nya. Kita ingat dua cerita pengkhianatan terhadap Tuhan Yesus. Pertama oleh Yudas yang meminta imbalan untuk dapat menyerahkan Yesus kepada para imam kepala. Yudas seorang murid meminta bayaran untuk keperluan para imam. Dengan 30 keping perak (kira-kira 1200 rupiah masa itu) Yudas berhasil. Demikian juga para imam (pengantara umat dengan Allah, pemimpin ibadah) yang memakai kuasa jabatan dan kuasa uang menghalalkan segala cara seperti menyogok orang (Yudas) untuk mendapatkan Yesus. Di sini baik pengikut Yesus maupun pimpinan agama sama-sama terlibat dalam persekongkolan menangkap Yesus. Uang bukan hanya sebagai alat tukar kebutuhan manusia. Uang menjadi alat tukar untuk menjual manusia. Kedua, dengan ciuman Yudas berhasil mengantar orang untuk menangkap Yesus. Ciuman sebagai tanda kasih sayang atau cinta atau penghormatan/tanda persaudaraan, dipakai lihai oleh Yudas untuk dapat menangkap-Nya. Jadi, hati-hati dengan ciuman. Tidak semua orang yang berlaku baik itu bermaksud baik. Tidak semua orang yang bermuka manis, murah senyum dan selalu bersahabat itu bermaksud baik. Bahkan, tidak semua pengikut Yesus adalah pengikut Yesus yang sejati. Tidak semua pemimpin (masyarakat dan atau agama/gereja) adalah orang baik dan menjadi berkat bagi orang lain.

Inilah tantangan kita yang sedang dalam persiapan pesta demokrasi di minggu-minggu sengsara ini, bahkan hari pemilihan jatuh sehari sebelum hari Jumat Agung. Apakah kita benar-benar mengikuti-Nya di jalan sengsara karena kebenaran, keadilan, kejujuran atau kita menyengsarakan diri sendiri dengan menyerahkan diri disengsarakan oleh oleh kuasa jabatan dan uang? Mari kita merenung dalam-dalam. Mari kita berbenah diri. Mari kita bertobat.

Minggu Sengsara 2, 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar