PERAN PEREMPUAN MINAHASA.
REFLEKSI HISTORIS UNTUK PEMILIHAN BPMS GMIM MENJELANG
SMS KE-77
Oleh
Pdt. Dr. Karolina Augustien Kaunang*
Sejak tahun
1908, sudah ada 6.056 murid perempuan Minahasa/Manado di antara 12.276 murid
perempuan yang terdapat di luar pulau Jawa dan Madura, sementara itu di Jawa
baru terdapat 280 murid perempuan. Dalam
kebanyakan sekolah/perguruan tinggi terdata lebih banyak perempuan daripada
laki-laki, padahal berdasarkan Data Kependudukan Kabupaten/Kota se SULUT yang
dirinci menurut jenis kelamin tahun 2003 menunjukkan penduduk laki-laki lebih
banyak daripada penduduk perempuan. Data-data ini menunjukkan bahwa sejak dulu
anak perempuan MInahasa diberi kesempatan yang sama dengan anak laki-laki
Minahasa untuk bersekolah. Tidaklah heran bila
sejarah mencatat bahwa beberapa perempuan Minahasa menjadi pelopor dan
pemimpin di bidangnya masing-masing. Sebut saja kepeloporan Marie Thomas yang
tercatat sebagai dokter pertama Indonesia yang tamat dari STOVIA, sebuah
sekolah yang mendidik dokter-dokter pribumi di Jakarta. Annie Manoppo adalah
Sarjana Hukum pertama lulusan Jakarta yang kemudian menjadi Dekan perempuan
pertama di Fakultas Hukum Universitas Medan. Nona Politon sebagai pendiri dan
rektor pertama Universitas Pinaesaan di Tondano/Manado. Di bidang politik,
dirintis oleh Netty Waroh, seorang guru pada HIS berhasil menjadi anggota Dewan
Rakyat Manado, Tinneke Waworuntu Kandow sebagai perempuan pertama yang diangkat
menjadi Walikota Manado (1950-1952).
Dalam bidang pelayanan
keagamaan, khususnya gereja Protestan, berikut ini beberapa nama dicatat, baik
yang pernah menjabat maupun yang sedang menjabat, yaitu Pdt. Agustina Lumentut
menjadi Ketua Sinode Gereja Kristen Sulawesi Tengah (GKST), kemudian menjadi
Wakil Sekretaris Umum PGI, Ketua Sinode Am Gereja-Gereja di Sulawesi Utara dan
Tengah. Pdt. Detty Kani menjadi Ketua
Sinode Gereja Kristen Luwuk Banggai (GKLB). Di lingkungan lembaga ekumenis
yaitu Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), tercatat Pdt. Deetje
Rotinsulu kemudian Pdt. Lilly Danes sebagai Kepala Biro Wanita, dan sekarang
Pdt. Krise Gosal sebagai Sekretaris Eksekutif Bidang Pemberdayaan Perempuan dan
Anak. Pdt. Liesje Makisanti terpilih sebagai Sekretaris Umum Gereja Protestan
Indonesia (GPI) dua periode, dan sebagai Anggota MPH PGI, pula sekarang ini
sebagai Wakil Sekretaris Umum MPH PGI. Pelayanan Pdt. Liesje Makisanti di GPI
sebagai Sekretaris, kini dilanjutkan oleh Pdt. Liesje Sumampouw. Demikian juga
di level internasional, Pdt. Deetje Rotinsulu menjadi Koordinator Asian Basel
Misison Fellowship. Pdt. Joyce Manarisip sekarang ini melayani sebagai
Koordinator Program Mission 21 untuk Indonesia-Malaysia.
Dalam bidang
pendidikan tinggi teologi yaitu Perhimpunan Sekolah-Sekolah Teologi di
Indonesia (PERSETIA), Pdt. Maria Assa terpilih menjadi Anggota Pengurus
(1998-2002), Pdt. Augustien Kaunang terpilih menjadi Wakil Ketua Pengurus
(2006-2010). Bahkan di level internasional yaitu The Association for
Theological Education in South East Asia (ATESEA), Pdt. Augustien Kaunang
terpilih menjadi Anggota Pengurus Yayasan (board of trustees tahun
2013-2017).
Sampai pada
tahap ini, saya baru fokus tahap awal mencatat nama-nama para perempuan
dalam sejarahnya kaum perempuan Minahasa
(herstory). Bagi saya tahap ini sangat penting untuk kemudian masuk pada tahap
berikut yaitu untuk meneliti kinerjanya dan memberi refleksi teologis
alkitabiah.
Lalu, bagaimana
di GMIM ? Sejak tahun 1995-2010, pendeta
perempuan, lebih dari 60% melayani di aras basis yaitu jemaat teritorial
sekaligus sebagai Ketua Majelis Jemaat. Namun, di aras wilayah sebagai Ketua
dan di aras sinode sebagai Badan Pekerja Sinode/Badan Pekerja Majelis Sinode,
tidak berbanding lurus dengan perannya di aras basis, alias sangat kurang.
Bahkan di aras sinode pada periode berjalan ini (2010-2014) hanya satu orang
pendeta perempuan. Kalau dalam periode sebelumnya pendeta perempuan ada dua
orang, maka periode ini hanya satu orang. Mari kita catat nama-nama mereka Pdt.
Wilhelmeintje Dumais, Pdt. Mite Lumi, Pdt. Liesje Makisanti, Pdt. Augustien
Kaunang, Pdt. Maria Assa, Pdt. Sientje Abram, Pdt. Ketty Ticoalu, Pdt. Liesje
Sumampow, Pdt. Altje Lumi. Baru dua
kali, pendeta perempuan menjadi salah seorang Wakil Ketua Sinode yaitu
Pdt.Maria Assa (2000-2005 untuk bidang Personalia), dan Pdt. Altje Lumi
(2007-2010 melanjutkan tugas Pdt.J.M.Saruan untuk bidang Ajaran Ibadat dan Tata
Gereja). Sudah dua kali untuk jabatan Wakil Sekretaris yaitu Pdt. Liesje
Sumampow (2005-2010) dan Pdt. Altje Lumi (2010-2014). Selain itu sebagai Anggota. Belum pernah dipilih sebagai
Ketua dan Sekretaris. Padahal, Ketua Jemaat paling banyak adalah Pendeta
Perempuan.
Mengapa GMIM
belum memilih pendeta perempuan sebagai Ketua Sinode? Apakah belum ada yang
berkualifikasi untuk aras sinode? Apakah perempuan hanya dapat menduduki posisi
ketua bila ditunjuk/diangkat/ditetapkan , seperti Ketua Jemaat dan Wilayah, dan
tidak dapat bila melalui pemilihan?
Lalu, siapa yang memilih? Bukankah para pemilih utusan jemaat sebagain besar
perempuan? Apakah perempuan sendiri tidak siap? Apakah perempuan tidak bersedia
dipimpin oleh perempuan? Apakah di antara perempuan tidak saling mendukung? Apakah
laki-laki tidak bersedia dipimpin oleh perempuan? Apakah laki-laki terlalu
kuat, dan perempuan kalah bersaing? Mengapa para nominator calon BPMS untuk
periode 2014-2018 hanya ada 4 perempuan? Mengapa pendeta perempuan asal Minahasa
(GMIM), dapat terpilih atau melalaui proses pemilihan, artinya dipercaya, di
luar daerahnya sendiri, lalu, mengapa di daerahnya sendiri, di GMIM, tidak? Pertanyaan-pertanyaan ini masih dapat
ditambah lagi oleh para pembaca tulisan ini untuk menggugah dan ‘menggugat’
kita warga GMIM menjelang pemilihan BPMS periode 2014-2018 yang sudah di depan
mata.
Mari kita melirik
gereja-gereja sahabat kita yang lebih muda seperti GKST yang pernah dilayani
sebagai Ketua Sinode adalah pendeta perempuan asal Minahasa, yaitu Pdt.
Agustina Lumentut, dan sekarang sedang dilayani oleh seorang pendeta perempuan,
yaitu Pdt. Juberlian Padele. Juga GKLB, yang pernah dilayani dua periode
sebagai Ketua Sinode oleh seorang pendeta perempuan asal Minahasa, yaitu Pdt.
Detty Kani. Kita lirik pula GMIBM yang kini dilayani sebagai Ketua Sinode oleh
seorang pendeta perempuan, dan sekarang ia menjabat dalam periode kedua, yaitu
Pdt. Christina Pangulimang. Pendeta Detty, Pdt. Juberlian, dan Pdt. Christina
adalah alumni Fakultas Teologi UKIT. Kenyataan ini menjadi tantangan bagi
kepemimpinan GMIM di aras sinodal.
Sebagai seorang yang
pernah meneliti dan menulis tentang Pemahaman Teologis tentang Perempuan dalam
Konteks Budaya Minahasa (tahun 1987-1989/1991) dan yang mengajar mata kuliah
Teologi Feminis sejak tahun 1991, mata kuliah ini tercatat yang pertama
diajarkan di sekolah-sekolah teologi di Indonesia, saya tergugah untuk meneliti
lagi dengan bantuan pertanyaan ini :
mengapa sampai sekarang GMIM belum memilih pendeta perempuan dalam
posisi sebagai Ketua Sinode? Di area publik, pendeta atau tamatan teologi, dapat
terpilih dan melayani sebagai Ketua DPRD Sulut, yaitu Pdt. Meiva Lintang,
terpilih menjadi Ketua KPU Minahasa dan kini KPU Sulut, yaitu Yessy Momongan. Bukankah
sebagian besar pendeta muda GMIM, baik perempuan dan laki-laki, adalah alumni
Fakultas Teologi tahun 1990-an? Pertanyaan ini menjadi penting, mengingat para
pendeta perempuan yang pernah dan sedang melayani di aras sinode, baik di GMIM
maupun di gereja-gereja sahabat adalah alumni sebelum tahun 1991. Lalu,
bagaimana dengan yang tamat tahun 1990-an. Demikian pula di GMIM dan juga di
gereja-gereja sahabat yang disebutkan di atas sedang dilayani oleh para pendeta
laki-laki yang tamat tahun 1990-an. Mengapa para pendeta laki-laki di gereja-gereja
sahabat dapat memilih pendeta perempuan,
lalu, bagaimana di GMIM ?
Semoga data
historis dan pertanyaan-pertanyaan sebagai refleksi pribadi warga GMIM di atas
dapat terjawab dalam Pemilihan BPMS dalam Sidang Majelis Sinode ke-77 GMIM, di
Bukit Inspirasi Tomohon, 24-28 Maret 2014.
Selamat
Bersidang Gerejawi.
*Dekan Fakultas Teologi UKIT.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar