Kamis, 19 Februari 2009

Agama-agama dan Kekerasan dan Relevansinya bagi GMIM

1. Pada hari Rabu, 2 Mei 2007 bertempat di aula UKIT diselenggarakan kuliah umum dari Prof.Dr.Olaf Schumann, seorang Islamolog yang berasal dari Jerman yang setiap tahunnya datang ke Indonesia dan selalu mengambil waktu untuk memberi kuliah di Program Pascasarjana Teologi UKIT dan Fakultas Teologi UKIT. Topik kuliah umum kali ini berjudul Agama-Agama dan Kekerasan. Ia mengatakan bahwa Agama dapat dimanipulasi untuk kebenaran diri sendiri. Agama dipakai untuk sesuatu yang dianggap benar untuk kepentingan sendiri. Ada tiga sikap dalam menghadapi kekerasan yaitu 1. Kekerasan atau kebencian,2. Kelembutan yang mengarah pada diam, 3. Menuntut kebenaran dengan ketegasan. Sikap yang ketiga ini mengedepankan kebenaran dan kehormatan yang tidak boleh dilanggar oleh alasan apapun juga.

Profesor Schumann juga menguraikan tenang kekerasan dalam agama Kristen dan dalam agama Islam. Kekerasan dalam agama Kristen ditunjuknya dalam naskah Alkitab mulai di halaman muka, yaitu tentang Adam dan Hawa dan saling menuduh. Adam menuduh Hawa, Hawa menuduh Ular. Tuduh menuduh seperti ini mengarah pada pemahaman bahwa Allah mengendaki kesalahan mereka ini adalah kehendak Allah. Manusia lepas tanggungjawab. Kalau Adam dan Hawa saling menuduh, maka Kain membunuh Habil. Untunglah Tuhan memutuskan mata rantai pembunuhan berikutnya dengan melindungi Kain agar ia tidak dibunuh oleh siapapun yang bertemu dengan dia.

Kekerasan dalam agama Kristen juga terjadi dalam peristiwa Salib Yesus. Bagi Profesor ini, Salib yang di kemudian hari dipandang sebagai simbol orang Kristen sebetulnya adalah simbol kekerasan. Salib ini jugalah yang telah melahirkan apa yang dikenal dalam sejarah agama Kristen yaitu Perang Salib. Simbol orang Kristen mula-mula adalah Ikan yang dikenal dengan Ichtus. Ichtus berarti Yesus Kristus Anak Allah Penyelamat. Baginya, bukan salib yang penting tetapi orang yang disalib itu yang penting, yaitu Yesus. Kesimpulannya, salib bukanlah simbol agama Kristen yang murni.

Kekerasan dalam agama Islam kentara dalam simbol Bulan Sabit. Bulan sabit pada awalnya berhubungan dengan penanggalan Islam, di mana penanggalannya mengikuti bulan bukan matahari. Simbol ini kemudian dipakai dalam Jihad. Sasaran dari jihad ialah menghacurkan lawan yaitu orang kafir.

Kesimpulan dari kuliah umum ini ialah Tuhan mengasihi seluruh ciptaan-Nya. Menghadapi kekerasan lawanlah dengan ketegasan bukan dengan kekerasan dan bukan pula dengan kelembutan. Ia menegaskan agar kita tidak boleh ikut dalam gerakan-gerakan pengkafiran. Jangan ada yang menganggap yang lain kafir dan karenanya harus dibunuh. Kain yang jahat itu adalah kepunyaan Allah. Biarlah Allah yang memberinya hukuman, bukan manusia. Agama yang mempraktekkan kekerasan bukanlah agama Allah tetapi agama manusia. Ukuran yang dipakai untuk menilai agama sebagai agama Allah ialah apakah agama menghargai dan melindungi hak setiap orang bahkan segenap ciptaan ?

2. Bertolak dari materi kuliah umum di atas, saya teringat dengan gereja kita GMIM. GMIM sedang dalam proses revisi (melihat kembali) Tata Gerejanya yang ditetapkan pada tahun 1999 di Sonder yang sebetulnya sesuai dengan amanat Sidang Sinode tahun 2000 mestinya sudah dilakukan revisi atas beberapa hal yang prinsip a.l. yang berhubungan dengan Pemilihan Pelayan Khusus yang menyangkut batasan umur dan periode pelayanan. Sayang sekali, dalam beberapa kali Rapat Badan Pekerja Sinode Lengkap, suara lantang dari satu dua peserta dan saya masih ingat ‘perdebatan’ dalam rapat-rapat BPS tentang ini untuk merealisasikan amanat ini tidak dipandang oleh mayoritas. Sebagai akibatnya ialah pemilihan Pelayan Khusus untuk periode 2005-2010 menuai banyak masalah bahkan ‘kekerasan struktural’ dilegitimasi dengan legalitas yang sedang dipersoalkan. Keteraturan dan kelancaran pelayanan di beberapa jemaat dan wilayah menuai korban, sebab ada yang terterima biar tidak ikut aturan, ada yang tidak tertima. Sebagai contoh, ada yang sudah dua periode terpilih sebagai salah satu anggota Badan Pekerja masih terterima, ada yang tak terterima. Ini hanyalah salah satu masalah dari sekian banyak masalah di sekitar pemilihan tersebut. Adakah kebenaran dan kepentingan di sini ? Apa yang dapat kita katakan dengan pelayanan GMIM dalam dua tahun periode 2005-2010 ini ? Apakah GMIM yang rajin ikut bahkan selalu yang terbanyak peserta/peninjau/tamu dalam kegiatan ekumenis dapat melaksanakan program ekumenis sejagat yaitu Decade to Overcome Violence (Dekade Mengatasi Kekerasan) ? Mana suara kita ? Kalau suara sudah diperdengarkan, mana tindak kita ?

3. Revisi Tata Gereja tidak boleh ditunda-tunda lagi, sebab sudah memakan korban yang sebagian korbannya sampai sekarang belum tersentuh oleh program penggembalaan di jemaat sampai sinode. Di jemaat, ada korban yang bermasa bodoh, padahal dulu ia sangat aktif. Di sinode, sebut saja Komisi Pemuda dan Komisi Wanita/Kaum Ibu. Kalaupun sudah ada yang disentuh, apa maksud dan tujuannya ? Benarkah penggembalaan atau penguasaan? Benarkah dialog atau monolog/dengar apa kebijakan atasan ? Kembali ke program revisi Tata Gereja. Pada tanggal 22-23 Juni 2005 diadakan Konsultasi Teologi tentang Gereja dan Tata Gereja. Di sana telah banyak dibahas tentang dasar-dasar teologis Alkitabiah dan sejarah Tata Gereja GMIM sejak tahun 1934. Bahan-bahan ini ditambah dengan bahan-bahan lain, sepatutnya menjadi landasan bersama untuk mempercakapkan konsep tata gereja yang sudah ditibakan ke jemaat-jemaat. Tanpa landasan bersama ini, maka sia-sialah konsultasi Juni 2005 lalu. Yang lebih parah lagi, cita-cita untuk menghasilkan suatu tata gereja yang meminimaliser permasalahan yang bakal terulang kembali dapat diwujudkan. Dijauhkan dari terulangnya kesalahan di waktu silam atau janganlah menciptakan permasalahan baru.

4. Penyusunan Tata Gereja haruslah dimulai dengan pemahaman teologis Alkitabiah tentang apa itu Gereja. Tema-tema pokok yang dapat menjadi landasan penyusunan Tata Gereja ialah :
1. Gereja adalah milik Allah.
2. Gereja untuk dunia tapi bukan dari dunia.
3. Gereja sebagai persekutuan yang egaliter.
4. Gereja yang mentransformasi tradisi dan yang ekumenis.
5. Gereja yang membebaskan dan mempersatukan.

5. Salah satu segi yang menyatakan bahwa GMIM turut bersama dalam arak-arak gereja sejagad untuk memerangi kekerasan adalah apakah Tata Gereja bebas dari virus kekerasan struktural, apakah hakikat Allah yang tidak menghendaki kekacauan melainkan kedamaian terjamin di dalamnya.
Selamat merevisi Tata Gereja GMIM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar