Rabu, 18 Februari 2009

Pendekatan Agama(Kristen) dalam Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga

Pendahuluan
Dalam lingkungan gereja-gereja sedunia melalui wadah Dewan Gereja-Gereja Sedunia (DGD), masalah kekerasan menjadi salah satu agenda penting dalam pembahasan melalui ceramah, sharing dan Penelahaan Alkitab serta lokakarya. Kepentingan dan kemendesakan masalah ini untuk segera diambil tindakan konkrit dalam pelayanan gereja-gereja mengantar DGD menetapkan tahun 2001-2010 sebagai Decade to Overcome Violence (Dekade Mengatasi Kekerasan) : Gereja-Gereja Mencari Damai dan Rekonsiliasi. Dasawarsa ini diluncurkan juga berkaitan dengan “Dasawarsa Intenasional bagi Budaya Damai dan Tanpa Kekerasan terhadap Anak-anak Sedunia” yang dicanangkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tahun 2001-2010. Pencanangan oleh DGD ini dilatarbelakangi oleh beberapa kenyataan a.l. pertama, sikap mendahulukan cara kekerasan dalam berbagai konflik dalam keluarga, antar individu dan antar masyarakat yang mengakibatkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga/keluarga dan bentuk kekerasan lainnya yang berakibat buruk khusus bagi kaum perempuan, pemuda dan anak. Kedua, pengangkatan tradisi keagamaan, termasuk agama Kristen untuk membenarkan dan mendukung kekerasan dan penindasan.

Paparan di atas menyatakan bahwa agama Kristen peduli dengan kekerasan dalam bentuk apapun juga dan untuk siapapun juga dan dalam lingkungan apapun juga, termasuk kekerasan dalam rumah tangga untuk dihapuskan. Berikut ini diuraikan tentang dasar-dasar teologis kristen tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT).

Hak dan Kewajiban Isteri-Suami
Pada setiap kali pelaksanaan ibadah peneguhan pemberkatan nikah, maka disampaikanlah pengajaran yang antara lain berbunyi : “Maksud dan tujuan nikah adalah: Pertama, meciptakan dan memelihara persekutuan hidup antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang meliputi segala bidang dan berlaku untuk seumur hidup. Maksud dan tujuan ini hanya dapat dicapai bila kehidupan bersama sebagai suami isteri didasarkan atas kasih dan kesetiaan yang tersedia dan dicontohkan dalam hubungan antara Yesus Kristus sebagai Kepala Gereja dan Jemaat-Nya sebagai tubuh-Nya. Kedua, pembentukan keluarga. Jika suami-isteri mendapatkan anak dengan pertolongan Tuhan Allah Pencipta, maka persekutuan diperluas dan dipererat. Tetapi kalau kehidupan bersama tidak dikaruniai kelahiran anak-anak, maka persekutuan hidup anatar suami-isteri tetap terpelihara sebagaimana maksud dan tujuan nikah yang pertama tadi. Tugas dan tanggungjawab suami-isteri dalah pertama-tama saling mengasihi, saling melayani, saling mendorong dan saling membangun, …” Sesudah pengajaran di atas, kemudian disampaikan lima pertanyaan kepada masing-masing yang sama bunyinya, yaitu : Apakah saudara mengaku di hadapan Allah dan jemaat sebagai saksi,
bahwa saudara menerima saudara … sebagai isteri/suami saudara ?
bahwa saudara akan mengasihi dan melayani isteri/suami saudara baik pada waktu suka maupun duka ?
bahwa saudara sebagai seorang suami/isteri yang beriman dan setia akan memelihara isteri/suami saudara ?
bahwa saudara akan menuntut kehidupan yang kudus bersama dengan isteri/suami saudara sesuai dengan Injil Yesus Kristus ?
bahwa saudara tidak akan meninggalkan isteri/suami saudara dan hanya akan tercerai dengan dia karena maut ?
Atas pertanyaan-pertanyaan ini, masing-masing menjawab : “ya, saya mengaku dengan segenap hatiku. Amin”

Pengajaran dan pertanyaan di atas menunjukkan hal yang substansial bahwa isteri-suami sama penting dalam kehidupan bernikah. Keduanya mempunyai hak dan kewajiban yang sama. Keduanya memautkan dan mengikatkan diri atau berkomitmen pada satu hal yang sangat fundamental dalam pengambilan keputusan untuk hidup bersama ialah Kasih dan Kesetiaaan. Kesetiaan dan kelanggengan hidup bernikah yang bahagia dan sejahtera sangat ditentukan oleh praktek kasih dan kesetiaan ini. Dalam rumah tangga, tidak ada monopoli peran, fungsi dan kuasa entah suami entah isteri. Tidak ada yang memiliki dan dimiliki laksana dagangan barang antik. Sama-sama memiliki dan dimiliki, sama-sama menghormati dan dihormati. Kasih dan kesetiaan akan menjadi batu uji dalam menghadapi segala perbedaan a.l. latar budaya, sifat/temperamen dan sikap/prilaku.

Sayang sekali, pengajaran (tertulis/dibakukan) dan pertanyaan-pertanyaan serta jawaban di atas, tidak selalu konsisten dengan khotbah/”firman” yang disampaikan oleh hamba Tuhan yang masih memahami Alkitab dengan kacamata diskriminatif terhadap perempuan. Bahkan ‘anehnya’ hal ini dilakukan juga oleh hamba Tuhan perempuan. Sebagai contoh bahan khotbah yang didasarkan pada Kejadian 2:18 dan Efesus 5:22. Bagian Alkitab ini terfavorit dalam khotbah pernikahan. Mengapa hal ini terjadi ? Pokok berikut ini kiranya dapat menjawab.

Menafsir Kitab Suci
Kitab Suci (Alkitab) berisi Firman Tuhan yaitu tentang kehidupan dan keselamatan manusia dan dunia ini. Alkitab berfungsi sebagai sumber ajaran, sumber moral dan sumber inspirasi (Hommes, 1992:65). Untuk sampai pada isi Firman Tuhan itu bagi manusia di masa kini, maka perlu langkah-langkah menafsir. Mengapa Alkitab perlu ditafsir ? Karena Alkitab ditulis pada zaman tertentu dan dalam konteks tertentu dan dengan ‘world view’ tertentu. Konteks tertentu itu a.l. masyarakat ‘patriarkhis’ dan ‘androsentris’. Dalam lingkungan akademis, Alkitab menjadi teks. Namun, harus tetap diingat bahwa dalam teks itu terdapat konteks (band. Singgih, 1982:36-58, Barth-Frommel, 2003: 24-27). Konteks yang memandang laki-laki sebagai asal mula yang menentukan dan laki-laki sebagai pusat segala paradigma bermasyarakat telah mengantar para perusmus ajaran/dogma gereja yang ‘belum terbebas dan membebaskan diri’ dari budaya yang berat sebelah itu untuk menafsir dengan kacamata yang diskriminatif terhadap perempuan (Tiwa-Rotinsulu dan Kapahang-Kaunang, 2005: 26). Yang hendak dicari dalam kerja tafsir (hermeneutik) atas teks Alkitab ini ialah berita sukacita (injil) bagi manusia (dan dunia) sekarang.

Dalam rangka menyusun khotbah (yang sering disebut juga “Firman Tuhan”) pernikahan dari naskah-naskah kitab yang dipilih sebagai dasar adalah apakah berita gembira bagi kedua mempelai ? Berita gembira berarti berita yang tidak diskriminatif, berita yang menghidupkan keduanya. Sebab manusia (perempuan dan laki-laki) sama-sama adalah ciptaan Allah yang termulia di antara segala ciptaan lainnya (Mazmur 8) Keduanya adalah Imago Dei/Gambar Allah (Kejadian 1: 26-27).

Berikut ini adalah contoh terjadinya misinterpretasi atas Kejadian 2:18 “Tuhan Allah berfirman: “Tidak baik kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia”. Terlalu sering kita mendengar khotbah sebagai hasil kerja tafsir yang kira-kira berbunyi : perempuan diciptakan sebagai penolong yang lebih rendah daripada laki-laki. Karena itu peremuan (isteri) harus mengikuti apa yang dikatakan oleh laki-laki (suami). Padahal, dalam ayat 18 ini masih ada kata-kata selanjutnya yaitu : … ‘yang sepadan dengan dia’. Ini berarti penolong yang dimaksudkan di sini adalah teman sederajat, teman setara. Dalam bahasa asli Perjanjian Lama yaitu bahasa Ibrani dipakai kata ‘ezer. Kata ini dapat berarti dua yaitu pertama hanya orang yang tinggi dapat menolong orang yang rendah. Dialah Allah Penolong kita. Kedua, hanya orang yang setingkat dapat menolong. Dialah Hawa terhadap Adam (Hommes, 1992:29, Barth-Frommel, 2003: 45). Kata ‘ezer di sini berarti persamaan: seorang penolong adalah sahabat atau mitra sejajar (Hommes, 1992:179-180).

Contoh lain yaitu Efesus 5:22 “hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan”. Sangat sering kita mendengar khotbah dan juga nasihat-nasihat/sambutan/pidato pernikahan yang kurang lebih berbunyi : … jadi isteri harus senantiasa mengikuti kemauan/permintaan suami … Padahal ketundukan isteri terhadap suami mengacu pada ketundukan seseorang kepada Tuhan yang mengasihi umat-Nya (ayat 25). Bahkan bila membaca keseluruhan bagian ini mulai ayat 20 – 33, maka hubungan suami-isteri ini adalah gambaran dari hubungan Kristus dan Jemaat. Sedangkan ayat 20 – 21 berisi tentang nasihat bagi jemaat (perempuan dan laki-laki) agar “rendahkanlah dirimu seorang kepada yang lain di dalam takut akan Kristus”. Baru pada ayat 33 yang betul-betul menunjuk pada hubungan suami-isteri “Bagaimanapun juga, bagi kamu masing-masing berlaku : kasihilah isterimu seperti dirimu sendiri dan isteri hendaklah menghormati suaminya”.

Demikianlah akibatnya, bila mengambil ayat-ayat Alkitab tanpa melihat konteks keseluruhan naskahnya. Demikianlah dua contoh bagian Alkitab yang tidak ditafsir secara holistik. Hal ini sering menjadi alasan untuk membenarkan perlakuan diskriminatif yang membuahkan kekerasan terhadap perempuan atau mempersalahkan perempuan bila terjadi kekerasan kepadanya. Dengan kata lain bagian-bagian Alkitab ini turut membenarkan kekerasan dalam rumah tangga (suami terhadap isteri). Budaya kontemporer yang masih patriarkhis dan androsentris masih kental mempengaruhi world view para hamba Tuhan dalam menyampaikan khotbah pernikahan dan pengajaran-pengajaran agama.

Dasar-Dasar Teologis
Pengajaran agama tentang hakikat manusia dan hakikat pernikahan yang sesungguhnya harus didasarkan pada pemahaman teologis yang holistik. Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia dalam Dokumen Keesaan Gereja merumuskan pemahaman imannya tentang manusia a.l. yaitu “Manusia diciptakan Allah menurut gambar/citra-Nya (Kej. 1: 26-27). Manusia diciptakan sebagai laki-laki dan perempuan dengan martabat yang sama (Kej.1:27), … Allah memperlengkapi manusia dengan akal budi dan hikmat serta memahkotainya dengan kemuliaan, hormat dan kuasa (Mzm.8: 6-7). … Manusia diciptakan dalam kekebasan, dan dalam kebebasannya itu ia bertanggungjawab kepada Allah (Kej. 2:16-17). Ia juga diciptakan sebagai makhluk yang hidup dalam persekutuan dan wajib mengatur kehidupan bersama dalam keluarga dan masyarakat, yang dapat membawa kebaikan bagi semua orang (Kej. 2:18). Dengan demikian manusia mempunyai martabat kemanusiaan, yaitu hak dan kewajiban asasi yang tidak boleh diambil oleh siapapun dan oleh kuasa apapun” (Sairin, 2006:74-75). Rumusan pemahaman iman ini juga berjalan bersama dengan rumusan tentang penciptaan dan pemeliharaan yaitu “Seluruh ciptaan itu ditempatkan Allah dalam keselarasan yang saling menghidupkan, sejalan dengan kasih karunia pemeliharaan-Nya atas ciptaan-Nya (Kej. 1: 20-30; 2:15; 19; Mzm. 104:10-18; Yes. 45:7-8)” (Sairin, 2006:73). PGI pada tanggal 17-21 November 2008 melaksanakan Konferensi Gereja dan Masyarakat yang membahas delapan isu antara lain tentang Gender dalam sorotan tema “Tuhan itu baik kepada semua orang” (Mzm 145:9), dan dalam pesan Natal bersama dengan Konferensi Wali Gereja Indonesia tahun 2008 ini mengambil tema “Hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang” (Roma 12:8).

Agama (Kristen) harus menjadi agama yang membebaskan dan menyembuhkan bagi komunitasnya dan bagi komunitas lain yang lebih luas dalam hal ini bagi perempuan korban kekerasan. Agama juga memberitakan pertobatan dan pengampunan bagi para pelaku kekerasan. Agar agama menjadi rumah tangga kemerdekaan. Untuk itu agama Kristen diajak untuk menjadi dan membangun masyarakat yang damai di tengah kepelbagaian yang berlandaskan kebenaran dan karenanya bersama-sama bertobat atas keterlibatan kita dalam tindak kekerasan.

Agama Membawa Pencerahan untuk Pembaruan
Beberapa kiat yang sementara dan akan dilakukan untuk penghapusan kekerasan dalam rumah tangga a.l:
1. Melalui Pendidikan Teologi (STT, Fakultas Teologi, Sekolah Alkitab) dibelajarkan mata kuliah-mata kuliah seperti Teologi Feminis, Teologi Kontekstual dan Hermeneutik Feminis. Mata kuliah-mata kuliah ini a.l.membelajarkan mahasiswa untuk merubah cara pandang yang bias gender dalam berteologi dalam gereja dan masyarakat.
2. Untuk kepentingan praksis bergereja dalam masyarakat, Biro Perempuan dan Anak PGI mensosialisasikan program Membaca Alkitab dengan Mata Baru yang dimulai dalam lingkungan kaum perempuan gereja-gereja.
3. Katekhisasi dan Pelayanan Pastoral atau Penggembalaan pra nikah kepada para calon suami-isteri.
4. Penerbitan buku-buku renungan dengan bahasa yang komunikatif untuk semua golongan umur dan strata sosial. Juga bahan-bahan bacaan teologis untuk memberi pencerahan kepada jemaat.
5. Khotbah-khotbah di gereja dan dalam ibadah pernikahan khususnya harus lebih banyak ditekankan tentang kesetaraan dan keadilan gender sebagai manusia Gambar Allah di bumi.
6. Agama bekerjasama dengan lembaga pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat dalam mengatasi dan menanggulangi korban KDRT.


Daftar Bacaan
Barth-Frommel, Marie Claire, (2003), Hati Allah Bagaikan Hati Seorang Ibu.
Jakarta: BPK Gunung Mulia.
Hommes, Anne (1992), Perubahan Peran Pria dan Wanita dalam Gereja dan
Masyarakat. Yogyakarta-Jakarta : Kanisius dan BPK Gunung Mulia.
Sairin, Weinata (peny.) (2006), Dokumen Keesaan Gereja Persekutuan Gereja-Gereja di
Indonesia. Jakarta : BPK Gunung Mulia.
Singgih, E.G. (1982), Dari Israel ke Asia. Jakarta : BPK Gunung Mulia.
Tiwa-Rotinsulu, Deetje dan Kapahang-Kaunang, Augustien (peny.) (2005), Perempuan
Minahasa dalam Arus Globalisasi. Jakarta : Meridian.


*Tulisan ini disiapkan untuk Seminar Nasional tentang Kendala dan Prospek Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, Fakultas Sastra UNSRAT Manado, 16 Desember 2008. Namun pelaksanaannya ditunda.

1 komentar:

  1. terima kasih untuk ibu dekan. akhirnya tulisan2 mengenai perempuan dimuat dalam sebuah blog. kiranya ibu dapat lebih banyak lagi berkarya lewat blog ini. GB

    BalasHapus