Pendahuluan
Gereja sebagai persekutuan orang-orang yang percaya kepada Kristus terbentuk oleh karena kuat Roh Kudus yang dituangkan pada hari Pentakosta yaitu kira-kira pada tahun 30-an Masehi. Gereja ini ternyata masih tetap hadir dalam pentas sejarah dunia. Meskipun banyak hambatan yang dialami, gereja terus hidup. Kita mengenal adanya buku Sejarah Gereja Umum, Sejarah Gereja Asia dan Sejarah Gereja Indonesia bahkan kini sedang giat-giatnya gereja-gereja lokal menyusun sejarahnya.
Gereja yang hidup itu mengalami hambatan yang datang dari luar dan dari dalam dirinya sendiri. Hambatan dari luar datang terutama dengan adanya pertemuan antara Injil dan Kebudayaan-Kebudayaan. Artinya sebagai konsekuensi dari beradanya gereja di dalam dunia, maka mau tidak mau ia bersinggungan dengan kedinamisan budaya yang dilahirkan oleh manusia yang bergereja. Pertemuan itu sering menjadi negatif karenanya menghambat eksistensi gereja. Hambatan itu muncul antara lain karena adanya perbedaan pandangan yang tidak disikapi secara arif dengan dasar teologis alkitabiah sehingga berdampak pada perseteruan dan perpecahan.
Kenyataan sekarang ini telah banyak institusi/lembaga gereja yang muncul atau terbentuk karena perbedaan pandangan yang diartikan pertentangan pendapat. Hal ini diperkuat dengan terjadinya masalah-masalah kepemimpinan yang berarah pada ambisi jabatan dan masalah-masalah personal. Padahal perbedaan pandangan adalah suatu kenyataan alamiah yang adalah karunia Allah. Kenyataan akan perbedaan pandangan inilah yang kemudian kita kenal dengan istilah Denominasi Gereja. Denominasi berarti “one of the different religious groups that you can belong to”, atau kaum/umat/golongan agama. Oleh sebab itu, marilah kita mengenal kenyataan kepelbagaian ini dengan tujuan agar kita menerima kenyataan akan adanya perbedaan. Kenyataan ini telah mengantar Persekutuan Gereja-Gereja di Idonesia (PGI) menetapkan Lima Dokumen Keesaan Gereja (LDKG) kemudian menjadi Dokumen Keesaan Gereja-Gereja (DKG) yang salah satunya yaitu dokumen Saling Mengakui dan Saling Menerima. Artinya gereja-gereja anggota PGI menerima kenyataan ini secara positif sambil tetap sadar dan kritis terhadap motif negatifnya.
Bila ditarik ke belakang, mengapa kenyataan gereja-gereja menjadi seperti ini, maka kita harus melihat pada peran Pendidikan Teologi. Bukankah para pelayan bahkan pengambil keputusan dalam gereja sebagian besar berlatar belakang pendidikan teologi ? Bukankah Pendidikan Teologi adalah salah satu bentuk misi gereja? Kalau Pendidikan Teologi sebagai ‘dapur’ gereja, maka gereja (warga gereja) adalah laboratorium hidup dan terbuka dari pendidikan teologi. Di sinilah letaknya keterkaitan penting gereja-gereja dan pendidikan teologi (meskipun sekarang ini pendidikan teologi di Indonesia mulai diambil alih oleh negara/departemen agama seperti dengan berdirinya STAKN – ini perlu dibahas secara khusus).
Latar Belakang Sejarah
Pada kesempatan ini hanya akan dikemukakan tentang beberapa fakta penting sehubungan dengan munculnya dan bergulirnya gereja di tengah kedinamisan masyarakat dunia. Pada tahun 1054 terjadi perpecahan (schisma) besar dalam Gereja menjadi Gereja Barat dan Gereja Timur. Gereja Timur ini dikenal dengan nama Gereja Ortodoks, sedangkan dalam Gereja Barat pada tahun 1517 (tepatnya 31 Oktober) terjadi Reformasi yang dipelopori oleh Martin Luther. Reformasi ini yang menyebabkan Gereja Barat terbagi menjadi Gereja Katolik Roma dan Gereja Protestan. Gereja Katolik sedunia sama di mana-mana sebab pusatnya adalah Paus sebagai Pemimpin Gereja yang berpusat di kota Roma. Berbeda dengan gereja Protestan.
Reformasi Luther yang melahirkan gereja Protestan dalam perkembangannnya terpeta dalam beberapa tradisi berdasarkan penekanan ajaran dari para tokoh reformator seperti Luther (Jerman) dan Calvin (Swiss). Reformasi ini selanjutnya berkembang di Belanda dan Inggris. Perjalanan bermisi dari gereja-gereja beraliran reformasi ( kemudian dalam bahasa Inggris dikenal Reformed Churches atau Presbyterian Churches) disemangati oleh paham Pietisme. Paham Pietisme ini menekankan kesalehan pribadi, semangat penginjilan dan kritik terhadap gereja waktu itu yang terlalu menekankan tata gereja dan rumusan-rumusan ajaran. Semangat penginjilan dari paham inilah yang mengantar para misionaris/zendeling dari Barat datang ke dunia Timur termasuk Indonesia.
Apa itu Pietisme
Dalam buku yang berjudul “Jujur Terhadap Pietisme”(Hale,1993:4,12-17) mengemukakan bahwa sekitar tahun 1677, istilah Pietisme muncul dan dan populer di kalangan gereja-gereja Lutheran. Kata Pietisme sebetulnya muncul sebagai ejekan terhadap kelompok-kelompok orang yang hidup saleh (Collegia Pietatis) pada waktu itu. Baru pada tahun 1669, kelompok ini didirikan oleh Spener dalam membantu oran-orang Kristen yang waktu itu hidup mabukmabukan, berjudi. Mereka diajak untuk memanfaatkan waktu dengan berkumpul untuk membahas buku-buku tentang kesalehan. Ada empat ciri umum dari Pietisme yaitu :
Natura Pietatis menekankan hakikat manusia dapat menjadi sumber kehidupan Kristen yang baik. Oleh sebab itu, manusia perlu dibenahi menjadi manusia baru dengan cara memutuskan secara total dengan kehidupan yang lama. Desakan ke arah hidup yang ideal menjadi berita utama. Perfeksionisme tidak dapat dihindari. Mereka antara lain rajin membaca Alkitab, rajin berdoa, rajin beribadah. Untuk menjad sempurna (perfek), mereka bergiat dalam mengabarkan Injil ke segala penjuru.
Collegia Pietatis adalah sebuah persekutuan saleh. Ciri ini berpendapat bahwa hakikat keristenan dapat ditemukan dalam hubungan pribadi antar setiap individu dengan Allah. Hal-hal lahiriah harus diganti dengan hal-hal batiniah. Mereka tidak mendasarkan diri seperti doktrin, kredo tetapi pada hubunga aku-engkau dengan Allah. Jelaslah individu penting sekali. Ciri ini dianut oleh Pietisme Radikal yang melihat gereja sebagai satu lembaga yang telah tercemar.
Praksis Pietatis berpendapat bahwa teologi tidak pertama-tama menyangkut tuntutan atau ajaran tentang Allah, melainkan menekankan pengetahuan tentang bagaimana hidup untuk Allah. Yang diutamakan bukanlah kemurnian doktrin (dogma) melainkan kebenaran hidup (etika). Praksis Pietatis ini dapat diwujudkan dalam kehidupan secara pribadi dan dalam masyarakat.
Reformatio Pietatis mengatakan dan mengaktakan bahwa pembaharuan bukan saja terjadi dalam gereja (Martin Luther) tetapi harus mencakup dunia. Pembaharuan itu harus dimulai di bidang moral, akrena dunia kurang bermoral, kurang disiplin dan kurang kebahagiaan. Dari sini jelaslah bahwa Pietisme selalu menentang yang sudah mapan dan statis, serta dengan penuh gairah mengusahakan pembaharuan.
Gereja-Gereja Protestan di Indonesia
Gereja-gereja di Indonesia sekarang ini berasal dari berbagai latar belakang tradisi gereja dan penginjilan. R.A.D.Siwu menulis bahwa ada dua aliran besar yaitu : Ekumenikal dan Evangelikal yang masing-masing mempunyai pandangan-pandangan utama mengenai konsep Misi (Siwu, 1996 :185-255,283-343) yaitu :
Ekumenikal :
- Teologi Kontekstual : berteologi dari dalam konteks sosial, kultural, politik dan ekonomi. Berteologi dalam rangka memberi jawab pada persoalan-persoalan yang dihadapi. Berteologi dari konteks ke teks (metode induksi).
- Teologi Misioner yang sistematis, yang berdasar pada misi Allah yang berpusat pada Gereja dan/atau pada dunia serta teologi misi dan teologi agama-agama.
- Teologi Praktis tentang misi seperti nyata dalam Pembinaan warga Gereja, Pemberitaan dan Komunikasi serta Keadilan dan Pelayanan Masyarakat. Tugas dalam masyarakat adalah ‘pengungkapan’ misi masa kini.
Evangelikal :
- Teologi Misi berwawasan Alkitab yaitu mengaktualisasikan Alkitab (teks) ke dalam konteks. Alkitab sebagai titik berangkat ke konteks (metode deduksi).
- Teologi Misioner yang sistematis, yang berdasar pada amanat agung Allah dengan penekanan pada orang Kristen lahir kembali sebagai subyek misi dan diperankan oleh Lembaga-lembaga gerejawi (para-church agencies).
- Teologi Praktis tentang misi yang diperankan oleh kaum awam untuk menjangkau yang tidak terjangkau agar gereja bertambah dan meluas. Tugas dalam masyarakat adalah ‘kelengkapan’ dari misi.
Dengan pemaparan perbedaan pandangan dari dua aliran ini, maka kita dapat mengidentifikasi diri, di mana gereja-gereja kita berada. Yang tergolong aliran/kaum Ekumenikal adalah sebagian besar gereja-gereja yang menjadi anggota terbanyak Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) dan lebih khusus lagi Gereja Protestan di Indonesia (GPI). Yang tergolong aliran/kaum Evangelikal adalah gereja-gereja yang menjadi anggota Persekutuan Injili di Indonesia (PII).
Gerakan Kharismatik
Istilah kharismatik menurut Jongeneel (dalam Sugiri,dkk,1980:255) diambil dari bahasa Yunani ‘kharismata’ (jamak) yang berarti karunia-karunia (Rm 11:29; Rm 12:6-8; I Kor 12:8-10; I Kor 12:8). Dalam buku Wilfred J.Samuel menulis tentang gerakan kharismatik di Asia/Malaysia (Samuel,2006). Ia membedakan antara Gerakan Reformasi dan Gerakan Kharismatik. Gerakan Reformasi adalah koreksi terhadap teologi gereja (khususnya tentang pembenaran) dan penolakan atas praktek-praktek gerejawi yang tidak alkitabiah. Sedangkan Gerakan Kharismatik berusaha untuk berbicara tentang kekurangan dalam bidang-bidang moralitas pribadi, spiritualitas dan misiologi. Gerakan kharismatik dalam bentuk dan esensinya adalah replikasi (tiruan) dari gerakan Pentakostalisme (yang yang lahir tahun 1901). Namun Gerakan ini mengadopsi pola-pola kultural kontemporer yang kebanyakan menggugah emosi dan karenanya kurang akademis seperti yang nampak dalam ibadah-ibadahnya. Ekspresi dalam ibadah seperti 1. gerak tubuh (angkat tangan, tepuk tangan, menari, melompat-lompat di tempat, raut muka memelas apabila memohon, dll). 2. kewajiban selebratis (menyanyi berulang-ulang, menyanyi dengan suara keras, bersalam-salaman, penyanyi latar, berbahasa lidah, musik keras, dll).3. bentuk dan dekorasi interior yang artistik (spanduk, tempat khusus untuk penyanyi latar dan musik, dll). 4. pelayanan gerejawi (penumpangan tangan dengan bergetar, doa yang keras, meneking si jahat dengan nada memerintah, pengurapan dengan minyak, dll). 5. ekspresi linguistik dan penggunaan kata-kata populer (tanggapan ‘amin’ atau ‘puji Tuhan’, ‘tepuk tangan untuk Yesus’, ‘angkat tanganmu dan sembahlah’, dll).
Berteologi Kontekstual
Teologi sebagai ilmu mempunyai dua sisi. Sisi pertama ialah mempelajari kehendak Allah yang berkarya dalam dunia seperti yang tertulis dalam Alkitab. Sisi kedua ialah sebagai refleksi kritis, sistematis dan metodis atas isi dan akta iman orang percaya dalam konteks kesehariannya. Oleh sebab itu, maka teologi pada hakikatnya bersifat kontekstual. Pada tataran pemahaman seperti ini, maka gereja berada dalam pergumulan rangkapnya, yaitu pada satu sisi setia pada kehendak Allah dan pada pihak lain mampu mendengar pergumulan manusia dan dunia dalam kesehariannya.
Choan Seng Song dalam kuliahnya pada Kuliah Alih Tahun di Tomohon, 13 Juli-9 Agustus 1998 mendefinisikan teologi antara lain sebagai ‘a kind of science’ (salah satu cabang ilmu pengetahuan) pada satu sisi dan ‘transcend of science’ ( melampaui ilmu pengetahuan) pada sisi yang lain. Iapun menambahkan bahwa teologi sebagai ‘theology of life’ (teologi kehidupan). Eka Darmaputera menulis ‘a living theology is a theology of life’. Teologi hanya dapat disebut sebagai teologi bila ia benar-benar kontekstual (Eka Darmaputera, 1988:8). Dalam pemahaman seperti ini teologi bukan hanya sekumpulan pemikiran dan pandangan yang teoritis (yang pernah dihasilkan oleh para pemikir/teolog/gereja sebelumnya), tetapi bagaimana ia berdaya guna dan berhasil guna bagi kemaslahatan umat manusia dan dunia (band. Singgih, 1997:160, Kapahang-Kaunang, 2004:19-20, Eka Darmaputera, 1988:9). Bagi saya, teologi atau dalam konteks penulisan ini lebih tepat berteologi berarti berbuat teologi atau melakukan apa yang kita rumuskan dan hayati sebagai orang beriman dalam hidup sehari-hari (doing theology).
Berikut ini adalah beberapa teologi yang mengemuka yang lahir dari upaya berteologi dalam konteks terutama dalam perjumpaannya dengan kebudayaan-kebudayaan (cf. Wilson (ed.), 1996: 135-136) yaitu :
1. Liberation Theology/Teologi Pembebasan dari Amerika Latin kemudian mendunia.
2. Feminist Theology/Teologi Feminis dari Amerika Serikat kemudian mendunia.
3. Black Theology/Teologi Hitam dari Amerika Serikat dan yang kuat di Afrika Selatan kemudian mendunia.
4. Dalit Theology/Teologi Dalit dari India.
4. Waterbufallo Theology/Teologi Kubangan Kerbau dari Thailand.
5. Minjung Theology/Teologi Minjung dari Korea.
6. Bamboo Theology/Teologi Bambu di antara orang-orang Kanada Jepang dan Karibia.
7 . Coconut Theology/Teologi Kelapa dari Pasifik.
8. Manggo Tree Theology/Teologi Pohon Mangga dari Bali.
Gereja dan Pendidikan Teologi
Salah satu tantangan Pendidikan Teologi sekarang ini ialah apakah ia masih menjadi ‘hak prerogatif’ gereja? Maksud saya ialah sejak dulu (sampai kira-kira permulaan tahun 1980-an, waktu saya menjadi mahasiswa) pendidikan teologi lahir dari dan untuk gereja saja. Karena itu, sadar atau tidak sadar pendidikan teologi menjadi ‘kaki tangan’ tangan gereja yang melahirkannya. Ia harus mengajarkan atau mentransfer ajaran gerejanya kepada para mahasiswa. Sebagai misal, Fakultas Teologi UKIT yang dilahirkan oleh GMIM, haruslah mengajarkan teologi Calvinis menurut GMIM. Kalau tidak, itu sesat dan menyesatkan. Sebagai contoh konkrit, dalam mata kuliah Dogmatika, dosen mengharuskan mahasiswa untuk ‘hanya’ mempelajari buku seperti “Ikhtisar Dogmatika’, ‘Dogmatika Masa Kini’, ‘Iman Kristen.’ Mahasiswa hanya mempelajari buku dalam arti menghafal. Waktu itu mahasiswa belum ditugaskan untuk mengadakan penelitian lapangan. Kalaupun ada usaha untuk menghubungkan teori ke dalam kenyataan, maka yang terjadi ialah teori/teologi itu yang ‘mutlak’ diaplikasikan dalam konteks. Mahasiswa belum dilatih untuk menganalisis kenyataan bergereja. Maklum waktu itu belum ada mata kuliah Metode Penelitian Sosial (MPS) dan Metode Penelitian Teologi (MPT).
Berbeda dengan sekarang. Sejak ditetapkannya Teologi sebagai salah satu bidang studi keilmuan di Indonesia pada tahun 1996, pendidikan teologi berwajah ganda. Pertama, lahir dari dan untuk gereja. Kedua, lahir dari gereja untuk masyarakat. Hak prerogatif gereja dishare dengan masyarakat, dalam hal ini dengan mengikuti ketentuan publik pendidikan tinggi di Indonesia. Keuntungan dari wajah kedua ini ialah para lulusannya tidak hanya melayani gereja (jadi pendeta dan misionaris), tetapi juga masyarakat (seperti bekerja di Lembaga Swadaya Masyarakat, Lembaga Bisnis/Marketing, Industri, Instansi Pemerintah dan Swasta, anggota ABRI dan Polisi, anggota Legislatif dan Yudikatif ).
Jenis teologi 1,2 dan 3 di atas sangat sering dibicarakan dalam konferensi ekumenis atau sidang-sidang gereja-gereja sedunia seperti dalam wadah World Council of Churches (WCC) dan World Alliance of Churches (WARC). Dalam artian, baik dalam penentuan tema, Penelaahan Alkitab, ceramah-ceramah, program kerja selalu mengacu pada paradigma ketiga teologi ini. Bahkan dalam hal kepemimpinan dan kepelayanan, hal pembebasan, hal harkat dan martabat perempuan, hal harkat dan martabat orang-orang kulit hitam (di manapun juga) turut diperhitungkan bahkan menjadi syarat. Seperti misalnya dalam setiap pengutusan peserta dua orang, maka salah satunya haruslah perempuan. Dalam tingkat dunia, teologi-teologi ini bukan lagi sekedar wacana tetapi sudah menjadi komitment bersama untuk diberlakukan. Tinggal bagaimana gereja-gereja anggota (baik yang berlatar belakang ekumenikal maupun evangelikal) menerapkannya dalam institusi dan pelayanan konkrit di tengah umat-Nya.
Pada tanggal 15-19 April 2007 bertempat di Geneva telah dilaksanakan Konsultasi Internasional yang disponsori oleh empat lembaga kristen dunia yang berlatar belakang Calvinis (John Knox International Reformed Center, Federation of Swiss Protestant Churches, World Alliance of Reformed Churches, Faculty of Theology University of Geneva) membahas The Significance of Calvin’s Legacy for Chistian today. Dalam konsultasi ini disimpulkan bahwa diperlukan suatu usaha tafsiran yang segar tentang berbagai persepsi tentang Calvin baik yang menerima begitu saja maupun yang berprasangka dan menghalangi penerimaan yang benar tentang warisan Calvin. Konsultasi ini menghasilkan delapan bidang perhatian khusus di masa kini yaitu : 1. Calvin’s Commitment to Proclaiming the Glory of God. 2. Calvin’s determiniation to place of Jesus Christ at the forefront of all our thinking and living. 3. Calvin’s emphasis on the work of Holy Spirit in creation and salvation. 4. Calvin’s engagement with Scripture. 5. Calvin’s determination that God’s will be brought to bear on all areas of life. 6. Calvin’s insistence on God’s gift of cretion. 7. Calvin’s realization that the church ia called to discern, in ongoing ways, its relation to the principalities and powers of the world. 8. Calvin’s commitment to the unity of the church. Dari hasil baca atas hasil konsultasi ini, saya menangkap satu hal penting yaitu gereja-gereja yang berlatar tradisi Calvinis diajak untuk memberi tafsiran segar (kontekstual fungsional) atas warisan Calvin dalam karangannya Intitutio yang antara lain berdampak pada signifikansi sistem pelayanan gereja masa kini.
WARC sebagai lembaga ekumenis beranggotakan 214 denominasi gereja di 107 negara, yang berlatar belakang tradisi Calvinis untuk pertama kali melaksanakan Konsultasi Para Presiden dan Dekan Sekolah-Sekolah Teologi berlatar belakang Presbyterian dan Reformed yang berlangsung di Princeton Theological Seminary, New Jersey-Amerika Serikat pada tanggal 18-22 Juni 2007 (penulis adalah salah seorang peserta).. Salah satu tujuan konsultasi ini ialah untuk terkomunikasikan melalui share pandangan peserta tentang bagaimana pendidikan teologi dapat tetap faith fresh dan berarti dalam dunia yang berubah. Dua ceramah utama ialah Global Challenges that Affect Theological Education today dan The Important Role of Theological Education in furthering the Reformed Vision for 21st Century. Sedangkan dalam bentuk panel bertema Reformed Theology 500 years after Calvin - Implication for Ministerial and Ecumenical Formation. Dalam konsultasi ini, salah satu materi baca adalah hasil konsultasi internasional di atas. Salah satu kelompok diskusi, membahas tentang tantangan sekolah-sekolah teologi berhadapan dengan fundamentalisme agama. Hampir semua perserta kelompok berpandangan sama yaitu yang kita hadapi adalah fundamentalisme internal dan fundamentalisme eksternal; fundamentalisme pemikiran dan fundamentalisme gerakan. Konsultasi ini menghasilkan salah satu hal penting yaitu sekolah-sekolah teologi diajak untuk mengartikulasikan apa artinya menjadi Reformed (to be Reformed) dalam gerakan ekumenis sedunia dan dalam perubahan dunia dengan cepat. Problem akut yang kita hadapi (yang berbeda dalam setiap bagian dunia) dalam bermisi ialah : economic disparities and system poverty, genocide and violence, the spread of HIV/AIDS, corruption and abuse of power church and state, gender injustice, global warming and ecological degradation, military and political oppression and persecution, religious fundamentalism, globalization, urbanization, hyper-individualism. Dalam konsultasi ini, saya mendapat kesempatan untuk menyusun liturgi, membagi peran dengan peserta lainnya dan berkhotbah dalam ibadah pagi. Bahan Alkitab yang saya ambil adalah Markus 8:27-30. Intinya ialah Tuhan Yesus dalam dialog-Nya dengan para murid-Nya tidak hanya bertanya : kata orang siapakah Aku ini ? tetapi juga kemudian dilanjutkan dengan bertanya : tetapi apa katamu, siapakah Aku ini? Di sini Ia membutuhkan jawaban otentik, tidak hanya meniru begitu saja.
ATESEA (The Association for Theological Education in South East Asia) dalam salah satu programnya ialah Kunjungan ke Gereja dan Pendidikan Teologi di China (Shanghai, Nanjing, Beijing dan Xian) pada tanggal 2-11 September 2007. Peserta kunjungan adalah para perempuan teolog dari sekolah anggota dan mitra ATESEA (penulis adalah salah seorang peserta). Tujuan kunjungan ini ialah mengenal dari dekat tentang perkembangan kekristenan di negara komunis dan peran perempuan dalam gereja dan pendidikan teologi. Sungguh luar biasa. Kekristenan di Cina bertumbuh dengan cepat. Pada tahun 2003, dilaporkan terdapat sekitar 18 juta orang Kristen. Pada tahun 2007 terdapat kira-kira 30 juta orang Kristen di Cina dari antara kira-kira 1200 juta orang penduduk. Setiap hari ada 6 gedung gereja baru dibuka. Sebagian besar anggota gereja adalah perempuan (75%). Tidaklah relevan bertanya tentang berapa keluarga (KK) di dalam satu jemaat. Sebab orang menjadi Kristen secara pribadi bukan kolektif atau ‘keturunan’. Mayoritas penduduk tidak percaya/tidak beragama (unbelievers). Di gereja terbesar di Shanghai yang beranggotakan 8000-an orang, setiap tahun ada 200-300 orang menjadi percaya (new believers) dari unbelievers. Sekolah dan seminari teologi bertumbuh dengan subur. Terbanyak mahasiswa adalah kaum perempuan. Para pendeta muda di jemaat-jemaat juga terbanyak adalah perempuan. Dosen-dosen teologipun banyak perempuan muda. Gereja Kristen di Cina (tidak termasuk Katolik) hanya memakai satu nama yaitu Protestant Church in China meskipun ada berbagai latar belakang misi dari denominasi gereja seperti antara lain Anglikan, Baptis, Presbiterian, Adven bahkan aliran kharismatik. (Kenyataan ini mengingatkan saya dalam kunjungan ke Bangalore tahun 1998 di mana Gereja di India Selatan hanya memakai satu nama yaitu Church of South India meskipun jemaat-jemaat mempunyai latar belakang tradisi yang berbeda-beda). Tidak ada saling mengeritik atau saling menyalahkan. Mereka saling menghormati dan menerima perbedaan. Mereka sedang berperan penting dalam membangun masyarakat yang harmonis. Hal ini didasarkan atas dogma mereka yaitu membangun masyarakat harmonis berdasarkan ajaran Alkitab dan memegang proposisi etika sosial Kristen (Wickeri , 2008:26). Untuk mengerti mengapa dogma dan etika ini dapat menjadi kenyataan hidup mereka, maka itu pasti sangat terkait paham masyarakat China yaitu Yin-Yang. “If everyone gives a little love, the world will be a better place. If each one of us Christians gives a little love, the church will surely be more harmonious, and society, too, will be more harmonious” (Wickeri, 2008 :2-3). Tidak heran, kekristenan berkembang dengan pesat di tengah negara komunis terutama setelah Revolusi Kebudayaan pada tahun 1970-an.
ATESEA sebagai asosiasi dari sekolah-sekolah teologi di Asia Tenggara, sekarang ini beranggotakan 104 sekolah teologi di 16 negara. Sekolah-sekolah teologi ini berasal dari latar belakang tradisi teologi dan denominasi gereja seperti Protestan/Presbiterian, Baptis, Metodis, Adven. Demikian juga dengan Persekutuan Sekolah-Sekolah Teologi di Indonesia (PERSETIA) yang kini beranggotakan 36 sekolah teologi yang berlatar belakang tradisi teologi dan denominasi gereja yang berbeda dan beragam.
Kesimpulan
1. Lahirnya Pietisme, Evangelikalisme, Ekumenikalisme serta berbagai tradisi gereja adalah kenyataan dalam perjalanan sejarah gereja yang terus menyejarah. Yang kita perlukan sekarang ialah bagaimana menafsirnya dan mengaplikasikannya dalam dunia kontemporer baik oleh gereja-gereja maupun lembaga pendidikan teologi.
2. Pendidikan Teologi ada karena Gereja ada. Salah satu misi gereja sebagai institusi ialah mendirikan lembaga pendidikan teologi. Namun gereja jangan mengaturnya. Gereja harus memberi kebebasan kepada pendidikan teologi untuk berekspresi dan bereksperimen sesuai hakikatnya yaitu berteologi kontekstual fungsional dalam mempersiapkan sumber daya manusia dalam gereja dan masyarakat. Di sini Gereja sebagai institusi hendaknya bertindak sebagai penyedia fasilitas. Latar belakang tradisi gereja pendiri tetap menjadi jati dirinya, namun ia tidak boleh terkungkung atau mengungkung diri dengan salah satu tradisi gereja saja. Ia tetap menjadi suatu lembaga dengan jati dirinya yang khas namun yang terbuka, kritis dan kreatif sebagai ‘dapur’ gereja-gereja.
3. Tradisi gereja-gereja hendaknya ditafsir secara segar yang dapat menjawab persoalan dunia yang mengemuka.
4. Tradisi gereja yang terwajah dalam berbagai denominasi gereja, hendaknya dialami sebagai realitas kepelbagaian yang saling melengkapi yang bukan tidak mungkin dapat menciptakan suatu tradisi baru sesuai dengan tuntutan jaman. Di sini Gereja sebagai Tubuh Kristus yang mempunyai latar belakang tradisi tertentu harus senantiasa terbuka terhadap realitas yang sama sekali baru.
5. Hakikat hidup yang mengedepankan kebebasan berekspresi dalam koridor keharmonisan, kemanusiaan yang setara dalam perbedaan jenis kelamin dan warna kulit, harus diimplementasikan dalam bergereja di tengah masyarakat dunia.
6. Penting sekali kita menjawab secara kreatif pertanyaan Tuhan Yesus dalam konteks kontemporer yaitu tetapi menurut kamu, siapakah Aku ini ?
Bacaan :
Buku :
de Jonge, Christian, Gereja Mencari Jawab. Jakarta:BPK Gunung Mulia, 1997.
Eka Darmaputera (peny.), Konteks Berteologi di Indonesia. Jakarta :BPK Gunung Mulia, 1988
Hale, Leonard, Jujur Terhadap Pietisme. Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1993
Hesselgrave, David J., dan Rommen, Edward, Kontekstualisasi. Makna, Metode dan Model. Jakarta : BPK
Gunung Mulia, 1995
Jongeneel, J.A.B., “Kharismata, Gerakan Kharismatik dan Gereja-Gereja”, dalam Sugiri L, dkk,
Gerakan Kharismatik Apakah Itu? Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1980.
Kapahang-Kaunang, Augustien, “Berteologi Kontekstual dari Perspektif Feminis,” dalam Natar, Asnath M,
(peny.), Perempuan Indonesia Berteologi dalam Konteks. Yogyakarta : Pusat Studi Feminis
Fakultas Theologia Universitas Kristen Duta Wacana, 2004
Samuel, Wilfred,J., Kristen Kharismatik. Jakarta : BPK Gunung Mulia, 2006
Singgih, Emanuel Gerrit, Reformasi dan Transformasi Pelayanan Gereja Menyongsong Abad 21.
Yogyakarta : Kanisius, 1997.
Siwu, Richard,A.D., Misi dalam Pandangan Ekumenikal dan Evangelikal di Asia 1910-1961-1991.
Jakarta :BPK Gunung Mulia, 1996.
Wilson,H.S. (ed), Gospel and Cultures Reformed Perspectives. Geneva : World Alliance of Reformed
Churches, 1996.
Wickeri, Janice (ed.), Chinese Theological Review 21. Mangalore India : Foundation for Theological Education
in South East Asia, 2008
Makalah :
Report of an International Consultation, held from April 15 to 19, 2007 in Geneva.
Report from the WARC Consultation of Reformed Theological Institutions, Princeton
Theological Seminary (USA), June 18 to 22, 2007.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar